Gito Rollies dan Masa Akhir yang Manis
Di sebuah Jum'at, 10 tahun lalu
Catatan *M. Anwar Djaelani*
Bangun Sugito, nama aslinya. Gito Rollies, nama bekennya. Di masa lalu dia, dekat dengan berbagai maksiat. Alhamdulillah, di sebelas tahun terakhir kehidupannya, dia isi dengan tobat dan dakwah.
*Berliku, Berhikmah!*
Hidup Gito penuh warna. Lelaki berdarah Jawa yang lahir di Biak -Irian Jaya- pada 01/11/1947 itu, untuk waktu yang lama ada di “zona gelap”. Pada 1967, Gito si Siswa Nakal, dinyatakan lulus SMA. Keberhasilan itu, “dirayakan”-nya dengan cara bersepeda motor tanpa berbusana, keliling Bandung.
Gito lalu bergabung dengan The Rollies, sebagai vokalis. Mulai 1970-an dan untuk waktu yang lama, grup itu ada di deretan rock band ternama di Indonesia. Berseiring dengan popularitas yang menjulang, nama dia lalu akrab disapa Gito Rollies dan dengan “identitas”: Rocker urakan, rambut awut-awutan, celana jin belel, miras, dan narkoba.
Di kehidupan Gito, ada masa bahwa di tiap Jum’at siang dia dan kawan-kawannya pergi ke Puncak - Bogor untuk pesta miras dan narkoba. Masa-masa itu, Gito mengikuti sang idola, vokalis rock kesohor dari Inggris. “Mick Jagger itu dulu menjadi idolaku. Ikut mabok, main cewek, dan seabrek dunia kelam lain,” ujar Gito.
Bahagiakah Gito dengan gaya hidupnya? Ternyata, kesemua itu hanya menghantarkannya ke situasi gelisah. Dia tak bahagia.
Bersyukur, ada titik balik pada 1995, dari semacam pengalaman ruhani. Bahwa, sepulang dari konser di Surabaya –di seputar 10 November 1995- Gito berada di bawah pengaruh narkoba yang berat. Selama tiga hari dia _fly_. Kala itu, dia tak bisa makan dan tak bisa tidur. Tak hanya itu, hal yang lebih menakutkan terjadi: Gito seperti melihat, masa lalunya yang kelam diputar ulang.
Puncak titik balik terjadi pada 1997, saat Gito berulang-tahun yang ke-50. Dia undang sahabat-sahabatnya untuk pesta alkohol dan obat terlarang sepuasnya. Saat itu, Jum’at siang. Gito masih memegang botol miras, duduk di tempat yang tinggi sambil sesekali memandang ke arah bawah. Pandangannya lalu tertuju kepada beberapa warga yang sedang menuju masjid. Hati Gito bergetar. “Mereka –yang sedang bergerak ke Masjid itu-, dengan kesahajaan bisa menemukan kebahagiaan. Apakah di Masjid ada kebahagiaan,” renung Gito.
Gito lalu mendekati Masjid itu. Gito rasakan, seperti ada daya dorong yang kuat agar dia segera sampai ke Masjid tersebut. “Rasanya, seluruh otakku tiba-tiba dipenuhi oleh kekaguman. Lalu, entah kenapa, aku seperti mendapatkan ketenangan melihat orang-orang rukuk dan sujud dalam kekhusyukan,” kata Gito.
Setelah itu, di malam hari, Gito tidak bisa tidur. Dia gelisah. Bahwa, meski selama ini dia urakan dan permissif, ternyata masih takut dengan dosa dan neraka. Situasi seperti ini berlangsung berhari-hari.
Sampailah pada sebuah malam, di puncak kegelisahannya Gito memutuskan untuk memulai hidup baru. Dia segera berwudlu dan shalat. Ketika itu, untuk kali pertama Gito merasa bahagia dan damai. “Sejak hari itu, aku memutuskan untuk tekun memerdalam agama,” kata Gito.
Setelah hijrah, Gito istiqomah. Dia bergeming, saat datang banyak tawaran menggiurkan dari “dunia lama”. Dia tegar, kala datang berbagai ejekan dari sebagian orang atas “performa baru”-nya.
Gito terus memantapkan diri. Jika dulu mengidolakan bintang rock dari luar negeri, “Sekarang aku mengidolakan Nabi. Sekarang, aku menemukan nikmat yang tiada tara,” tutur Gito.
Langkah Gito kian terarah. Dia rajin belajar agama dan bergaul dengan aktivis dakwah. Mulai 1997 Gito aktif di Jamaah Tabligh, organisasi dakwah berskala internasional. Anggota organisasi itu beragam, seperti pimpinan pesantren, pengusaha, eksekutif, artis, pedagang kaki-lima, pegawai negeri, birokrat, dan lain-lainnya.
Gito menjadi aktivis yang rela mengorbankan harta, waktu, dan tenaga untuk berdakwah. Di antara aktivitas Jamaah Tabligh yang pernah diikuti Gito adalah di Dakka - Bangladesh pada 18-21 Januari 2002. Di Ijtima’ –pertemuan- para anggota Jamaah Tabligh yang diadakan tiap tahun itu, Gito adalah salah seorang dari sekitar empat juta yang hadir dan mereka berasal dari lebih 100 negara.
Tampak, tak lelah Gito melakukan Khuruj fi Sabilillah. Tak letih dia ke luar rumah, berdakwah di Jalan Allah dengan niat memerbaiki iman dan taqwa atas diri sendiri dan umat. Aktivitas dakwah yang seperti itu, diputuskan Gito sebagai jalan hidupnya.
Pada 2005 Gito disapa sakit kanker kelenjar getah bening. Tapi, dihinggapi penyakit seberat itu, dia tetap bersemangat dalam berdakwah. Misal, dengan berkursi roda, dia tetap rajin berkeliling menyampaikan Ajaran Allah.
Langkah dakwah Gito berhenti, saat dia meninggal pada 28/02/2008 pukul 18.45 WIB, malam Jum’at. Dia meninggal setelah menegakkan shalat Maghrib dan berdoa. Pada Jum’at 29/02/2018, jenazah Gito dishalati jamaah Masjid Nurul Iman di Rengas – Ciputat - Tangerang, setelah mereka menunaikan Shalat Jum’at.
Jenazah lalu dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Hari yang panas, kata seseorang yang hadir, tiba-tiba menjadi gelap dan hujan-pun turun dengan deras.
*Kesaksian Manis*
“Gito dulu pernah berkata kepada saya, bahwa dia ingin mati di panggung sebagai seorang rocker. Tapi, suatu saat dia justru berubah pikiran. Gito bilang dia ingin mati di panggung tapi bukan sebagai rocker, melainkan saat berdakwah,” ungkap sahabat Gito di sebuah siaran televisi. Memang, meski tidak persis, Gito meninggal sesampainya di Jakarta setelah sebelas hari melaksanakan dakwah -Khuruj fi Sabilillah- di Padang.
Terakhir, inilah kesaksian Michelle, istri Gito di www.okezone.com 02/03/2008. Pertama, Gito berharap meninggal dalam keadaan berdakwah. Alhamdulillah, Gito meninggal sepulang berdakwah di Padang. Kedua, Gito ingin meninggal dalam keadaan sadar. Alhamdulillah, sampai detik terakhir, dia sadar dan mengucapkan Asma Allah. Ketiga, Gito berharap meninggal pada hari Jum’at. Alhamdulillah, dia meninggal malam Jum’at dan (di perhitungan Hijriyah) itu sudah masuk Jum’at. Keempat, saat Gito meninggal, banyak yang datang dan mendoakannya. Singkat kata, hal yang membuat Michelle senang, “Waktu meninggal, dia tersenyum." []
Comment (0)