USD Menguat, Ekspor CPO Digenjot
JAKARTA, VOI - Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengatakan, anjloknya nilai tukar mata uang rupiah terhadap USD dalam beberapa waktu belakangan ini, justru membawa angin segar bagi industri berbasis sumber daya alam.
"Ada industri yang diuntungkan dan tertekan akibat dolar AS menguat. Untuk industri yang berbasis bahan baku domestik, seperti CPO (Crude Palm Oil), itu diuntungkan," kata Airlangga di Jakarta, Senin (16/7).
Pihaknya konsisten mendorong pertumbuhan populasi industri hilir di dalam negeri, terutama pengolahan minyak sawit. Apalagi produksi CPO nasional diperkirakan mencapai 42 juta ton pada 2020. "Hilirisasi industri akan meningkatkan nilai tambah dan kemampuan dalam menghasilkan produk yang beragam dan inovatif," sebutnya.
Salah satu sektor hilir minyak sawit yang saat ini pengembangannya sedang dipacu adalah subsektor industri oleokimia. "Pasar produk oleokimia, baik di domestik maupun ekspor, masih terbuka luas karena merupakan kebutuhan bahan baku bagi sejumlah industri," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara industri pengolahan berbasis sumber daya alam masih menunjukkan kinerja yang cukup baik dan mengalami surplus perdagangan.
Capaian positif ini perlu dijaga di tengah kondisi tekanan terhadap nilai rupiah dan isu perang dagang antara Amerika Serikat dengan China yang mulai terasa dampaknya pada neraca perdagangan internasional. "Oleh karena itu, kinerja yang baik ini harus terus dijaga melalui pengambilan kebijakan yang tepat untuk mengatasi segala hambatannya," katanya.
Ngakan juga menjelaskan pihaknya terus mendorong masuknya investasi di sektor industri kimia hulu. Hal itu sebagai salah satu langkah mengurangi ketergantungan impor. "Contohnya, perusahaan asal Korea Selatan, Lotte Chemical akan melakukan peletakan batu pertama di Cilegon untuk pembangunan pabrik yang memproduksi nafta cracker pada akhir tahun 2018," paparnya.
Perusahaan tersebut akan kucurkan investasi mencapai USD3,5 miliar. Ini diharapkan bisa mendukung pengurangan impor produk petrokimia hingga 60 persen. Disamping itu, lanjut Ngakan, PT Chandra Asri Petrochemical juga berencana membangun kembali pabrik pengolah nafta cracker kedua yang menelan investasi sebesar USD4-5 miliar. "Dengan tambahan investasi kedua perusahaan tersebut, Indonesia akan mampu menghasilkan bahan baku kimia berbasis nafta cracker sebanyak 3 juta ton per tahun atau yang terbesar keempat di ASEAN setelah Thailand, Singapura dan Malaysia," pungkasnya. (*)
Comment (0)