Hasil Investigasi Dosen UIN Suka tentang Kasus Meiliana

Iswandi Syahputra angkat bicara soal kasus Meiliana yang divonis 1,5 tahun karena menista agama. Iswandi, peneliti sosial dan dosen komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, turun langsung ke Tanjung Balai, Sumut, melakukan kroscek.


Rusuh warga yang dipicu Meiliana pada akhir Juli 2016 membuat Iswandi bergerak ke lokasi. Pada 2 - 4 Agustus 2016, dia berada di Tanjung Balai dan melakukan wawancara dengan sejumlah narasumber.

"Seminggu setelah kerusuhan pembakaran 8 wihara di Tanjung Balai karena tersulut oleh sikap Meiliana, saya langsung terjun ke lokasi untuk riset lapangan," kata Iswandi yang dikonfirmasi kumparan, Selasa (28/8).

Secara detail, Iswandi menceritakan bagaimana awal mula dan penyebab kasus Meiliana lewat akun twitternya @iswandisyah. kumparan dipersilakan mengutip penjelasan Iswandi di twitter.

BACA JUGA

Sponsor  ·   Lihat Lebih Dekat Satwa Liar di New Zealand

Ajukan Banding, Kuasa Hukum Meiliana Anggap Bukti dari Jaksa Tak Kuat

Menag Lukman Beberkan Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid

Berikut penjelasan Iswandi:

- Bismillahirrohmanirrohim

Banyak pihak yang japri dan mention saya di media sosial. Mereka bertanya soal bagaimana sebenarnya kasus Meiliana dalam kerusuhan di Tanjung Balai? Mereka ingin tahu hasil riset yang saya lakukan terkait kerusuhan tersebut #TanjungBalai #Meiliana

- Saya memang melakukan riset lapangan terkait kerusuhan yang terjadi tanggal 29 Juli 2016 tersebut. Seminggu setelah kerusuhan, saya tiba di Tanjung Balai, Sumatera Utara, untuk melakukan riset lapangan. #TanjungBalai #Meiliana

- Sebagai peneliti media dengan minat media sosial dan gerakan sosial, saya tertarik meneliti kerusuhan tersebut karena Kapolri @DivHumas_Polri Bpk. Tito langsung turun ke lapangan dan menyatakan kerusuhan dipicu oleh media sosial

#TanjungBalai

- Sebelum terjun ke lapangan untuk meneliti, saya lakukan tahap pra-riset dengan mencari calon narasumber yang kompeten dan mendesain rumusan awal masalah yang akan diteliti sebagai berikut: Bagaimana penggunaan medsos dapat memicu kerusuhan rasial di Tanjung Balai?

#Meiliana

- Untuk menyegarkan ingatan, sedikit dan ringkas saya review kerusuhan di Tanjung Balai tsb:

a. Meiliana keberatan dengan suara azan di mesjid depan rumahnya.

b.Takmir mesjid meminta klarifikasi.

c. Aparat memediasi.

d. Warga berkerumun

e. Mediasi buntu.

f. Warga marah.

g. Rusuh.

- Saya termasuk yang tidak mudah percaya hanya karena #Meiliana keberatan dengan suara azan kemudian ratusan atau ribuan warga berkerumun marah dan meluapkan kemarahannya dengan membakar 8 vihara di #TanjungBalai Apa yang sebenarnya sedang terjadi hingga warga mudah tersulut?

- Seminggu setelah kerusuhan di #TanjungBalai saya tiba di lokasi dan mencari akses untuk dapat mewawancarai #Meiliana Tapi gagal karena menurut informan saya di kepolisian, selain masih shock, Meiliana sementara diamankan di tempat yang dirahasiakan.

- Di lapangan, data penelitian saya peroleh dengan wawancara mendalam terhadap sejumlah narasumber yang memiliki kompetensi. Di antarnya adalah Kapolres #TanjungBalai saat itu Bpk. AKBP Ayep Wahyu G.

- Selain Kapolres #TanjungBalai saya juga melakukan wawancara dengan Ketua MUI Tanjung Balai, aktivis, pemuda, seniman, dosen, politisi dan penggiat media sosial di Tanjung Balai. Secara umum informasi yang saya peroleh dari informan tersebut sangat mengagetkan. ADA KONFLIK LATEN.

- Karena wawancara terpisah, satu informasi dari informan akan saya konfrontir dengan informan lain. Itu dimaksudkan untuk mendapatkan data lapangan yang otentik. Data otentik kembali saya cek silang dengan sejumlah literatur terkait. Misalnya, seorang informan menyebut #TanjungBalai

- TanjungBalai sebagai kota religius. Saya cek data BPS 2015 terdapat 54 mesjid, 98 musholla, 26 gereja dan 9 vihara di Tanjung Balai. Berbagai literatur yang saya rujuk juga menjelaskan posisi #TanjungBalai sebagai kota Kesultanan Melayu, Asahan, yang sejak lama dikelola dengan nuansa religi.

- Dari semua proses tersebut saya menemukan benang merah sebagai petunjuk awal untuk dianalisis, kerusuhan terkait dengan:

a. Politik Pilkada karena keberpihakan kekuasaan pada kelompok etnik tertentu.

b. Kontroversi penggunaan lahan kompleks vihara hasil reklamasi sungai.

c. Keberadaan patung Buddha di atas vihara, secara imajiner segaris dengan arah kiblat. Ada perasaan warga muslim saat salat seperti menyembah patung.

d. Sikap arogansi #Meiliana saat dikonfirmasi soal keberatanya terhadap suara azan.

e. Ada dukungan moril karena sebelumnya Wapres @Pak_JK pernah keberatan dengan suara dari speaker mesjid

f. Sebagai etnis Tionghoa, #Meiliana dinilai warga bersikap arogan karena adanya pengaruh Ahok @basuki_btp yang saat itu sudah mulai menjadi kontroversi.

- Dari informasi sebagai petunjuk awal tersebut, sejak awal saya menduga 'ada sesuatu' di balik kasus #Meiliana yang menimbulkan kerusuhan di #TanjungBalai Sementara aktivitas di media sosial hanya medium untuk mencurahkan 'sesuatu' tersebut.

- Saya akan ulas sedikit beberapa hal laten yang saya sebut sebagai 'sesuatu'. Informasi saya olah dari informan saya.

Pertama, terkait lahan komplek vihara tempat patung Buddha berdiri. Lahan tersebut hasil reklamasi sungai Asahan yang awalnya untuk tempat wisata. Tapi dijadikan kompleks ibadah. Padahal tidak jauh dari situ ada situs 'Balai' semacam rumah panggung besar sebagai titik kumpul warga saat Sultan sejumlah Kerajaan Melayu melintasi sungai pada masa lalu. Ada nilai historis, religi dan budaya di titik tersebut.

Warga #TanjungBalai menilai pembangunan kompleks vihara tersebut bermasalah tapi dapat berjalan karena mendapat dukungan dari incumbent yang akan maju dan terpilih kembali sebagai Walikota.

- Namun demikian, awalnya warga #TanjungBalai juga tidak perduli dengan pembangunan vihara tersebut hingga berdiri patung Buddha yang secara imajiner segaris dengan arah kiblat. Posisi patung ini meresahkan karena dianggap mengganggu ibadah warga muslim.

- Menurut riset Irwansyah (2013) yang saya rujuk, sedikitnya ada 12 kali masyarakat berkirim surat pada Pemda yang meminta agar patung Buddha tersebut diubah posisinya (bukan diturunkan apalagi dirobohkan). Pada sisi lain baik Pemda atau pemuka agama Buddha mungkin kurang dapat menjelaskan atau tidak dapat menjelaskan mengapa patung Buddha tersebut berada pada posisi tersebut. Sikap ini menjadi masalah laten bagi warga yang seharusnya tidak terjadi jika dari awal antar umat beragama diajak kordinasi oleh pemerintah setempat.

- Demikian seterusnya kekecewaan warga tersimpan jauh di dalam dasar perasaan terdalam, semua diam. Hingga beberapa tahun kemudian muncul kasus #Meiliana yang keberatan dengan suara #azan dari mesjid yang berada di depan rumahnya @lukmansaifuddin

- Semua informan saya dalam riset ini menjelaskan hal yang sama tentang sikap arogan #Meiliana saat Takmir Mesjid mendatangi baik-baik rumahnya untuk meminta penjelasan mengapa dirinya keberatan dengan suara azan. Langkah itu dilakukan karema Takmir Mesjid memahami dengan baik suasana kebatinan umat muslim di #TanjungBalai sebagai umat mayoritas yang dalam kasus pembangunan vihara dan patung Buddha memilih banyak diam saat berhadapan dengan #Meiliana yang dinilai dari kelompok minoritas tapi arogan.

- Bagaimana bentuk sikap arogan #Meiliana tersebut? Dari sejumlah informan yang saya wawancarai menjelaskan mulai bahasa tubuh hingga lisan yang tidak mungkin saya sampaikan di sini. Suami Meiliana termasuk yang ikut meredakan sikap arogan isterinya.

- Saat itu saya sempat terlintas fikiran, apakah #Meiliana lagi stres, depresi atau mengalami gangguan jiwa/psikis lainnya hingga berani sekali melakukan hal itu di depan kerumunan massa? Hingga saat ini saya tidak dapat mengkonfirmasi dugaan tersebut karena saya tidak diberi akses oleh aparat untuk mewawancarainya. Padahal saat itu saya sudah meyakinkan aparat bahwa saya peneliti. Hasil penelitian kasus ini akan sangat membantu @Kemenag_RI @lukmansaifuddin dalam mendesain hubungan antar umat beragama yang harmonis/toleran.

- Karena itu saya perlu perspektif dari #Meiliana Sebab pada posisi berbeda, saya pribadi juga merasa terganggu dengan suara keras apa saja di ruang publik di luar aturan. Seperti suara:

1. Orkes tunggal

2. Knalpot bising

3. Mercon

4. Sirine pengawal

5. Mercon

6. Pentas musik

dll

- Mengapa #Meiliana keberatan dengan suara #Azan dari pengeras suara mesjid? Bagaimana aturan pengeras suara saat azan di sejumlah negara? Inilah yang saya sebut sebagai antropologi azan, cultural sound, acoustic artefact, atau soundscape.

- Dari perspektif penggunaan media sosial, harusnya kasus kerusuhan #TanjungBalai menjadi pelajaran betapa mudahnya netizen saling menstimulasi untuk aksi dan berbuat anarki karena simptum religius dan rasa kehormatan mereka sebagai warga asli terusik.

- Dari perspektif ini, semua pihak terutama pemerintah harus tunduk pada hukum umum toleransi: "Mayoritas melindungi minoritas. Minoritas menghormati mayoritas." Jangan bermain politik pada isu toleransi. Dalam kasus #TanjungBalai saya melihatnya seperti itu.

- Dengan alasan toleransi, menjelang Pilkada izin mendirikan kompleks vihara mengabaikan aspirasi umat muslim mayoritas di #TanjungBalai beberapa aksi masyarakat tentang legalitas lahan dan agar patung Buddha dipindah, diabaikan Pemda. Ini berlangsung cukup lama.

- Dalam suasana kebatinan sosial demikian, muncul protes #Meiliana terhadap suara azan yang sudah berabad lamanya berkumandang di #TanjungBalai Sebagai masyarakat pesisir, warga #TanjungBalai sebenarnya sangat terbuka dan toleran terhadap semua etnis pendatang.

- Informan saya menyebutkan, bukan soal menolak suara azan tetapi faktor cara #Meiliana melakukan protes terhadap suara azan itu yang menyakiti batin umat muslim #TanjungBalai Tanpa jawaban lisan, saya merasakan sendiri kegeraman mereka juga dipengaruhi oleh berbagai kondisi umat muslim Indonesia yang agak terpojok terutama di media sosial oleh narasi yang dimainkan netizen misalnya:

Narasi tentang bulan Ramadan orang yang berpuasa hormati yang tidak berpuasa.

Larangan takbir keliling.

Tekanan larangan berpoltik di mesjid.

dll

- Narasi itu tersimpan dalam memori dan kognisi sosial masyarakat di #TanjungBalai. Berkat media sosial, mereka juga tidak terlalu sulit memahami siapa aktor atau pada siapa atau pada etnis apa arah narasi tersebut dapat dipersonifikasi. Sampai sini persoalan semakin pelik.

- Jadi mohon jangan disimplifikasi atau disederhanakan ini hanya persoalan linier: Ada azan--ada minoritas yang protes--mayoritas marah--minoritas dihukum=Tegakkan Toleransi. Akar masalahnya bukan soal toleransi tapi praktik politik kepentingan yang menyimpang.

- Kalau hanya suara azan, dengan jumlah tercatat 54 mesjid 98 musholla di #TanjungBalai sudah dikepung suara azan 5 waktu sehari/semalam selama ratusan tahun tidak pernah ada masalah. Saya kemudian mencari literatur untuk temukan bagaimana antropologi azan di sejumlah negara.

- Pertama, artikel Fannes (2012) berjudul Sounds in Changing Context The Muslim Call to Prayer in Vienna. Fannes menilai azan sebagai cultural sounds, sama dengan lonceng gereja di Wina. Karena itu suara azan memiliki kehormatan dan harus dilindungi.

- Azan juga miliki konteks sosial religius. Riset Schafer (2003) sebut istilah soundscape. Dengan mendengar suara lonceng gereja, bahkan dengan mata tertutup, kita segera tahu secara sosial ada saudara kita dari umat Kristiani di sana. Seharusnya dengan suara saja sudah cukup alasan bikin kita bersaudara dalam perbedaan.

- Oleh sebab itu, menurut Bender (2006), Howes (2006), dan Thomas (1996), azan (seperti halnya lonceng gereja) bersifat PUBLIK bukam PRIVAT. Maaf Pak @lukmansaifuddin ini sangat penting untuk diketahui. Karena itu dalam pandangan saya azan sebagai soundscape atau acoustic artefact (sama halnya dengan lonceng gereja) yang bersifat PUBLIK tidak boleh dihentikan karena alasan PRIVAT.

- Namun karena itu pula kedudukan azan menjadi sangat antropologis. Mengacu pada Watt (1992) pada abad 7-8 saat Andalusia (Spanyol) dikuasi Islam azan beraifat PUBLIK. Namun saat ini azan menjadi urusan PRIVAT.

- Bull (2000) berpendapat lain, dikatakannya suara tidak mengenal sifat. Asal suara terdengar di ruang publik, dia menjadi urusan publik. Suara azan dalam pandangan ini sama dengan suara:

Sirene

Knalpot

Mercon

Orkes tunggal

dll.

- Mungkin karena menggunakan pandangan Bull tersebut, pemerintah Jerman membolehkan azan menggunakan pengeras suara (Allievi, 2010). Hanya saja Pengawas Gereja Protestan di Jerman berpendapat panggilan azan bertentangan dengan keimanan Trinitas. Menarik didiskusikan ya.

- Karena keberatan tersebut, umat muslim di Jerman sebagai minoritas memilih menghormati umat Kristiani yang mayoritas dengan kumandang #Azan tanpa pengeras suara. Hal serupa terjadi di Belanda. Walau umat muslim punya hak hukum sama dengam gereja untuk kumandangkan azan gunakan pengeras suara, namun memilih tidak menggunakan pengeras suara karena alasan menghormati umat Kristiani yang mayoritas. Sementara umat Kristiani melalui sistem pemerintah memberi keleluasaan penggunaan pengeras suara saat #Azan

- Dalam konteks azan, umat muslim minoritas di Eropa sangat toleran. Mereka paham dengan baik kapan FIQH MAYORITAS dipakai, dimana FIQH MINORITAS diterapkan. Relasi penganut agama mayoritas dan minoritas itu yang saya sebut hukum umum toleransi:

- MAYORITAS LINDUNGI MINORITAS, MINORITAS HORMATI MAYORITAS. Jadi hukum toleransi tidak buta dan membabibuta, sama rasa sama rata. Di sinilah seharusnya kaum cerdik pandai memberi pencerahan dan pemerintah berpihak pada keadilan dan kebenaran pengetahuan, bukan kekuasaan.

- Sementara di Swedia pemerintah membolehkan #Azan dengan pengeras suara tapi dibatasi hanya 2 km. Sedangkan di Malaysia, kendati azan dibolehkan gunakan pengeras suara namun, mengacu pada risert Mohad, dkk (2015), ada sebanyak 5,1% umat Kristiani yang terganggu dengan suara #Azan

- Di Indonesia sendiri penolakan suara #Azan sudah lama terjadi. Menurut catatan Buya Hamka (1982) pemberontakan terhadap penjajahan Belanda oleh Haji Wasith di Cilegon, Banten, tahun 1888 bukan karena penjajahan tapi karena larangan salawat dan kumandang #Azan

- Jauh sebelum itu, pada abad 15 Kesultanan Demak pernah keberatan dengan suara #Azan yang muncul secara aneh dari Masjid Gala, di Bukit Jabalkat, Bayat, Klaten (Imansyah, 2013). Mesjid kramat itu kemudian dipindah

- Jadi sebelum kasus #Meiliana sudah sejak lama ada kasus terkait #Azan di Aceh seorang warga juga nyaris dikeroyok massa karena keberatan dengan suara azan dari pengeras suara. Keberatan, protes, dan menghina #Azan menjadi hal penting lain yang harus dipahami.

- Dalam kasus #Meiliana berdasarkan informasi dari narasumber yang saya wawancarai awalnya memang keberatan dengan suara #Azan tapi saat dikonfirmasi justru menunjukkan arogansi. Arogansi ini yang dinilai warga merupakan 'penghinaan' terhadap #Azan

- Aparat kepolisian @HumasTjBalai sendiri sangat sigap dalam mengantisipasi situasi saat itu. Karena lokasi rumah #Meiliana dan mesjid tidak jauh dari pusat keramaian kota #TanjungBalai warga dengan sangat mudah berkerumun. Seandainya saat itu ketika aparat berinisiatif memediasi antara Takmir Mesjid dan #Meiliana bersikap sedikit lembut, saya yakin aparat mampu meyakinkan takmir agar dapat menyesuaikan suara #Azan. Sikap arogan dalam sekam terpendam warga mayoritas yang suaranya diabaikan dalam pembangunam rumah ibadah dan patung Budhha.

- Pada kultur siber di media sosial yang liar tak terkendali berakumulasi saling menstimulasi menjadi kerusuhan rasial. Saya bersyukur Kapolri @DivHumas_Polri cepat bertindak langsung ke TKP dan mengerahkan pengamanan hingga situasi dapat cepat dikendalikan.

- Saat ini setelah 2 tahun berlalu, #Meiliana sudah divonis hukuman 1,5 tahun. Kehidupan masyarakat #TanjungBalai juga sudah normal dan membaik. Adil atau tidak hukuman tersebut, saya berharap, jika #Meiliana merasa tidak adil tempuhlah jalur hukum.

- Sementara bagi warga lainnya yang merasa hukuman itu tidak adil dan ancaman bagi toleransi, jangan memperjuangkan tegaknya toleransi dengan cara intoleran. Caranya: Pahami situasi dan konteksnya dengan meneliti dan kembangkan dengan membandingkannya pada literatur. Setiap kasus pasti spesifik sesuai konteks.

- Dengan demikian kehidupan sosial religius kita dapat berjalan normal dalam bingkai NKRI yang saling menghormati dan menghargai. Pemerintah juga sebaiknya bertindak bijak sebagai regulator kerukunan kehidupan keagamaan kita. Sudah #Azan Maghrib.

Sumber: www.kumparan.com

Related News

Comment (0)

Comment as: