Fadli Zon: Ini Memang Rezim Raja Utang
JAKARTA, VOI: Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menegaskan kritik yang disampaikan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tentang bahaya utang Indonesia yang telah menyentuh angka Rp9.000 triliun sangat wajar.
“Utang itu seperti api. Jika kecil ia jadi teman. Tapi jika besar, atau tak terkelola, bisa jadi sumber malapetaka. Pak Prabowo hanya memberikan peringatan. Jangan sampai rumah kita harus terbakar dulu untuk membuktika
Fadli memperingatkan hampir semua krisis ekonomi yang pernah terjadi selalu terkait dengan utang. Fadli mengungkit kasus krisis Amerika Latin pada dekade 1980-an, krisis Asia pada tahun 1997/1998, dan krisis finansial global tahun 2008.
Seluruh kriris tersebut, imbuh Fadli, bermula dari krisis utang. Sehingga, Fadli meminta agar semua pihak harus melihat masalah utang ini dari potensinya terhadap krisis. Bukan hanya dari rasio teknis yang seringkali menyamarkan kondisi sebenarnya.
“Data yang disampaikan Pak Prabowo adalah data resmi milik pemerintah sendiri. Itu angka per 31 Desember 2017. Itu sebabnya saya heran jika ada menteri yang menanggapi kritik Pak Prabowo ini dengan mempertanyakan akurasi data atau mempertanyakan penguasaan Pak Prabowo atas persoalan utang,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Fadli menyarakan daripada berdalih tentang amannya jumlah utang Indonesia saat ini, lebih baik pemerintah meningkatkan kewaspadaan dan menyusun langkah-langkah tambahan seandainya akumulasi utang Indonesia semakin tak terkontrol.
Menurut Fadli, per akhir Desember 2017, utang Lembaga Keuangan Publik Bruto adalah sebesar Rp3.733.276 miliar. Posisi Utang Perusahaan BUMN Bukan Lembaga Keuangan Bruto sebesar Rp610.780 miliar. Jika ditotal, keduanya bernilai Rp4.344,06 triliun.
Sementara itu, jumlah utang Pemerintah pusat adalah sebesar Rp3.938,45 triliun. Jadi, kata Fadli, utang sektor publik kita akhir 2017 adalah sebesar Rp8.282,51 triliun.
“Itu baru utang sektor publik, belum menghitung utang swasta,” tuturnya.
Utang sektor publik, kata Fadli, terdiri dari tiga komponen, yaitu utang pemerintah pusat, utang Bank Indonesia, serta utang BUMN. Sebagai catatan, posisi utang swasta per Februari 2018 adalah sebesar Rp2.351,7 triliun.
“Jadi sekali lagi, angka yang disampaikan Pak Prabowo itu adalah angka per 31 Desember 2017. Saat ini jumlahnya tentu sudah bertambah lagi,” tambahnya.
Dalam catatan Fadli, per 30 April 2018 posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp4.180,61 triliun. Angka itu berasal dari pinjaman sebesar Rp773,47 triliun dan dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp3.407,14 triliun.
Wakil Ketua DPR ini menambahkan peringatan mengenai bahaya utang ini sebenarnya bukan merupakan hal baru. Pasalnya pada Maret lalu juga sudah pernah diingatkan oleh para ekonom INDEF.
INDEF memperingatkan meskipun akumulasi utang Indonesia terus membesar, namun terbukti utang Indonesia tidak produktif. Efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi, pemberian nilai tambah, serta terhadap angkatan kerja tak terlihat.
“Penilaian tersebut bukan disampaikan oleh politisi, tapi oleh para ekonom,” ungkapnya.
“Celakanya, meski pertumbuhan utang kita mencapai 13 hingga 14 persen per tahun selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, namun dalam tiga tahun terakhir perekonomian kita hanya bisa tumbuh di limit 5 persen saja. Mentok. Itu bukti bahwa utang kita tidak produktif, sehingga memang pantas dikritik,” katanya.
Atas dasar itu, Fadli meminta pemerintah jangan selalu berkelit bahwa rasio utang Indonesia terhadap PDB masih di bawah 60 persen, sehingga dikesankan seolah masih aman. Sebab, menurut Fadli, meskipun rasio utang Indonesia masih di bawah 60 persen, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi, rasionya terus meningkat.
Comment (0)