•   Thursday, 18 Apr, 2024
  • Contact

Jahatnya Malam dan Sulitnya Tidur

Sulit tidur atau tak bisa lelap delapan jam setiap malam bukan sekadar “penyakit” masa kini.

Oleh: Mira Renata

UTNAPISTHIM, sang Pahlawan Air Bah, konon diberkati para dewa dengan hidup abadi setelah melewati malapetaka dahsyat itu. Ketika Gilgamesh, pangeran muda dari Mesopotomia pada 2700 SM berduka setelah ditinggal mati sahabatnya, dia mencari Utnapisthim untuk mendapatkan rahasia hidup abadi.

“Jika kau bisa melewati tujuh hari dan tujuh malam tanpa tidur, kau pun terbukti pantas mendapatkannya,” tantang Utnapishtim, seperti tertulis dalam tabel kesebelas epos Gilgamesh versi bahasa Akkadia yang ditemukan sekitar 1870. Gilgamesh gagal memenuhi tantangan ini.

Melewati waktu tanpa tidur kini melebihi sebuah keabadian. Ia adalah simbol modern pencapaian, dedikasi, dan kesuksesan. Contohlah mantan perdana menteri Inggris, Margaret Thatcher, yang legendaris dengan kebiasaan tidur 4 jam. Dia bahkan hampir “tak pernah tidur” selama masa perang Inggris-Argentina (Perang Malvinas atau Falkland) sepanjang April hingga Juni 1982. Bersama asistennya, Cynthia Crawford, Thatcher memilih berada di ruang kerjanya di Jalan Downing sepanjang malam.

“Tak pernah sekalipun Thatcher mengganti setelan kerjanya dengan baju tidur. Dia ingin berada dalam keadaan siap untuk segala kemungkinan rapat darurat dengan Angkatan Laut tanpa harus repot mengganti baju,” tutur Crawford dalam wawancara dengan harian Inggris Daily Mail, 29 November 2009.

Crawford pula yang memperkenalkan “zizz” kepada Thatcher –tidur singkat selama 20 menit. Thatcher merasa terbantu dengan teknik ini dan terus menerapkannya bahkan usai Perang Malvinas. Crawford pun kewalahan. Jika Thatcher menghadiri rapat di markas militer di pagi hari, dia menyelinap tidur di salah satu kamar kosong di Jalan Downing. “Tidak semua dari kita memiliki energinya,” tutur Crawford.

Namun meski tak semua orang memikul tanggungjawab seorang perdana menteri, kebiasaan tidur singkat semakin meluas. Budaya 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, merambah hampir semua lini profesi. Waktu tidur seakan sebuah pilihan ketimbang keharusan. Apakah malam telah menggantikan fungsi siang sebagai waktu produktif? Apakah ini merupakan produk manusia masa kini atau bagian masa lalu?

Teror Malam Masa Lampau

Berbagai budaya di masa lampau memiliki keyakinan bahwa malam berkaitan dengan berbagai hal buruk, fisik maupun spiritual. Salah satu tulah yang menimpa bangsa Mesir di kota Pi-Ramesses di tepi Sungai Nil, seperti tertulis dalam Kitab Taurat, adalah “kegelapan yang meliputi kota selama tiga malam”. Meski sebagian ilmuwan kini memperkirakan kegelapan itu karena terhalangnya sinar matahari sebagai dampak letusan hebat Gunung Santorini di Mediterania, “teror” malam sudah berakar lama dalam peradaban manusia. Bangsa Mesir Kuno juga mempercayai Apep, roh penghancur dan kegelapan, berambisi menaklukkan dewa matahari Ra. Kejahatan Apep muncul melalui fenomena alam seperti gerhana matahari, badai, dan gempa bumi. Berbagai kepercayaan akan iblis yang berkuasa di waktu malam juga dimiliki budaya lain. Nyx, dalam mitos Yunani, adalah dewi penguasa malam yang memihak kejahatan –hingga Zeus pun takut padanya.

Kontradiksi antara “kejahatan” malam dan “kebaikan” siang, menurut sejarawan Craig Koslowsky dalam Evening’s Empire: A History of the Night in Early Modern Europe, terus berlanjut pada abad ke-15-17 di Eropa melalui tahayul, mistik, dan agama. Manual pemusnahan kaum penyihir, Malleus Maleficarum, misalnya, secara gamblang menetapkan “malam” sebagai “waktu di mana sang iblis menciptakan segala macam kejahatan,” jelas Koslowsky.

Malam dan bulan yang meneranginya juga dianggap sumber utama penyakit. Dalam Maison Rustique, Or The Country Farme(1616), Charles Estienne dan rekan menulis bahwa perempuan berisiko mendapat gangguan jiwa ketika bulan purnama. Selain itu, malam dipercaya menyebarkan penyakit lebih cepat ketimbang siang.

Pandangan sosial abad pertengahan kerap mengkonotasikan malam dengan kriminalitas dan pelacuran. Hampir tak ada satu pun aktivitas “bermoral baik” yang pantas dilakukan di malam hari. Hal ini perlahan berubah ketika komunitas Katolik dan Protestan di Eropa memperkenalkan tradisi doa bersama saat subuh.

Waktu Tidur yang Terbagi

Meski tak banyak aktivitas sosial di luar rumah pada malam hari, masyarakat Eropa masa itu tak selalu menghabiskan malam hanya untuk tidur. Dalam At Day’s Close: Night in Times Past, sejarawan A. Roger Ekirch yang mengumpulkan berbagai jurnal pribadi, surat, dan publikasi di Eropa pada abad ke-15-17, menunjukkan kebiasaan sebagian besar penduduk kalangan menengah dalam membaca dan menulis.

Salah satu surat Laura Cereta, istri seorang pengusaha Italia pada akhir abad ke-15, menceritakan hobinya menulis dan membordir syal di malam hari setelah semua pekerjaan rumah selesai. Cereta berucap: “Saya tak bisa menikmati waktu menulis dan belajar jika tak menggunakan waktu secara produktif di malam hari. Saya tidur sangat sebentar. Waktu adalah barang langka untuk sebagian kita yang menggunakan keterampilan dan tenaga untuk keluarga dan bekerja.”

Dari risetnya, Ekirch juga menemukan kebiasaan tdiur masyarakat Eropa yang bertahap (segmented) ketimbang 8 jam sehari sebagaimana ukuran ideal masa kini. Tahapan ini diawali dengan tidur pertama (first sleep atau dead sleep), diikuti masa terbangun interval (watch atau first waking), dan diakhiri tidur kedua atau pagi (second sleep atau morning sleep).

Tidur pertama biasanya dilakukan setelah makan malam. Ketika terbangun, orang melakukan berbagai aktivitas: berdoa, berbincang, merokok, atau meneruskan belajar. Para pembantu merapikan rumah dan menghangatkan minuman bagi majikan. Seorang dokter pada abad ke-16 di Prancis, Laurent Joubert, menganggap masa interval sebagai waktu terbaik bagi suami-istri berhubungan seks untuk menghasilkan pembuahan.

Masing-masing orang punya cara untuk memanfaatkan waktu interval. Negarawan sekaligus ilmuwan Amerika Benjamin Franklin biasa membaca buku atau menulis dalam keadaan telanjang. Udara dingin, menurutnya, “sangat menyegarkan… dan jika saya memutuskan tidur setelahnya, seperti beberapa kali terjadi, ia akan menjadi tidur terindah selama satu-dua jam,” tulisnya kepada seorang kenalan pada pertengahan abad ke-18.

Fungsi malam yang tak lagi terbatas sebagai waktu tidur, menurut Ekirch, berawal sejak kaum bangsawan Eropa gemar menyelenggarakan jamuan dan hiburan di malam hari. Dengan fasilitas kereta kuda dan lilin-lilin penerang yang mewah, mereka menjadikan malam sebagai sebuah “trend” untuk berpesta.

Hiburan malam mulai dinikmati masyarakat menengah Eropa dengan munculnya lampu penerang jalan di kota-kota besar. Sejak Edmund Heming memasang lampu-lampu di kota London dan Jan van der Heyden menemukan teknologi reflektor yang memperbesar cahaya lampu, jalan-jalan di Paris (1667), Amsterdam (1669), Berlin (1682), London (1683), serta Vienna (1688) pun terang-benderang.

Ketika Kita Tertidur

Apa yang terjadi saat kita tertidur? Para ahli medis dan filsuf telah lama mencari jawabannya. Dalam tataran filosofis, dalam On Sleep and Sleeplessness pada 350 SM, Aristoteles mencoba memahami tidur sebagai transisi antara tubuh dan jiwa. Filsuf Prancis Rene Descartes, dalam kumpulan pemikirannya Meditation (1641) menelusuri persepsi manusia terhadap ilusi mimpi dan realitas dengan kondisi tidur dan terbangun, “…tak pernah ada indikasi pasti yang membedakan keduanya.”

Dua abad setelah Descartes, berbagai penelitian berusaha menyimpulkan penyebab tidur. Fungsi otak dalam tidur menjadi fokus ahli anatomi Italia, Luigi Rolando (1809) dan dikembangkan peneliti Prancis, Marie-Jean Pierre Flourens (1822). Penelitian keduanya membuktikan terjadinya perubahan pola tidur burung merpati (menjadi terus-menerus tertidur) setelah mengalami pengangkatan jaringan di belahan otak besar. Pembahasan tidur secara medis dipelopori peneliti Prancis, Henri Pieron dalam Le Probleme Physiologique du Sommeil (1913).

Fungsi otak dalam mengatur pola tidur manusia menjadi fokus penelitian Constantin von Economo, seorang ahli medis Romania di tengah wabah influenza yang melanda Eropa pada 1918. Economo mempelajari kecenderungan pasien-pasiennya yang menderita radang otak akut yang kerap susah tidur (insomnia) atau justru malah tidur berlebih. Melalui pembedahan atas sejumlah pasien yang meninggal, dia menyimpulkan keberadaan komponen dalam hipotalamus (bagian otak) yang mengatur pola tidur.

Komponen yang dimaksud Economo pada abad berikutnya dikenal sebagai suprachiasmatic nuclei atau “jam internal” manusia yang mengatur berbagai aktivitas rutin selama 24 jam. Ia mengatur pola tidur dan bangun manusia melalui paparan cahaya dan gelap sebagai pemicu. Paparan ini difasilitasi oleh keberadaan pigmenmelanopsin (Opn4) dalam sel retina yang sensitif terhadap cahaya serta hormon melatonin yang berproduksi dalam kondisi gelap serta menimbulkan kantuk.

Terobosan besar dalam penelitian tidur manusia terjadi ketika peneliti Jerman, Hans Berger, membandingkan rekaman gelombang otak saat tidur dan bangun dengan alat EEG (electro-enchephalogram) pada 1928. Dengan EEG pula, peneliti Allan Rechtschaffen dan Anthony Kales pada 1968 memformulasikan beberapa tingkatan tidur yang terjadi dalam durasi di atas 7 jam. Tidur bukanlah sebuah proses linear melainkan memiliki beberapa tahap yang terdiri dari kategori Non Rapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement(REM). Bahkan bunga tidur alias mimpi, menurut beberapa penelitian, cenderung kompleks, terasa nyata dan berdurasi lama pada tahap REM dibanding NREM. Dengan demikian otak manusia tidak “pasif” saat tidur namun aktif dan memiliki pola gelombang dan frekuensi berbeda dalam tiap tingkatan.

Berbagai penelitian juga membuktikan waktu tidur yang kurang dapat menyebabkan kantuk berlebih, perubahan mood, mundurnya proses kognitif dan konsentrasi, gangguan metabolisme, hingga menurunnya sistem imunitas tubuh.

Kebiasaan “berhutang” waktu tidur, menurut Steven W. Lockley dan Russel G. Foster dalam Sleep: A Very Short Introduction, harus “dibayar” keesokan harinya dan tak dapat ditunda. Jika waktu tidur ideal orang dewasa adalah 7,5 jam sehari dan seseorang hanya tidur 4 jam, Lockley dan Foster menyebutnya sebagai kurang tidur kronis. Jika dilakukan dua minggu penuh, orang tersebut akan mengalami kekurangan akut dan penurunan kinerja serupa orang yang tak tidur selama 2-3 hari berturut-turut.

Lebih parahnya lagi, Lockley dan Foster menambahkan bahwa orang tersebut tak serta-merta “sadar” akan merosotnya kinerja diri, “…mungkin bisa dikatakan serupa dengan mereka yang minum banyak alkohol dan tetap yakin mampu menyetir kendaraan.”

Insomnia, Teror Tanpa Tidur

Untuk mereka yang sulit tidur, masalah bukan sekadar persoalan cahaya dan kegelapan. Dalam kegelisahan tak kunjung lelap di malam hari, penulis Inggris Charles Dickens kerap keluar menyusuri jalan-jalan di kota London mencari inspirasi berbagai karakter untuk tulisannya. Sekembalinya ke rumah, Dickens, berbekal kompas, memastikan dirinya berbaring menghadap utara. Dia meyakini posisi ini membantunya cepat tidur serta menambah kreativitasnya menulis.

Ketika Charles Dickens meninggal pada 1870, pengobatan untuk gangguan sulit tidur atau insomnia belum menjadi pembahasan medis. Untuk mengobati gangguan tersebut, kebanyakan penduduk Inggris mengatasinya dengan minum alkohol. Penggunaan Cannabis indica(ganja) untuk mengobati insomnia, migren, dan kejang-kejang kali pertama disebut dalam jurnal medis Lancet pada 1890 oleh J.R. Reynolds, dokter pribadi Ratu Victoria di Inggris. Reynolds konon membuat racikan dengan tambahan ganja, yang saat itu mudah didapat di pusat apotek di London, sebagai obat keram datang bulan Ratu Victoria sekaligus untuk membantunya tidur.

Pada awal abad ke-19-20, insomnia kerap dipandang sebagai penyakit fisik yang bisa disembuhkan dengan obat-obatan dan berbagai anjuran seperti mengurangi kafein, mandi air hangat di malam hari, hingga hipnotis. Penemuan berbagai jenis obat tidur juga dianggap sebagai jawaban. Namun kalangan ilmuwan, terutama psikolog, memandang faktor depresi sebagai salah satu penyebab yang sekaligus memperparah insomnia. Kontroversi seputar kematian aktris Hollywood Marilyn Monroe pun tak luput dari dugaan depresi dan overdosis obat tidur.

Setahun sebelum dia ditemukan tewas pada 4 Agustus 1962 dalam keadaan tertelungkup memegang gagang telpon di tempat tidur, Monroe bercerita tentang insomnia yang menderanya kepada jurnalis W.J. Weatherby. “Kau tahu siapa yang menjadi tumpuanku? Bukan orang asing, bukan teman, melainkan telepon! Itulah sahabatku. Aku jarang menulis surat namun aku senang menelpon kawan-kawanku pada larut malam ketika aku tak bisa tidur,” ujar Monroe seperti ditulis Weatherby dalam My Conversation with Marilyn.

Sebelum meninggal, Monroe mengonsumsi dua jenis obat tidur sekaligus, Nembutal dan Chloral hydrate, dari dua dokter berbeda. Selain itu, sepanjang hidupnya Monroe berjuang keras melawan rasa tak percaya diri dan depresi. Dia terobsesi untuk tak bernasib seperti sang ibu (yang dirawat di rumahsakit jiwa) dan menunjukkan kemampuan akting yang berkualitas, bukan sekadar simbol seks. Monroe juga menerima kenyataan pahit dipecat oleh Fox Studio dari produksi film Something’s Got to Give pada 1 Juni 1962, tepat di hari ulang tahunnya ke-36. Hidup sendirian, beberapa rekan terdekatnya pun mengkhawatirkan ketahanan Monroe yang larut dalam keterpurukan.

“Tidur selalu menjadi ketakutannya,” ujar Arthur Miller, mantan suami ketiga Monroe mengenangnya.

Sumber:  https://www.historia.id

Related News

Comment (0)

Comment as: