Mengapa Negara Enggan Menguak Misteri Kematian Ratusan Petugas KPPS?
ADALAH dokter Ani Hasibuan, yang Selasa malam, 7 Mei 2019, diundang oleh TV One di acara “Catatan Demokrasi Kita” yang menggantikan slot acara ILC. Topiknya membahas fenomena kematian beruntun para petugas KPPS yang telah menelan korban jiwa 550-an orang.
____________________________
OLEH: IRAMAWATI OEMAR
____________________________
Awal acara dimulai dengan testimoni seorang ibu yang suaminya meninggal dunia setelah menjalankan tugas sebagai Ketua KPPS di wilayah Bekasi. Suami ibu tersebut sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit tertentu, sehat-sehat saja. Pekerjaannya sehari-hari adalah sopir kendaraan antar jemput. Sebelum meninggal, suaminya mengalami sesak napas, sulit sekali untuk bernafas. Dokter mendiagnosanya dengan “jantungnya lemah”.
Tentu pihak keluarga heran, sebab semula sama sekali tidak ada tanda-tanda menderita lemah jantung. Sempat masuk RS dan dirawat di ruang ICU, akhirnya nyawa sang suami tak tertolong lagi.
Testimoni kedua dari seorang bapak yang adiknya juga meninggal setelah menjadi petugas KPPS. Adik bungsunya adalah seorang pria muda yang sehat, berusia 43 tahun dan selalu rutin berolahraga. Dahulunya korban adalah pemain bola, hanya saja belakangan ini tidak lagi menjadi pemain bola, bekerja di kantor, namun aktifitas olah raga tetap dilakukannya rutin sehari-hari.
Di usia yang relatif muda, rajin berolahraga dan tidak pernah ada keluhan sakit, maka sangat mengejutkan bagi keluarga ketika sang adik meninggal tak lama setelah menjadi petugas KPPS. Apalagi di keluarga mereka seluruh saudaranya masih hidup dan dalam keadaan sehat hingga saat ini, hanya adik bungsunya itu yang meninggal dunia.
Kedua orang tersebut juga menceritakan aktivitas korban sejak hari sebelum pencoblosan, mulai dari menunggu kotak suara hingga malam sampai menyelesaikan penulisan formulir-formulir hingga keesokan paginya setelah pencoblosan. Namun, menurut istrinya, bapak yang di Bekasi itu sempat meminta ijin untuk tidak mengikuti salah satu aktivitas karena merasa lelah.
Dokter Ani juga menanyakan apakah korban mengkonsumsi minuman-minuman bernergi, dll. Ternyata tidak.
Dokter Ani tergerak untuk melakukan penelitian atas banyaknya jumlah petugas KPPS yang meninggal dunia. Menurutnya : 1 nyawa saja terbunuh dengan sengaja, sama dengan membunuh manusia sedunia. Maka, kematian sampai lebih dari 500 orang secara beruntun dalam kurun waktu yang singkat, mengusik nuraninya. . Dia pun mencoba mencari tahu apa saja tugas anggota KPPS dan juga melakukan observasi kepada keluarga korban, salah satunya di Jogja. Korban masih muda, awalnya sehat walafiat, punya 4 orang anak, istrinya tidak bekerja. Kini pasca kematiannya, dimana letak kepedulian negara terhadap korban dan keluarganya?!
Menurut dokter Ani, KELELAHAN TIDAK BISA MENJADI COD (Cause Of Dead). Jika tubuh manusia kelelahan, maka yang terjadi adalah lapar, mengantuk, tetapi bukan kematian. Kecuali jika sejak awal orang tersebut memang memiliki penyakit tertentu yang memang tidak boleh kecapekan, misalnya sakit jantung, sakit ginjal, sakit liver, dll.
Maka penyebab kematiannya adalah penyakit tersebut, yang dipicu oleh kelelahan. Tetapi, jika seseorang yang semula sehat, lalu bekerja hingga kelelahan, maka tidak mungkin membawa dampak kematian. Apalagi pekerjaan anggota KPPS hanyalah kebanyakan aktivitas tulis menulis, bukan pekerjaan berat secara fisik.
Sayang sekali, 2 orang yang juga jadi nara sumber di acara tersebut : I Putu Artha (mantan Komisioner KPU era SBY) dan Adian Napitupulu, seperti sengaja, mereka kompak memelintir ucapan dokter Ani, seolah-olah dokter Ani sedang meremehkan pekerjaan petugas KPPS.
Berkali-kali mereka membangun narasi yang nada/cara mengucapkannya bahkan lebih merendahkan/meremehkan dari pada ucapan dokter Ani yang sebenarnya. Padahal, kalau mereka pakai akal sehat dan tidak sedang berusaha meremehkan kematian 550an anak bangsa, maka semestinya mereka berdua paham bahwa yang dimaksud dokter Ani adalah : pekerjaan petugas KPPS itu relatif tidak menguras energi dan melibatkan aktivitas fisik, semisal seperti pekerjaan kuli panggul di pelabuhan, atau buruh konstruksi yang kerap bekerja hingga larut malam di jalanan.
Coba lihat saja pembangunan LRT yang di sekitaran Jakarta. Rocky Gerung sampai menegaskan : bukankah betul pekerjaan petugas KPPS memang cuma tulis menulis, administrasi, memangnya mereka naik gunung?!
Adian hanya menambahkan aktivitas membagikan undangan. Betul, membagikan undangan kepada para pemilih di TPS nya, yang wilayahnya relatif berdekatan (biasanya masih dalam lingkup satu RT/RW) dan itupun tidak sendirian, semua petugas KPPS terlibat dan bisa bekerja secara bergantian. Toh selama melakukan pekerjaan mereka jika lelah juga bisa istirahat sejenak, mereka masih bisa makan dan minum kapan saja.
Herannya kedua orang yang sama sekali bukan ahli medis itu seakan-akan lebih pintar dari dokter. Mereka melarang dokter Ani “memvonis” pekerjaan petugas KPPS karena dianggap tidak paham soal itu. Tetapi, lucunya mereka sendiri berani menyimpulkan bahwa KELELAHAN adalah PENYEBAB KEMATIAN para petugas KPPS, padahal mereka tidak mampu menjelaskan secara fisiologis dan medis.
Konyol!!.
Konyolnya lagi, Pak Putu malah memberikan contoh di Bali ada petugas KPPS yang memang punya penyakit ginjal, akibat kelelahan, maka dia meninggal. Dokter Ani menyimpulkan bahwa penyebab kematiannya akibat ginjalnya yang sakit, dipicu oleh kelelahan. Pak Putu mengatakan bahwa untuk menjadi petugas KPPS harus dinyatakan berbadan sehat, nah kemungkinan besar surat keterangan sehat yang dikeluarkan oleh dokter itu tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
Jadi orang sudah punya penyakit tertentu tapi dinyatakan sehat. Kontan saja Bung Haris Azhar yang juga jadi nara sumber tadi malam, “menyambut” statement Pak Putu : “Saya gak habis pikir, bagaimana bisa seorang mantan (komisioner) KPU bisa dengan entengnya mengatakan surat keterangan dokter tidak dibuat dengan sebenarnya. Artinya ini ada pemalsuan dokumen negara!”. ..
Seketika Putu Artha mingkem! Tak mampu lagi menjawab pernyataan Haris Azhar.
Intinya : kedua orang itulah – Adian dan Putu Artha – yang justru hendak menyederhanakan masalah, menggeneralisir bahwa penyebabnya kelelahan, sudah! Selesai sampai disitu saja.
Bahkan, jika benar ada pemalsuan keterangan dokter atau dokter memberikan keterangan palsu (orang sakit dinyatakan sehat) semestinya itu diselidiki : berapa banyak yang seperti itu. Ada apa ini?!
Untung saja Bung Rocky Gerung, Haris Azhar dan utamanya dokter Ani Hasibuan tidak membalas menggoreng pernyataan Putu Artha soal surat dokter tersebut.
Anyway, sampai saat ini, Pemerintah memang belum tampak melakukan upaya ekstra terhadap musibah luar biasa ini. Dalam kurun waktu kurang dari 20 hari sudah ada lebih dari 550 orang meninggal dunia dan ribuan lainnya dirawat karena sakit.
Tidak cukup hanya pernyataan turut berduka cita saja. Apalagi jumlahnya begitu besar dan terus bertambah, seharusnya ada inisiatif negara (pemerintah) untuk membentuk Tim Pencari Fakta untuk melakukan investigasi secara menyeluruh, agar bisa diketahui penyebab pastinya, bisa dilakukan pencegahan agar tak lebih banyak lagi korban, sekaligus agar tak terulang kembali pada Pemilu 5 tahun yang akan datang.
Kata Haris Azhar : “5 tahun lagi ada Pemilu, tapi gak ada orang yang mau jadi petugas KPPS”.
Ditunggu, kapan NEGARA HADIR dalam MUSIBAH NASIONAL ini. Kecelakaan transportasi massal saja tidak ada yang mencapai 550 jiwa meninggal. Kecelakaan pesawat umumnya 300an jiwa. Kecelakaan kereta api Bintaro tahun 1987 saja, korban meninggal 156 orang dan 300 terluka. Maka, sudah semestinya korban meninggal akibat Pemilu serentak ini menjadi “kecelakaan demokrasi” terbesar.
Dan sudah sepatutnya ada penyelidikan serius atas penyebabnya, bukan digeneralisir karena kecapaian.
Jika tak mampu menghargai nyawa anak bangsanya sendiri, siapa yang akan menghargai? Masa iya ratusan nyawa melayang dicuekin saja seperti jaman Westerling.
Comment (0)