BPJS, Bersemi di Jaman SBY, Sekarat di Jaman Jokowi
Alasan ini sulit diterima nalar. Pasalnya, kalau memang tidak memenuhi persyaratan, mengapa sebelumnya BPJS bisa dan mau bekerjasama dengan sejumlah RS tersebut?
Yang jelas akibatnya lagi-lagi rakyat yang pusing. Putus kontrak artinya RS tak bisa lagi menerima pasien yang berobat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan. Padahal masyarakat banyak berharap kepada sistem pelayanan BPJS Kesehatan ini. Data BPJS hingga Mei 2018, peserta program jaminan kesehatan telah mencapai sekitar 200 juta jiwa (sekitar 75 persen) penduduk Indonesia.
Tapi masalah ini bukan kali pertama. Ambil contoh prajurit TNI, PNS Kemhan dan keluarga serta Purnawirawan tak lagi bisa berobat langsung ke fasilitas kesehatan Kementerian Pertahanan/TNI. Ini akibat pemberhentian secara sepihak rujukan online ke fasilitas kesehatan Kemhan/TNI oleh BPJS Kesehatan.
Pengurangan kualitas layanan bukan itu saja. BPJS kesehatan juga ditenggarai menghentikan penjaminan obat-obatan kanker, operasi katarak dan fisioterapi. Sampai-sampai BPJS tega mempersulit pasien yang sudah harus rutin cuci darah untuk minta rujukan ke fasilitas tingkat 1 (puskesmas, poliklinik, dokter keluarga).
Baca juga Berjudi dengan Prabowo
RS juga kelabakan karena BPJS menunggak tagihan. Sampai-sampai ada dokter mogok kerja karena insentifnya belum dibayar. Keluhan itu merata, baik dari RS Swasta maupun RSUD, dari kota kecil hingga Jakarta.
Semua ini terjadi akibat defisit anggaran BPJS Kesehatan. Dalam catatan Prognosis BPJS Kesehatan hingga akhir 2018 defisit arus kas BPJS Rp 16,5 triliun. Dampak defisit ini ke segala arah dari pasien dan masyarakat lainnya, dokter, karyawan hingga supplier alat-alat kesehatan dan obat-obatan (farmasi). Keadaan ini tentu meresahkan semua pihak utamanya pasien yang berobat ke RS.
Tragisnya, sebelumnya Presiden Jokowi selalu gembar-gembor soal KIS dan BPJS Kesehatan, sehingga membuat pembangunan klinik-klinik kesehatan serta RS swasta semakin marak. Nyatanya hari ini berubah suram. Para pengelola RS dan klinik-klinik swasta yang semula berharap mendapat profit, malah dihadapkan pada seretnya likuiditas. Sementara klaim ke BPJS makin sulit dipenuhi.
Dalam kondisi itu, entah mengapa tahun lalu Presiden Jokowi sempat memamerkan keunggulan program Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan BPJS Kesehatan kepada Managing Director IMF, Christine Lagarde. Dan tragisnya, saat BPJS menjerit akibat deficit, Presiden malah lempar bola: “memangnya itu urusan saya?” Astaga!
Semua ini amat mengenaskan. Padahal BPJS nyata-nyata didisain oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai implementasi amanat UUD 1945, yakni negara wajib melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.
Baca juga BPJS Terus Mengalami Defisit, Sandiaga: Biar Kami Kelola
Saya masih ingat benar, saat peremian akhir tahun 2013, SBY sempat berpesan “saya tidak ingin mendengar, ada laporan rakyat tidak mampu ditolak rumah sakit, dan tidak bisa berobat karena alasan biaya. Rakyat miskin gratis berobat dan dijamin BPJS Kesehatan.
Tahun 2014 itu menjadi tahun yang menggembirakan. Rakyat Indonesia tidak mau jatuh sakit, tetapi andaipun sakit mereka yakin pemerintah akan membantu. Tahun 2014 itu, saya ingat benar, rakyat Indonesia boleh langsung menggunakan fasilitas kesehatan, meski pada hari yang sama, baru mendaftar di BPJS Kesehatan. Hari ini boro-boro! Sedang Rp 75 triliun dana BPJS Ketenagakerjaan saja sampai dialihkan untuk pembangunan infastruktur.
Jujur saja, saya ingin BPJS Kesehatan kembali seperti dulu, seperti di era pemerintahan SBY. Dan kalau untuk itu saya harus mendukung Partai Demokrat atau menganti pemerintah, saya akan melakukannya. Dan saya yakin rakyat juga akan melakukannya.
Kesehatan bukan seperti sepatu yang bisa diganti sandal bila kantung sedang kempes. Ini menyangkut hidup mati manusia. Tidak boleh diurus serampangan apalagi dipimpin oleh orang-orang yang tidak becus.
Comment (0)