Resensi Film: A Private War, Candu Seorang Wartawan Perang

JIKA ada profesi atau pekerjaan yang membuat pekerjanya ketagihan dan kadang sampai lupa waktu, salah satunya adalah menjadi wartawan. Apalagi wartawan perang, peliput di daerah konflik yang jauh dari negeri sendiri. Hampir semua  jurnalis pasti ingin berkesempatan meliput perang. Nekat? Iya. Takut? Tidak. Malah mungkin  lebih takut menyebrang jalan di Jakarta daripada dikirim liputan ke Kandahar Afghanistan.

Saya sendiri bersyukur selama 12 tahun menjadi wartawan profesional, meskipun utamanya di desk Ekonomi dan Bisnis, pernah  berkesempatan mencicipi liputan perang. Itu tahun 2007, saat mendapatkan kesempatan meliput konflik Palestina-Israel, juga melihat perkembangan situasi di perbatasan Israel-Suriah. Meskipun tidak benar-benar terjun di tengah medan perang, tetapi berkesempatan berkunjung ke Markas PLO dan mewawancarai tokoh PLO (Organisasi Pembebasan Rakyat Palestina), nyekar ke makam Yasser Arafat (pendiri PLO), mengunjungi Dataran Tinggi Golan (wilayah Suriah yang direbut oleh Israel), melihat kehidupan masyarakat Palestina seperti di Kota Ramallah, Hebron, dan Betlehem, hingga bisa shalat Jumat di Masjidil Aqsa, itu adalah pengalaman hidup yang luar biasa.

Bagaimana sih sesungguhnya jiwa seorang wartawan perang itu? Film "A Private War" yang kami tonton tadi malam (16/3), menggambarkan sudut pandang psikologis seorang wartawan perang kawakan. Film yang diangkat dari kisah nyata perjalanan hidup Marie Catherine Colvin, warga negara AS yang menjadi wartawan desk internasional koran The Sunday Times Inggris dari tahun 1985 hingga kematiannya saat meliput perang di Homs Suriah pada 2012.

Terlepas dari latar belakang kehidupan pribadi Colvin (seperti digambarkan dalam film) sehingga lebih  prefer ke medan perang daripada liputan lain, Colvin adalah sosok jurnalis yang menjalani profesinya penuh dedikasi. Bahkan hingga akhir hayatnya. Colvin adalah satu-satunya wartawan dari media Barat yang masih bertahan di Suriah. Bahkan, sebelum Colvin tewas karena serangan roket di Homs, dia berkesempatan melaporkan situasi yang terjadi secara live di CNN.

Bagi kita yang masih atau pernah bekerja di media, beberapa scene dalam film  A Private War ini akan membuat kita tersenyum sendiri. Misalnya bagaimana konflik antara reporter di lapangan dengan redaktur atau pemimpin redaksinya.

"Bagaimana perasaanmu menugaskan orang ke berbagai penjuru dunia demi piala-piala (press award) yang kamu pajang di ruang kerjamu?" sindir Colvin kepada bosnya di Sunday Times.

Atau, pas adegan, bagaimana Colvin komplain kepada bosnya (entah Pemred atau managing editor-nya, tidak jelas), ketika di suatu wilayah konflik ternyata Redaksi mengirimkan wartawan lain di tempat yang sama. Bukankah kita (wartawan) pasti bete jika dalam sebuah liputan ternyata (tanpa kita tahu sebelumnya) ada teman kantor kita juga hadir pada acara yang sama? Pas adegan ini saya susah menahan tawa. Film ini sangat bagus ditonton untuk teman-teman wartawan, terutama wartawan muda, bagaimana dedikasi dan komitmen pekerjaan itu seharusnya. Karena sejatinya  loyalitas seorang wartawan bukan pada perusahaan media di mana dia bekerja, juga bukan kepada pimpinannya, tetapi lebih sebagai loyalitas kepada profesinya.

Secara umum film ini menarik. Kalau ada yang saya tidak setuju, tentu saja pada pilihan sang jurnalis tersebut kepada kelompok mana dia berpihak pada saat liputan konflik. Tentu saja Colvin adalah wartawan media Barat sehingga bisa dimengerti ketika dia menyalahkan kelompok Macan Tamil Elam di Srilanka, menyebut Saddam Hussein melakukan pembunuhan massal di Iraq, menuduh Moamar Qaddafi memicu perang sipil di Libya, hingga menyebut Bassar Al Ashad melakukan genosida terhadap rakyatnya sendiri di Suriah. Tidak dijelaskan di film, berpihak ke mana Colvin ketika meliput proses disintegrasi Timor Timur dari Republik Indonesia.

Apapun, Marie Colvin adalah nama besar di dunia kewartawanan. "Banyak orang besar bermata satu, misalnya Jendral Moshe Dayan (mantan Panglima Angkatan Perang Israel, Red.),"  kata seorang pimpinan di Sunday Times menghibur Colvin yang baru kehilangan mata kirinya  akibat serpihan bom di sebuah wilayah konflik. RIP Marie Catherine Colvin.

*Tofan Mahdi, mantan wartawan Jawa Pos

Email: [email protected]

Jakarta, 17 Februari 2019

Related News

Comment (0)

Comment as: