Ilham Bintang : Suatu Siang di Sukamiskin
Catatan Ilham Bintang
SUDAH lama punya niat mau besuk Prof OC Kaligis. Tetapi selalu terkendala oleh pelbagai hal. Padahal, pengacara kondang ini bukan hanya lawyer resmi di kantor media kami. Secara pribadi kami bersahabat lebih 40 tahun. Lebih lama lagi dengan abang kami Zainal Bintang. Bertema waktu masih di Makassar.
Waktu berkenalan di Jakarta lebih empat puluhan tahu lalu Kaligis sudah kondang. Menjadi sumber seksi bagi wartawan. Karena pemberani. Kontroversial. Selalu punya terobosan di bidang hukum yang membuat orang kagum. Saya tahun di pertengahan tahun tujuhpuluhan masih wartawan pemula. Baru bekerja sebagai reporter di Harian Angkatan Bersenjata.
Pria asal Minahasa itu termasuk anak gaul. Pernah lama menetap di Makassar. Kuasai bahasa daerah itu. Makanya kami lebih sering gunakan bahasa daerah kalau ngobrol.
Saya ingat saat awal namanya diseret dalam perkara dugaan penyuapan terhadap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Medan, Sumatera Utara. Media ramai memberitakan. Saya tidak begitu percaya. Apalagi dia menelepon meyakinkan. Istri saya semula menganjurkan supaya telpon Kaligis tidak usah diangkat. Saya berpendapat lain. Siapa tahu handphonenya disadap KPK. Bikin lembaga itu heran mengapa saya tidak pula mau menyahut. Bagus kalau cuma heran. Kalau dia sangka saya bagian dari kasus, bagaimana? Saya putuskan mengangkat telponnya.
“Bung Ilham saya mau beritahu Anda. Tolong juga sampaikan ke teman wartawan lain. Saya tidak terlibat dalam kasus yang dituduhkan KPK. Itu perbuatan Gerry sendiri,“ ujarnya. Gerry adalah Lawyernya yang terkena OTT di Medan.
Sebagai lawyer kantornya, Kaligis menjelaskan, Gerry tidak melaporkan kunjungan ke Medan sesuai SOP kantor, paparnya.
Syukurlah.
Namun, kelak hasil penyelidikan dan penyidikan KPK menunjuk kuat keterlibatan Kaligis. Dia pun divonnis hukuman yang cukup berat.
Saya menyesalkan kejadian yang mengakhiri sekaligus reputasi bagus OC Kaligis sebagai lawyer yang dia bangun lebih 50 tahun.
Tahun lalu, sekitar bulan Mei, saya memperoleh kesempatan membesuk Kaligis. Ikut teman yang mengunjungi keluarganya di LP Sukamiskin, Bandung.
Sudah 18 bulan Kaligis mendekam di LP itu ketika saya besuk. Dia tampak tetap sehat. Hukuman penjara tidak membuat pembawaanya yang riang dan heboh, hilang. Ia tetap seperti Kaligis yang dulu.
“Delapan belas bulan di sini, saya sudah melahirkan delapan buku,” katanya. Ini buktinya dia sehat. Ia pun memanggil sipir untuk mengambil buku di selnya. Seterusnya dia serahkan kepada saya.
Hari itu kami bertemu di saung milik temannya. Kaligis belum punya saung. Kami disuguhi makan iang. Masakan Sunda. Enak. Yang pasti itu bukan jatah makan LP.
Ada 32 saung di Sukamiskin. Berdiri di tengah lapangan komplek LP. Area di tengah lapang itulah yang digunakan warga binaan untuk bersosialisasi, bercengkrama dengan keluarga pada waktu jam besuk.
Bangunan saung itu mengingatkan balai-balai di restoran Lembur Kuring di Senayan dulu ( sekarang Senayan City). Saung terbuat dari bambu, atapnya dari daun rumbai. Luas 2 X 3 meter.
Saung itu bisa dimaknai sebagai kehadiran negara yang masih melindungi para warga binaan. Mereka sudah dirampas kemerdekaannya, sesuatu yang paling berhaga dalam hidup manusia. Itulah ganjaran untuk perbuatannya melanggar hukum.
Tapi merampas kemerdekaan tentu beda dengan merampas hak untuk sehat, nyaman, dan bahagia sebagai mahluk sosial. Ia tetap berhak atas kesehatan. Berhak atas kenyamanan dan keselamatan. Negara wajib menjaga binaan tidak mengalami gangguan jiwa karena hukuman di LP berat. Kalau terkena gangguan jiwa, dan tetap dipenjara tentu melanggar hukum.
Saung sebagai simbol kehadiran negara menjaga kemanusiaan warga binaan kasus apapun, mestinya menjadi standar di LP manapun. Bahwa hanya terdapat di Sukamiskin atau di beberapa LP lain, itu bukanlah perlakuan istimewa. Negaralah yang belum bisa mengadakan standar seperti itu secara mersta. Sebabnya mungkin lantaran anggaran tak ada.
Saung itu harganya plus izin sekitar Rp300 juta. Kalau mereka sanggup membayarnya, bukan berarti itu aksi penyuapan. Tetapi petugas LPnya yang kurang ajar. Sudah tidak bisa mengadakan prasarana itu, orang yang membangun dengan ongkos sendiri dipalak pula. Tidak tanggung-tanggung lagi besarnya.
Di luar dugaan, ternyata hari itu saya juga bisa bertemu dengan banyak figur publik. Yang sebagian besar selama ini sebagai sumber berita. Ada aktor Herman Felani, bintang film kondang tahun 80 an. Ada Ahmad Fatonah, politisi PKS yang sempat teriak menyapa saya ketika berjalan di depan saungnya. Ada mantan Walikota Makassar, Ilham Arif Siradjuddin.
Upaya mereka untuk sehat lahir dan batin mestinya dihargai. Daripada mereka putus asa dan bunuh diri yang akan menambah ruwet persoalan. Ada juga yang hobi memelihara ikan. Kolam lama diperbaiki. Airnya dibersihkan. Kabarnya pengusaha Wawan hobi ini. Sore menjelang pulang saya temui dia di pinggiran kolam ikannya. Sedang mengobrol dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar di pinggir kolam itu. Menghabiskan waktu menunggu azan Magrib berkumandang. Saat mereka kembali ke selnya masing-masing.
Sampai di sini tidak ada yang istimewa. Napi era Orde Lama dan Orde Baru bukankah dulu justru mereka diberi keterampilan bertukang. Sehingga saat bebas nanti punya keahlian untuk menafkahi keluarganya.
Yang mesti dihukum sebenarnya komersialisasi fasilitas-fasilitas itu oleh petugas lapas. Dijual mahal.
OC Kaligis bisa melahirkan delapan buku dalam 18 bulan di LP. Apa yang salah jika untuk menulis itu dia menggunakan komputer dan internet. Dulu zaman tapol di Pulau Buru, seniman dan militer pemilik otoritas atas nasib para tapol, mengantarkan mesin tik buat sastrawan Pramudya Ananta Toer. Supaya dia tetap berkarya.
Kaligis gembira menyambut saya siang itu. Saya trenyuh ketika dia tanya apakah namanya dihapus di masshead tabloid dan di running teks program televisi. Dua puluhan lebih namanya kami cantumkan. Selama dua puluh tahun lebih pula kami bangga dengan itu.
Ketika ditanya saya mengangguk. Saya bilang : “saya juga tidak bahagia dengan keadaan itu. Tapi inilah yang namanya suratan hidup.”
Kaligis mengerti. “Ini juga sudah jadi suratan hidup saya. Dilihat dari hukuman saya yang belasan tahun, mungkin saya matinya di LP ini,” katanya lirih.
Kunjungan saya ke sana menjelang Ramadhan. Saya membawa 20 (duapuluh) Alquran. Sepuluh (10) buat ditaruh di masjid, sepuluh (10) buat dibagi teman yang muslim.
Saat pulang, saya melewati bangunan masjid dan membaca spanduk tentang lomba baca Alquran di dinding kawat pagar. Nah itulah bukti kehadiran negara. Tetap menjamin dan menjaga ibadah para warga binaan itu. Alhamdulillah.
Namun sayang, tiga hari lalu pecah berita. Semua saung dirubuhkan di lapangan tengah LP Sukamiskin. Ekor dari kasus OTT Kepala LP yang memperdagangkan fasilitas yang bersifat tabu untuk warga binaan. Saya mendukung kasus yang memberi kebebasan warga binaan seenaknya berada di luar diberi sanksi berat.
Tapi kasus rasanya tidak ada hubungannya dengan saung itu? Seperti saya sebut di depan, saung adalah manifestasi kehadiran negara untuk tetap memanusiakan warga. Bahwa ada transaksi di balik pengadaan fasilitas itu, tidak kita sangkal. Namun yang adil : mestinya petugas LP yang dihukum. Bukan warga binaan dan keluarganya yang harus memikul akibatnya. Mereka kini kehilangan sarana berkumpul. Padahal, mereka membayar itu karena tidak ada pilihan lain.
Comment (0)