Cari Resep yang Mahal
Oleh: Dahlan Iskan
Obat saya hilang. Di Amerika. Sebagian. Entah tercecer di mana. Padahal obat itu penyangga nyawa saya.
Memang, apa pun gampang hilang bersama saya: buku, jaket, topi, sepatu, bahkan jabatan.
Itu ada baiknya: bisa selalu belajar mengikhlaskan apa saja. Tidak mudah sakit hati. Tapi, dalam hal obat ini saya harus cari gantinya.
Saya coba ke Walmart: apa pun bisa dibeli di situ. Mulai meja, terigu, daging, benang sulam, tenda biru, sledri, chicken wing sampai komputer. (Saya coba beli daging bison. Ternyata gak ada. Saya coba beli benih alfalfa. Juga tidak ada).
Di counter apoteknya saya sodorkan sisa-sisa obat saya. Tiga macam. Biar dilihat. Apakah ada.
Ada: tapi saya tidak boleh beli. Harus dengan resep dokter. Saya rayu sampai dengan gombal sekali pun: tidak bisa.
Di manakah saya bisa cari dokter, eh resep dokter? Kota kecil di pedalaman Amerika ini benar-benar asing. Di New York lebih mudah. Ada dokter Amerika kelahiran Indonesia. Atau di Washington DC. Atau di Los Angeles. Gratis pula.
Paling minta foto bersama. Atau, yang di Los Angeles itu, saya harus mau tidur di rumahnya: yang seperti istana.
Tapi ini kota –kota ini– di tengah padang praire. Ke mana cari resep?
Petugas apotek itu akhirnya baik hati. Saya, katanya, bisa ke walk-in clinic. Di sebelah starbucks. Sekitar 1 mil jauhnya. Bisa minta resep di sana.
Ketemu. Klinik itu buka. Tapi ternyata tidak bisa memberi resep. Jenis obat saya ini resepnya harus khusus. Harus dari dokter tertentu. Saya diberi alamat: First Clinic. Di tengah kota.
Nyetir mobil di tengah kota harus waspada. Biar pun jarang ada mobil lewat. Di perempatan sering ada tanda ‘STOP’. Warna merah. Kita harus memberhentikan mobil. Sampai benar-benar berhenti. Baru boleh jalan lagi. Padahal tidak ada mobil sama sekali.
Kota ini sepi… Sepuluh menit lagi pun belum tentu ada mobil lewat. Tapi harus patuh. Harus berhenti di tanda itu.
Sering juga ada tanda perubahan kecepatan. Kita harus waspada. Asyik-asyik nyetir dengan kecepatan 60 km/jam tiba-tiba harus jadi 30 km/jam: ada sekolah di pinggir jalan itu.
Akhirnya saya temukan klinik tersebut. Di sebelah dua gereja yang berseberangan –letaknya maupun alirannya.
Saya utarakan (catatan: siapa ya yang tahu sejarah lahirnya kata ‘utarakan’ ini? Kenapa tidak selatankan?) maksud saya: minta resep.
Saya disuruh isi formulir dulu. Tiga lembar. Data pribadi.
Banyak yang tidak bisa saya isi: pertanyaan-pertanyaan di sekitar asuransi. Saya tidak punya asuransi di Amerika ini. Padahal maksud saya sederhana saja: beri saya resep, lalu berapa biayanya, saya bayar sendiri.
Tapi tidak bisa begitu. Harus ikut prosedur.
Ya…sudah. Ikut prosedur. Saya serahkan kembali formulir itu. Yang banyak tidak terisi jawaban itu. Ternyata tidak dipermasalahkan. Bahkan tidak dilihat.
Lantas saya diminta foto. Foto? Apa hubungannya dengan resep? Saya kan bukan ingin bikin SIM? Yaaa… sudahlah. ikut prosedur.
Di mana fotonya? Di situ juga. Ternyata ada kamera di atas komputer itu. Saya buka topi. ”Terima kasih mau membuka topi,” katanya.
Selesai. Saya pikir segera dibuatkan resep. Ternyata belum. Saya masih ditanya: apakah mau dibikinkan janji ketemu dokternya? Oh… ma…ma…mauu!
Lho… kan harus mau. Saya kan sudah ditarik bayaran: 108 dolar. Sekitar Rp 1,4 juta. Saya pun diberi secuil kertas.
Saya lihat jam di memo kecil darinya itu: masih dua jam lagi. Saya bisa muter-muter 10 kali di kota ini. Saking kecilnya.
Waktu dua jam itu saya manfaatkan untuk ke desa sebelah. Ada museum kecil di situ: rumah masa kecilnya Chrysler. Tokoh permobilan Amerika. Yang namanya dipakai merk mobilnya.
Saya pun balik ke klinik tepat waktu. Diminta isi formulir lagi. Dua halaman.
Banyak sekali pertanyaan yang harus saya isi: pernah punya ashma? Ada batuk-batuk? Sulit kencing? Suka ngorok? Dan seterusnya.
Mudah mengisinya: tinggal mencontreng semua kolom ‘No’. Banyak sekali jumlahnya.
Halaman duanya tidak saya baca lagi. Langsung saja saya contreng semua ‘No’ nya.
Isian formulir ini juga tidak dia baca.
Saya diminta membawanya ke lantai atas: ke ruang tunggu dokter.
Ada 20-an kursi di situ. Tiga terisi. Ruang tunggu yang nyaman. Ada TV. Ada layar video on demand. Ada lukisan-lukisan praire. Ada seni instalasi. Ada jam dinding raksasa. Ada mainan anak-anak.
Seorang suster memanggil: ”Dalan… ”
Saya sudah hafal. Orang barat sulit memanggil Dahlan dengan benar. Orang Tiongkok apalagi. Ayah saya sendiri pun sulit. Memanggil anaknya itu: Dakelan.
Dipanggil Dalan begitu saya berdiri. Menyerahkan isian formulir. Lalu mengiringinya ke satu koridor: disuruh timbang badan. Diukur tinggi badan.
Berat badan saya entah berapa. Hitungannya dalam pound. Tinggi badan saya juga entah berapa. Hitungannya dalam inci.
Tapi saya percaya. Biar pun dihitung dengan inci badan saya tidak akan lebih tinggi. Angkanya saja yang lebih banyak.
Lalu masuklah ke ruang pemeriksaan. Ada tempat tidur pasien beralas kertas. Saya hanya diminta duduk di situ. Diukur tekanan darah.
Dimasukkan satu paku ke mulut saya: pengukur suhu badan. Ditanya apakah alergi terhadap obat.
Petugas itu keluar. Menutup pintu di depan saya. Masuklah dokter: wanita. Matanya biru. Rambutnya blonde. Celananya jeans. Muda. Tapi tidak setinggi umumnya orang bule.
”Saya minta dibikinkan resep,” kata saya. Untuk tiga jenis obat itu. Untuk keperluan satu bulan. Dia pun membuatkannya: selesai.
Bentuk resepnya print-out. Yang lebarnya satu folio. Satu jenis obat satu print-out.
Jadi, ada tiga lembar resep: boros banget. Hematan dokter Indonesia. Tujuh obat sekali pun ditulis dalam satu resep –kertas kecil yang tulisannya sulit dibaca itu.
Saya bawa resep itu ke Walmart. Saya jejer-jejer dulu di atas kursi. Saya foto. Kapok dia. Biar tiga lembar memfotonya jadi satu. Hemat.
Ternyata hanya ada dua jenis obat yang tersedia di apotik Walmart. Dua-duanya yang terkait dengan aorta dissection saya itu. Yang satu lagi, yang kaitannya dengan transplant hati: kosong. Tidak ada stok.
Saya pun membayar untuk yang ada itu. Beres. Siap pulang.
Lalu saya dipanggil lagi. Ditanya: apakah untuk yang satu lagi itu saya mau menunggu satu hari. Akan didatangkan dari kota besar. Harganya (30 tablet): 680 dolar. Atau sekitar Rp 8 juta.
Itulah harga obat jenis entecavir. Yang juga harus saya minum seumur hidup. Untuk merawat hati saya.
Itu bukan obat yang untuk mensinkronkan hati dan badan itu. Itu lain lagi namanya. Lain pula harganya. Saya masih punya cadangannya.
Begitu mahal obat untuk lever itu. Itulah sebabnya enam tahun lalu saya minta ini: Kimia Farma harus bisa memproduksi entecavir yang harganya terjangkau.
Mumpung saya punya jabatan saat itu.
Terlalu banyak penderita liver di Indonesia. Tidak mungkin mampu membeli obat Rp 8 juta sebulan.
Alhamdulillah. Kimia Farma berhasil. Nama obatnya: Heplav. Harganya: Rp 200 ribu/30 butir.
Lesson learned: kalau ke Amerika bawalah obat yang cukup. Resepnya saja Rp 1,4 juta. Belum mondar-mandirnya. Seandainya sewa mobil: dua juta sendiri lagi.
Jangan bodoh seperti saya. Yang mudah kehilangan apa saja. (dis)
Comment (0)