Prostitusi Artis, Benarkah Mereka Korban?

Lagi, polisi menangkap artis yang diduga terlibat prostitusi online. Terakhir artis Vanessa Angel (VA) dan model majalah dewasa Avriella Shaqqila (AS) ditangkap Polda Jatim. Yang bikin heboh, sekali kencan tarif VA konon Rp 80 juta. Sementara AS Rp 25 juta. (Jawa Pos, 7/1/2019).
 
__________________________________________
                     Oleh: Didik Farchan
__________________________________________


Setelah diperiksa 24 jam keduanya dilepas oleh penyidik Polda. Karena keduanya dianggap sebagai korban dan hanya diperiksa sebagai saksi. Dalam kasus ini Penyidik telah menetapkan dua tersangka yaitu ES dan TN. Yaitu mereka yang "menjalankan" prostitusi online itu via instagram.

Saya selaku penegak hukum sering ditanya-tanya soal itu. Mengapa artis pelaku prostitusi itu dilepaskan? Bahkan selama ini malah diposisikan menjadi korban? Pertanyaan lain mengapa pria "penggunanya" tidak pernah disentuh hukum?

Saya ingat, pada 2015 ada kasus sejenis ketika Nikita Mirzani (NM) dan Puty Revita (PR) ditangkap disebuah hotel mewah di Jakarta Pusat. Saat itu NM dan PR akan melayani pria pemesannya. Tarif sekali kencan NM Rp 65 juta. Sementara PR tarifnya Rp 50 juta. (Jawa Pos, 12/12/2015).    

Sebelumnya lagi pada pertengahan 2015, beberapa artis juga ditangkap polisi karena terlibat prostitusi. Di Jakarta tercatat artis Amel Alvi, sedangkan di Surabaya artis Anggita Sari. Kedua kasus prostitusi artis ini sudah disidangkan di pengadilan. Yang dijadikan "pesakitan" hanya mucikarinya. Sedangkan sang artis hanya dijadikan saksi (korban).

    Pun demikian dalam kasus NM dan PR. Yang dijadikan tersangka saat itu mucikari Ronald Rumagit alias Onat dan Ferry Okviansyah. Sementara kedua artis diposisikan sebagai korban. Bahkan saat itu keduanya diserahkan kepada Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jakarta untuk dilakukan rehabilitasi sosial.

     Publik banyak bertanya dengan langkah Polisi ini. Logika hukum dan akal sehat masyarakat masih belum bisa menerima. Terbukti seorang anggota DPR RI saat itu mempertanyakan langkah Polisi ini.

Anggota Komisi III (baca komisi hukum) DPR Nasir Djamil mengaku heran dengan sikap Kepolisian yang menetapkan NM dan PR sebagai korban perdagangan manusia. Pasalnya, NM sendiri tidak merasa malu dirinya digerebek atas kasus prostitusi.

     "Kalau hanya diserahkan ke Dinas Sosial mana ada efek jeranya. Coba lihat dia (Nikita) aja nggak tutup muka. Kalau dia korban pasti dia malu, tutup muka, buktinya tidak," ujar Nasir (Merdeka.com, 13/12/2015).

Pendapat saya, langkah Penyidik melepaskan para artis yang terlibat prostitusi itu memang karena aturan hukumnya begitu. Belum ada pasal yang bisa menyentuh pelaku prostitusi dan penggunanya. Yang ada baru pasal terhadap "perantara" alias mucikarinya.

Hanya saja dulu, dalam kasus NM dan PR Bareskrim menyerahkan kedua artis ke Dinsos, merupakan langkah sedikit "maju" dan berani. Karena masih ada unsur penjatuhan hukuman moral dengan mengirim mereka ke "sekolah" di Panti Sosial.

Tapi syaratnya kedua artis itu harus tinggal di panti sosial dalam waktu tertentu. Jangan hanya didata langsung pulang seperti yang dilakukan NM dan PR. Benar saja publik belum bisa menerima kalau mereka langsung pulang.

     Langkah ini saya katakan sedikit lebih maju bila dibanding penanganan dua perkara sebelumnya yaitu perkara Amel Alvi dan Anggita Sari. Mereka tidak "bebani" kewajiban apapun, kecuali bersaksi di Pengadilan.Tidak ada penjatuhan pidana maupun moral, seperti kewajiban "sekolah" di Panti Sosial. Mengapa bisa ada perbedaan perlakuan?

     Ternyata muaranya adalah adanya perbedaan penerapan pasal di berkas perkara. Bila dalam kasus melibatkan Amel Alvi dan Anggita Sari, mucikarinya hanya dikenakan ketentuan dalam KUHP yaitu pasal 296 dan pasal 506. Sementara untuk kasus mucikari Nikita Mirzani dan Puty Revita penyidik Bareskrim mulai berani "improvisasi" mencoba menerapkan UU Nomor: 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana perdagangan manusia.

Dapat dihukum?

     Ketentuan dalam pasal  51 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2007 memang mengatur bila "korban" perdagangan orang berhak memperoleh rehabilitasi sosial apabila mengalami penderitaan fisik maupun psikis. Pertanyaannya sekarang,  apakah penerapan UU ini sesuai untuk prostitusi artis? Apakah mereka mengalami penderitaan fisik atau psikis?

     Memang ada plus minus penerapan UU ini. Kekurangannya, artis prostitusi tetap lolos dari jerat hukum sebagaimana bila diterapkan KUHP. Keuntungannya, ada "amunisi" tambahan bisa menjerat pria penikmat artis dengan dikenakan pasal 12. Yaitu orang yang melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengan korban perdagangan orang diancam pidana paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun.

     Dalam prostitusi ada tiga pihak yang terlibat, yaitu mucikari, wanita penyedia jasa dan pria "penikmat" jasa. Untuk memberantas prostitusi memang harus ketiganya yang mendapat sanksi hukum. Sementara penerapan KUHP dan UU Perdagangan Orang masih meloloskan wanita penyedia jasa. Masih adakah peraturan lain yang memungkinkan menjeratnya?

     Sebenarnya ada, yaitu Peraturan Daerah (Perda). Di beberapa daerah sudah terdapat pasal dalam Perda yang memungkinkan ketiga pihak yang terlibat dalam prostitusi itu dikenakan sanksi. Seperti pasal 42 ayat (2) Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum. Lalu pasal 9 ayat (1) Perda Kota Tanggerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran, dan pasal 37 ayat (2) Perda kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2014 tentang Ketertiban Umum.

     Inti dari ketentuan dalam ketiga Perda ini  ketiga pihak yang terlibat prostitusi itu dapat dikenakan hukuman kurungan atau denda. Bila Perda DKI ancamannya  maksimal 3 bulan atau denda Rp 30 juta, Perda kota Tanggerang ancamannya 3 bulan atau denda Rp 15 juta. Sementara Perda kota Surabaya ancamannya kurungan 6 bulan atau denda Rp 50 juta.

     Hanya saja bila Perda ini mau diterapkan, penyidiknya harus PPNS satpol PP. Permasalahannya, maukah Polisi menyerahkan artis  "tangkapannya" kepada Satpol PP? Kendala lain, karena ketentuan Perda adalah pelanggaran bukan kejahatan, maka sanksinya adalah kurungan atau denda. Bila denda dibayar, otomatis pelanggarnya tidak perlu masuk kurungan (penjara). Susah memang menghukum berat mereka. Tapi langkah ini lebih mending, karena tidak memposisikan artis prostitusi sebagai korban. Tetap sebagai pelanggar hukum.

*) Mahasiswa program doktor Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Related News

Comment (0)

Comment as: