Gaji BPIP Bergulir ke Ranah Hukum

SOLO, VOI   Polemik gaji Ketua  dan Dewan Pengarah  Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) berlanjut ke ranah hukum.   Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengajukan judicial review atas Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat dan Pegawai  BPIP ke Mahkamah Agung. Koordinator MAKI Boyamin Saiman meminta MA membatalkan Perpres tersebut.

"Jadi kalau Pak Yudi Latief ke bawah itu boleh, nggak ada masalah. Kalau Dewan Pengarah  pasal 3 saya minta dibatalkan, karena dasar cantolannya nggak ada, undang-undangnya nggak ada yang menyangkut Dewan Pengarah," ujarnya di Solo, 3 Juni 2018.
Perpres yang dibuat Presiden Joko Widodo itu, seperti tertulis di dalam gugatan, telah membuat kegundahan publik. Perpres No 42 tahun 2018 itu memuat tentang hak keuangan pimpinan dan pejabat BPIP.
Gaji para pejabat BPIP juga ramai di media sosial. Salah satunya, gaji Ketua Dewan Pengarah BPIP yang besarnya Rp 112 juta serta anggota dewan pengarah yang besarnya Rp 100 juta lebih dinilai tidak memiliki rasa keadilan. Di tengah rakyat yang sedang kesulitan, para pejabat itu berpesta dengan gaji yang besar.
Padahal, kata Boyamin, di pasal 4 Perpres itu para pejabat dewan pengarah masih mendapatkan fasilitas yang cukup wah, seperti hotel bintang 5 dan tiket penerbangan kelas 1.

Boyamin mengaku alasannya mengajukan gugatan ini berdasarkan pertanggungjawaban keuangan negara. Menurutnya, hal ini dapat berpotensi munculnya permasalahan dalam pemeriksaan keuangan.

"Khawatir nanti dua tahun-tiga tahun kemudian ditagih Badan Pemeriksa Keuangan gara-gara aturannya belum fix dan belum cermat dan mengandung legalitas yang sah," ujar Boyamin.

Menurut Boyamin, MAKI menggugat Perpres tersebut karena keuangan atau gaji seharusnya hanya untuk kepala BPIP, Yudi Latief. Kemudian, jajaran staf dari posisi deputi hingga bagian bawah di BPIP hanya bersifat fungsional.
Sebagaimana diketahui, gaji Ketua dan anggota dewan pengarah BPIP yang dinilai tidak logis di tengah ekonomi negeri yang sedang melorot ini memantik berbagai persoalan. Di medsos, salah satu anggota dewan pengarah BPIP Prof Mahfud MD dibully habis-habisan oleh netizen.
Sayangnya, Mahfud menanggapinya dengan memunculkan kesan emosi. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu terkesan menyerang ke sana ke mari. Dan, bagi netizens yang pertanyaan kurang menyenangkan langsung diblok akun Twitternya.
Bak bola salju, polemik itu ramai di media mainstream. Adalah Radar Bogor, koran lokal grup Jawa Pos, yang terkena awu angetnya.
Kantor Radar Bogor digeruduk puluhan simpatisan PDIP. Simpatisan PDIP itu bahkan sempat merusak sebagian peralatan kantor dan memukul salah satu syarat Radar Bogor.
Celakanya, tak satu pun kalimat yang terucap dari dewan pengarah BPIP yang mengecam perselisihan Radar Bogor yang dianggap bertentangan dengan Pancasila itu.
Menurut Boyamin, kegundahan publik itu dipicu oleh besaran gaji yang tidak logis di tengah rakyat yang sedang menjerit.
Menurut Boyamin, gaji pejabat Negara adalah bagian dari kepentingan publik yang wajar bahkan dalam masyarakat demokratis, adalah kepentingan yang harus direspon oleh publik. "mengapa? Karena gaji pejabat tersebut dibayarkan dari dana yang dikumpulkan dari uang publik dan publik perlu menilai kepantasan atas dasar struktur dan kinerjanya," katanya. Karena itu patut diapresiasi secara dewasa bahwa kegundahan publik atas gaji structural BPIP adalah indikator sehatnya demokrasi kita sebagai pengamalan Pancasila sila keempat. (arn)

 

Related News

Comment (0)

Comment as: