Puasa Kita, Kelas Syariat atau Hakikat?
SECARA syariat tata cara fiqiyah, puasa ialah kewajiban bagi muslimin-muslimat yang memenuhi syarat, yakni muslim, suci dari hadas besar, badan sehat, sudah baligh, berakal sehat, untuk mencegah makan dan minum selama beberapa waktu yang ditentukan. Diawali niat dan ditutup dengan berbuka puasa pada waktu yang ditentukan. Di luar ketentuan itu, ibadah puasa dianggap tidak sah atau batal.
______________________________________________
oleh Prof. M. Mas’ud Said, PhD*
______________________________________________
Secara substansial, puasa yang baik harus bisa mengantar diri kita lebih spiritual dalam makna bahwa situasi lapar dan dahaga itu dapat mempercepat proses mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Dengan berpuasa, seharusnya kita lebih sensitif terhadap penjagaan diri akan dosa dan adanya keinginan lebih banyak untuk berbuat baik terhadap sesama, lebih bermanfaat kepada lingkungan terkecil dalam keluarga, serta tak menzalimi diri sendiri dan masyarakat sekitarnya.
Hakikat tertinggi ibadah puasa adalah capaian spiritual yang lebih bebas, lebih terbuka, tak terikat fiqih ibadah. Sedangkan puasa dalam tataran syariat lebih dekat dengan istilah relegiusitas itu lebih terikat pada aturan atau fiqih, seperti halnya tata aturan salat, syarat dan rukun wudu, ikatan aturan main yang yang harus dilafalkan atau dilakukan seseorang dalam ibadah agar dianggap sah.
Sayangnya juga, siaran-siaran dakwah kita juga menanamkan nilai puasa kita terhadap anak didik biasanya berkutat pada hal-hal yang bersifat syariat.
Kita melihat bahwa sering kali kita terjebak pada tata aturan puasa, namun tak terlalu peduli dengan hasil atau impact puasa.
Memang, dalam Alquran, Allah Swt. mewajibkan kita berpuasa agar kita menjadi muttaqin, yaitu orang orang yang taat kepada-Nya. Namun jangan lupa, dalam banyak hal, Allah Swt. meletakkan orang-orang yang muchsinan, yaitu orang yang selalu berbuat baik dalam maqam atau derajat yang lebih mulia dari pada orang bertakwa.
Derajat orang-orang yang bertakwa atau muttaqin itu orang yang taat aturan, sedangkan muchsin adalah orang-orang yang selalu berbuat baik. Allah Swt. lebih menempatkan orang yang berbuat kebaikan lebih pada orang-orang yang taat beribadah. Oleh sebab itu, saya memberanikan diri untuk mengajukan pernyataan bahwa di samping berpuasa syariat, kita harus bisa mencapai fadilah puasa secara hakikat.
Saya memaknai puasa saya masih pada tataran syariat, puasa kelas syariat itu adalah laku lampah yang taat aturan fiqih. Kita terjebak, apakah puasa kita sah atau batal secara fiqiyah. Sedangkan puasa yang hakiki itu ialah akhlak hasil proses ibadah.
Syariat itu lebih pada tata cara ibadah. Puasa kelas atasnya ialah berlanjutnya capaian puasa itu pada akhlak yang mulia. Dengan demikian, puasa kita harus sukses kedua-duanya, yaitu membawa kita lebih taat secara fiqiyah sekaligus mendorong kita untuk jadi orang-orang muchsin yang sesungguhnya.
Secara logika, belum tentu orang berpuasa dengan segala tata cara fiqih-nya itu bisa menghantarnya untuk mendapatkan jiwa spiritualitas yang tinggi. Sebaliknya, orang yang tak lagi puasa pun--misalnya pada bulan lain--bisa saja lebih spiritual, walau ia tidak begitu religius taat lima waktu salah berjemaah.
Dengan bahasa yang agak bebas, misal sepak bola, religiusitas fiqiyah itu ibarat taktik dan strategi serta keindahan bersepak bola.
Religiusitas ibadah adalah ibadah yang taat aturan tata cara ibadah formal. Spiritualitas adalah gol dan capaian kemenangan.
Sesungguhnya, dengan menelisik filsafat puasa, dalam bulan Ramadan ini, kita memang harus mendapatkan dua capaian sekaligus, yaitu capaian religiusitas dan capaian spiritualitas yang tinggi.
Berbeda dengan puasa dalam tataran syariat fiqih yang ketat, puasa itu laku lampah batin yang lebih halus dan substantif. Puasa itu adalah laku spiritualitas hanif menuju kecintaan perbuatan baik yang tak terikat dengan aturan ibadah mahdhoh.
Hakikat puasa itu adalah spiritualitas hasil dari proses puasa syariat. Kalau setelah puasa nanti kondisi spiritualitas kita tetap seperti sebelumnya, maka sesungguhnya puasa kita hanya berujung hasil lapar dan dahaga saja.
Dalam makna ini, yang dimaksud dengan puasa sejati atau puasa yang hakiki itu ialah situasi di mana kita sudah melaksanakan kewajiban kita terhadap tata aturan ritual agama sekaligus bisa mendapati diri lebih baik, lebih berguna lagi di lingkungan kita.
Kalau kita ingin mengukur diri; apakah puasa kita sudah tingkat tinggi hakikat atau masih tingkat syariat, maka caranya gampang, apakah dengan puasa nanti kehadiran dan keberadaan kita setelah berpuasa itu lebih banyak berguna bagi orang lain atau tidak.
*Penulis adalah Direktur Pascasarjana Unisma, Ketua Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur, dan Ketua Yayasan Sabilillah Malang Bidang Sosial dan Kemasyarakatan.
Comment (0)