Dari Kampung Laut ke Sekolah Dokter

Oleh: Dahlan Iskan

Tiga jam lagi saya harus berangkat. Ke Korea Utara. Alhamdulillah. Masih sempat makan siang dengan calon mahasiswa dari Papua, Gorontalo dan Kalimantan Utara. Menikmati masakan Banjar istri saya.

Itulah sebagian dari 350 calon mahasiswa baru. Yang akan kuliah di Tiongkok tahun ini. Dikirim oleh yayasan yang saya pimpin.

Tiap tahun sekitar angka itu yang berangkat. Sudah tujuh tahun berturut.

”Ayah saya nelayan,” ujar Utrek van Hasel Wambrauw. Asal kabupaten Supiori, Papua.

Utrek masuk rombongan terakhir yang berangkat. Ia akan kuliah di fakultas kedokteran di Tiongkok. Di kota Chifeng, Monggolia Dalam.

”Tahun ini ada 44 calon mahasiswa dari Papua dan Papua Barat,” ujar Lily Yosica, yang direktur di yayasan saya itu. ”Hampir semua ambil kedokteran,” tambah Lily.

Utrek bukan sembarang Papua. Nama kabupaten ini begitu asing: Supiori. Kabupaten baru. Di belahan barat pulau Biak.

Kampungnya sendiri lebih jauh lagi. Harus naik perahu lagi. Rumahnya memang di atas laut. Satu kampung di atas laut. Perumahan kayu. Semua pekerjaan tetangganya juga nelayan. Turun temurun. Utrek yang akan menjadi generasi pertama yang jadi dokter.

Saat masih di kampungnya Utrek juga sering melaut. Cari ikan. Atau mendayung perahu. Untuk ambil air minum. Dari sumber di darat. Sumber air minum untuk kampung itu hanya ada satu: di daratan pulau Biak. Utrek membawa ember-ember kosong di perahunya. Mengisinya dengan air sumber. Lalu mendayungnya pulang. Kalau mandi, Utrek menggunakan air laut. Hanya bilasnya pakai air dari ember.

”Kami tidak pernah menggunakan sabun. Dengan air laut sabun tidak bisa berbusa,” kata Utrek.

Teman berangkat Utrek adalah Rey Marthen Wadiwe dan Ina Nuraida Sonya Mansoben. Juga dari kabupaten Supiori. ”Kalau ayah saya mantan anggota DPRD. Dari partai PKS,” ujar Ina.

Di Papua, kata Ina, biasa saja orang Kristen jadi anggota DPRD dari PKS.

Dua di antara yang ikut makan siang kemarin adalah calon mahasiswi berjilbab. Lulusan madrasah Aliyah. Mufida Alamri lulusan pesantren Hubullah. Bahasa Arabnya bagus. Saya coba menanyainya beberapa hal. Dalam bahasa Arab. Mufida menjawabnya dengan lancar. Dan tidak ragu-ragu.

Mufida mengaku banyak ditanya-tanya. Oleh orang-orang Gorontalo. Yang umumnya sangat religius. Mengapa ke Tiongkok. Kok tidak ke Mesir, misalnya.

Teman Mufida dari Gorontalo adalah Ajeng Elsinta Mutaji. Dari madrasah Aliyah negeri  kota Gorontalo.

Utrek dan teman-teman Supiorinya mendapat beasiswa dari Tiongkok. Untuk biaya kuliah dan asramanya.
Lalu dapat bea siswa dari bupati Supiori untuk keperluan makan, buku dan pakaian.

Kalau Mufidah dan Ajeng hanya dapat bea siswa dari yayasan. Untuk kuliah dan asramanya. Makan ditanggung sendiri. Dengan bantuan dari pemda.

Hanya Amanda yang bapak ibunya Tionghoa. Tinggal di kota Tanjung Selor, ibukota propinsi baru: Kalimantan Utara.

Tahun ini, seperti tahun lalu, Kaltara juaranya. Terbanyak mengirim calon mahasiswa: 65 orang. Mereka dari perbatasan dan dari pedalaman. Termasuk banyak yang dari suku Dayak.

Gadis-gadis Dayak nanti pasti mengagetkan orang di Tiongkok sana: kok kulitnya begitu kuning? Kok matanya juga sipit? Pasti banyak yang mengira mereka penduduk asli Tiongkok. Kelak. Kalau mereka sudah bicara dengan logat sana. Bahkan mereka ini, sumpah, bisa terlihat lebih cantik-cantik.

Dari Surabaya Mufida nanti bisa pamit ke orang tua lewat telepon. Utrek tidak bisa. Orang tua Utrek tidak punya hand phone. Dan lagi tidak ada sinyal di kampungnya. Ia akan memberi tahu keadaannya lewat keluarga. Yang tinggal di kota. Untuk disampaikan ke orang tuanya. Kapan-kapan.

Saya pun kini semakin siap. Untuk kalah telak. Dengan mereka itu nanti. Dalam berbahasa mandarin.
Di pondok-pondok pesantren seperti Genggong (Probolinggo), Bumi Sholawat (Sidoarjo), Amanatul Ummat (Pacet) sudah banyak yang bahasa mandarinnya lebih baik dari saya.

Kian lama kian populer program bea siswa yayasan kami. Alhamdulillah.

Saya juga baru tahu: Anak Ivanka Trump ternyata juga mendalami bahasa Mandarin. Presiden Xi Jinping menyaksikannya. Saat sang cucu Trump itu menyanyi, bercakap dan membaca puisi. Di depan tamu negaranya. Dalam bahasa Mandarin. Saat Xi Jinping bertemu Presiden Donald Trump. Di salah satu ‘istana’ Trump di Florida dulu.

Gak disangka ternyata itu isyarat perang dagang dengan Tiongkok. (Dahlan Iskan)

Related News

Comment (0)

Comment as: