Bob Hassan, Tokoh di Balik Cepatnya Lari Zohri

Oleh: Muhammad Subarkah *)

 

GENERASI zaman now mungkin ini lagi sibuk memberikan pujian pada pelari cepat 100 meter asal NTB, Lalu Muhammad Zohri. Prestasinya memang membanggakan menjadi juara dunia lari 100 M dalam kompetisi U20 yang diselenggarakan IAAF di Tempere Finlandia.

Ini adalah prestasi pertama anak bangsa menjadi juara dunia lari cepat di nomor bergengsi ini. Belum ada anak muda Indonesia — juga yang senior — pernah meraih posisi ini. Benar apa yang dikatakan pihak IAAF, Zohri memang mencetak sejarah sebagai orang pertama dari Indonesia yang mencicipi juara dunia lari di kategori itu.

Sebelumnya masih juara lokal, misalnya kelas Asia Tenggara atau meraih emas Asian Games (misalnya pada nomor lompat jangkit).

Memang pada tingkat senior, di tingkat Asia, dahulu ada juara lari 100 M, yakni Moh Sarengat. Prestasi ini dicatatnya pada Asian Games 1962. Tapi oleh IAAF rekornya tak diakui, meski catatan waktunya lumayan 10,5 detik. Rekor Sarengat ini bertahan selama 25 tahun sebelum dipecahkan anak muda asal Ajibarang, Banyumas, Purnomo Muhammad Yudi dengan catatan waktunya sampai 10,3 detik.

Prestasi Purnomo kala itu pun kayak yang dilakuan Zohri sekarang. Sangat hebat. Dia masuk putaran semi final Olimpiade Los Angeles 1994. Melalui siaran televisi, dia terlihat berlari di lajur tiga bersama pelari top dunia seperti dari Jamaika, USA, Inggris, dan lainnya. Legenda atletik, Carl Lewis pada putaran final kemudian menjadi juaranya.

Pada akhir lomba itu Lewis sempat mencatat rekor dunia. Purnomo memang tak jadi juara. Namun catatan waktunya, yang kala itu mulai gunakan teknologi komputer mengesankan, mencapai 10,41 detik. Dialah satu-satu orang Asia yang saat itu bisa masuk babak akhir lomba lari putaran dunia 100 m tingkat olimpiade.

Sayangnya, di tingkat Asia Purnomo sial, yakni pada Asian Games di India. Pada putaran final, media masa kala itu mengisahkan bila Purnomo kalah karena blok pijakan kakinya ketika hendak melakukan sprint sempat melorot. Celakanya lomba tidak diulang. Yang juara kala itu, kalau tidak salah, pelari Qatar, Talal Mansoor. (Mudah-mudahan Mas Purnomo sehat selalu dan bisa ikhlas dengan tak merasa jasanya dilupakan oleh bangsa ini).

Cerita pahlawan dalam dunia lari cepat banyak sekali. Rekor nasional untuk lari 100 m pun masih dipegang pelari asal Solo, Suryo Agung Wibowo dengan catatan waktu 10,17 detik. Di tingkat junior, rekor Zohri memang cukup mengkilap, yakni menumbangkan rekor Mardi Lestari yang pernah ditetapkan sebagai ‘manusia tercepat Asia’ yang bertahan selama 28 tahun.

Harus pula jujur diakui di tingkat usia U18, catatan waktu Zuhri masih jauh dengan torehan rekor lari 100 M dunia U18 yang dipegang oleh pelari Amerika Serikat, Anthony Schwartz, dengan catatan waktu 9,97 detik. Rekor dunia senior lebih jauh lagi karena catatan rekor yang dipegang Usain Bolt mencapai waktu 9,58 detik. Catatan waktu Zohri di tingkat dunia pada kelompok umur U18 baru berada pada tingkat ke-8.

*****

Meski begitu, oke saja kalau prestasi Zohri disambut gegap gempita. Hal lazim dalam sebuah dunia olahraga, sebuah prestasi memang selalu membangkitkan rasa nasionalisme. Tak hanya di Indonesia saja, di belahan dunia lain, dari Amerika, Inggris, Cina, Jepang, Rumania, Singapura, atau negara lain pun begitu. Kalau menjadi pemenang dalam sebuah ajang olahraga dunia mendapat pujian setengah mati. Penghargaan hingga duit jatuh diguyurkan. Dahulu layaknya loyang, sekarang dipuja-puji layaknya emas atau mutiara yang terpendam.

Semua berpikir seolah itu bisa dicapai secara instan, tanpa pengorbanan, dan derita. Apalagi dalam olahraga serba terukur, seperti atletik, berjuang mencapai sebuah rekor atau prestasi sangat tidak mudah. Harus dilalui dengan tahapan latihan yang serius yang lama. Istilahnya kerennya: Juara tak bisa dicetak dengan instan. Atau, juara tidak lahir mendadak hari ini.

Bukan hanya itu saja, sosok yang peduli para cabang olahraga itu juga ikut menentukan, meskipun ketika ada juara yang lahir tidak didengar namanya. Orang Indonesia boleh bangga dengan prestasi di nomor atletik dari zaman Purnomo, Mardi Lestari, hingga Lalu Muhammad Zohri. Tapi orang awam tak paham siapa orangnya yang bertahan mencintai, mencari bibit, bahkan membiayai atau jadi sponsor di baliknya, khususnya atletik, terutama cabang lari 100 M?

Nah, orang itu ada pada Bob Hasan atau Mohammad Hasan. Beliau kini sudah berusia senja lebih dari 80 tahun. Tapi semangat dan perhatiannya pada lomba lari jarak pendek tak pernah padam dalam kurun waktu yang lama, dari dulu sampai sekarang. Bob Hasan selalu mengatakan potensi di nomor lari jarak pendek bagi orang Indonesia sangat terbuka. Dan ingatkan pula bila lari 100 m atau sprint adalah ibu dari semua olah raga.

Memang, kini masih ada berita yang menyitir Bob Hasan atas kemenangan Zohri ini. Tapi jumlahnya sedikit sekali. Pada umumnya media masa baik cetak, online, elektronik, hingga media sosial, hanya sibuk memberikan tempat pada berita pejabat negara, orang swasta, yang sibuk mengklaim dan memberi hadiah atas prestasi gemilang Zohri. Seperti lazimnya setiap kali ada juara dunia baru, mereka memberi pujian menyundul langit.

Sayangnya, ini berlainan dengan sikap Bob Hasan. Dia hanya menasihati Zohri bila harus waspada, jangan lengah, dan berhati-hati dengan pujian karena Zohri punya target yang lain, misalnya kejuaraan di Asian Games yang akan dilangsungkan di Jakarta itu.

“Saya menyampaikan kepada CdM (Chef de Mission/CdM) agar tidak memuji Zohri. Nanti besar kepala dia, kalau udah begitu, dia gugup bisa kalah. Jadi, biasa-biasa saja,” kata Bob Hasan seperti yang dikutip berbagai media masa.

Bukan hanya itu, Bob Hasan mengisahkan lagi bila Zohri sudah bergabung cukup lama dalam pelatnas sejak tahun 2016. Zohri pun tinggal di asrama, baik di Senayan dan UNJ yang menampung 100 atlet dari daerah. Jadi perhatiannya tak hanya kepada Zohri semata, namun kepada semua atlet. “Ekspektasi (khusus) sih enggak karena kami melatih semua atlet,” kata Bob Hasan.

Bob Hasan lebih jauh mengatakan, untuk menghadirkan Zohri ikut lomba lari di Finlandia juga tak mudah. Visa ke luar negeri untuk Zohri sempat susah ke luar. Belum lagi ada kendala juga di bidang pengangkutan peralatan atlet yang akan bertanding. Padahal, katanya, pihaknya akan memberangkatkan dua atlet junior dalam Kejuaraan Dunia Atletik U-20, yaitu Lalu Muhammad Zohri dan Halomoan Edwin Binsar.

“Zohri hampir gagal berangkat karena dia anak yatim-piatu. Saya harus menanggung semua, kalau tidak, dia tidak dapat visa,” kata Bob Hasan.

PB PASI, tegasnya, juga telah mengalami kendala terkait visa seperti juga untuk Yaspi Boby ketika akan mengikuti pemusatan pelatihan di Amerika Serikat pada Maret-April 2018. “Yaspi Boby, jempolnya cedera sehingga dia tidak dapat visa ke Amerika Serikat. Idan Fauzan gagal berangkat ke Finlandia karena pesawatnya tidak mau terima galah,” ujarnya.

Jadi bayangkan, Bob Hasan yang sudah berusia 87 tahun, dari dahulu tak putus terlibat serta memikirkan tetek bengek soal atletik ini. Orang dari pengurus PASI dan para atlet pasti paham seperti apa jasa pengabdiannya. Berbeda dengan orang awam sekarang yang hanya tahu siapa yang tengah menjadi juara dan menganggap tak ada berbagai orang dan tokoh yang mencetak juara itu.

*****

Mungkin boleh saja orang menganggap enteng Bob Hasan. Apalagi punya catatan sebagai menteri kehutanannya Presiden Soeharto pada zaman Orde Baru. Apalagi dia juga pernah dipenjara dan menjalani hukuman di Nusakambangan atas tuduhan kasus korupsi ketika rezim berganti seusai 1998.

Tapi sikap Bob Hasan sangat patut diapresiasi. Wartawan senior yang mangkal di Kejaksaan Agung dari dahulu tahu mengenai sikap sportif Bob Hasan atas Pak Harto. Dia tahu itulah konsekuensi yang harus diterimanya sebagai mantan orang yang disebut ‘orangnya Suharto’.

Para jaksa yang memeriksanya kagum karena tanpa ‘tedeng aling-aling’ dan secara jantan Bob Hasan mengakui bahwa dia adalah orang Orde Baru. Sikap ini sangat lain dengan sebegitu banyak orang atau mantan pejabat yang pascareformasi di dakwa dan dipenjara oleh berbagai kasus. Mereka, hampir semuanya, mengelak dan menyembunyikan keterkaitannya dengan sosok mantan penguasa Orde Baru.

Dan itu tak menjadi soal besar. Pak Harto pun tahu Bob Hasan yang menjadi anak angkat dari jendral yang dianggap sebagai penasihat sekaligus juga orang tuanya: Jendral Gatot Subroto. Dalam berbagai memoar dikisahkan betapa dekatnya hubungan dia dengan Jendral Gatot. Bahkan, nama jalan jalan besar yang membentang di depan Gedung MPR DPR oleh Pak Harto ditasbihkan sebagai jalan Jendral Gatot Subroto.

Di sini, Bob Hasan memberikan contoh sebagai ksatria. Dulu dia meminta dipindahkan dari Sukamiskin ke Nusakambangan yang terkenal angker. Di sana, dia menjalani hukuman dengan mengajari para tahanan dengan laku produktif mengerjakan kerajinan batu akik.

Akhirnya, kepada Lalu Muhammad Zohri pahamilah serta mahfumlah. Hati-hati dan waspada terhadap sanjungan. Ingat seperti pepatah: Bila menjadi pemenang semua orang akan mengaku sebagai saudara. Tapi bila kalah tak akan ada orang yang datang dan hanya membuatmu orang piatu.

Jadi salut kepada Zohri, Purnomo Muhammad Yudhi, Mardi Lestari, Suryo Agung Wibowo, dan para pahlawan olahraga lainnya. Sekaligus hormat kepada Bob Hasan![kl]

Penulish: Muhammad Subarkah, Jurnalis Senior Republika

Sumber: republikaonline

Related News

Comment (0)

Comment as: