Bom Waktu Utang BUMN
Oleh: Haryo Kuncoro
Belum tuntas diskusi panas mengenai batas aman utang negara, belakangan muncul isu tentang utang badan usaha milik negara (BUMN). Per April 2018, misalnya, total utang BUMN dilaporkan mencapai Rp 4.825 triliun, melampaui utang pemerintah yang "hanya" Rp 4.100 triliun.
Utang BUMN diprediksi meningkat kencang seiring dengan kegiatan ekspansinya. Kementerian BUMN menghitung kenaikan utang BUMN akan menembus angka Rp 5.253 triliun atau naik 8,87 persen dari utang tahun lalu. Kenaikan ini bisa jadi merupakan konsekuensi logis dari BUMN sebagai perpanjangan tangan negara. Mereka harus melaksanakan mandat fungsi sosial sekaligus ekonomi tapi dengan pengelolaan keuangan yang terpisah.
Bidang operasi BUMN awalnya terbatas pada sektor yang membutuhkan investasi besar, tidak menawarkan keuntungan tinggi, tapi memberikan keuntungan sosial. Dalam perkembangannya, areanya meluas ke ranah yang lazim dikerjakan swasta. Dalam konteks ini, utang BUMN sejatinya merupakan hal yang lumrah.
Namun tren pertumbuhan utang BUMN yang melebihi pertumbuhan ekonomi nasional mengundang kekhawatiran. Rasio utang BUMN terhadap aset saat ini sudah mencapai 67 persen. Lampu kuning sudah menyala.
Lampu peringatan semakin terang jika melihat utang per sektor. Utang BUMN didominasi oleh perbankan. Ironisnya, perbankan pelat merah tahun lalu jorjoran membagikan dividen kepada pemegang saham (pemegang saham terbesar adalah pemerintah) alih-alih menahan laba untuk ekspansi usaha.
Padahal, berdasarkan kriteria aset, skala usaha, dan kompleksitas bisnisnya, bank-bank BUMN masuk kualifikasi berisiko sistemik. Kesulitan finansial sedikit saja akan berpengaruh pada perekonomian secara luas.
Cerita yang sama juga terjadi pada sektor konstruksi. BUMN karya banyak terlibat dalam pembangunan infrastruktur yang menjadi proyek strategis nasional. Standard & Poors mencatat utang empat perusahaan konstruksi besar milik negara melonjak 57 persen dari tahun lalu menjadi Rp 156,2 triliun.
Lembaga pemeringkat utang global itu juga melaporkan rasio utang 20 BUMN konstruksi naik lima kali terhadap pendapatan kotor, melonjak jauh dibanding pada 2011 yang hanya satu kali. Intinya, neraca keuangan BUMN sektor konstruksi memburuk setelah aktif dalam berbagai proyek infrastruktur pemerintah.
Telaah atas komposisi utang BUMN sepertinya tidak mengubah simpulan awal. Utang BUMN sebagian besar bertenor jangka pendek yang tidak bisa segera ditutup dari laba usahanya. Sekitar 60 persen utang BUMN berdenominasi valuta asing. Jika nilai tukar rupiah terus melemah, beban utang BUMN pada saat jatuh tempo nanti tentu akan kian membengkak.
Apabila hal ini yang terjadi, BUMN akan menaikkan secara drastis harga produk guna menyehatkan kinerja keuangannya. Alternatif lain, BUMN terancam harus menghentikan investasi dalam lima tahun ke depan.
Dengan konfigurasi masalah di atas, pemerintah sudah semestinya konsekuen dan jujur mengakui utang BUMN akan menimbulkan tanggung wajib kontingensi pada Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara. Bila BUMN gagal bayar, pemerintah akan menanggungnya. Istilah populernya "too big to fail".
Selain itu, aset BUMN yang mencapai Rp 7.212 triliun pada akhir tahun lalu dicatat Kementerian Keuangan sebagai aset negara yang tidak dipisahkan dari aset pemerintah. Agar simetris, utang BUMN sudah semestinya dicatat sebagai utang negara, sehingga penanganannya lebih komprehensif.
Dengan alur logika ini pula, total utang sektor publik menjadi Rp 8.925 triliun. Dengan asumsi produk domestik bruto tahun ini sebesar Rp 14 ribu triliun saja, rasio utang sudah mencapai 63 persen, melebihi ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara yang 60 persen.
Rasio utang ini niscaya lebih tinggi lagi jika memperhitungkan utang Bank Indonesia, pemerintah daerah, bank pembangunan daerah, dan badan usaha milik daerah. Tanpa perlakuan yang sama dengan utang pemerintah, utang BUMN akan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Ingat, krisis moneter 1997/1998 memberi pelajaran berharga perihal dampak buruk yang dipicu dari akumulasi utang yang tidak akurat.
Penulis: Haryo Kuncoro Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute
Comment (0)