Presidential Threshold Berpotensi Hadirkan Capres Tunggal
JAKARTA, VOI - Koalisi Masyarakat Sipil, mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk menyerahkan dokumen fisik dan bukti-bukti permohonan uji materil atas Pasal 222 UU no. 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang menyoal tentang syarat ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold).
Mantan Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay mengatakan, ada beberapa alasan baru yang digunakan untuk melakukan uji materi aturan Presidential Threshold (PT) 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun alasan yang diajukan oleh pemohon yakni, Pasal 222 UU Pemilu mengatur 'syarat' capres dan karenanya bertentangan dengan Pasal 6 A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan dan 'tata cara'.
Kemudian pengaturan 'delegasi' syarat capres ke UU ada pada Pasal 6 (2) UUD 1945 dan tidak terikat pengusulan oleh parpol, sehingga Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur 'syarat' capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 (2) UUD 1945.
"Syarat PT menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal sehingga bertentangan dengan Pasal 6 A UUD 1945," ujar Hadar Nafis Gumay di Kantor MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (21/8).
Mantan Komisioner KPU 2012-2017 itu meminta MK untuk segera memberikan putusan atas uji konstitusionalitas ini, ia memohonkan agar pembatalan Pasal 222 yang menghapuskan syarat ambang batas capres dapat diberlakukan segera atau paling lambat sejak Pilpres 2019. Bukan diberlakukan mundur untuk pilpres selanjutnya, sebagaimana putusan terkait pemilu serentak di putusan MK tahun 2014. "Dengan demikian kerugian konstitusional para pemohon betul-betul terlindungi, dan pelanggaran konstitusi tidak dibiarkan berlangsung dan menciderai pelansanqan pilpres 2019," harapnya.
Hal yang sama dikatakan oleh Pemohon yang mewakili lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni. Ia menyatakan, bahwa Koalisi Masyarakat Sipil ini adalah salah satu pemohon dari pemohon yang pernah mengajukan perkara yang sama sebelumnya yang dilakukan oleh Partai Idaman sehingga permohonan yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil ini tidak diterima sebelumnya oleh MK dalam putusan nomor 71 tahun 2017. "Kalau dilihat secara substansi, permohonan kami yang kami ajukan belum diperiksa oleh MK sehingga permohonan kami tidak diterima kala itu," tutur Titi.
Menurut Titi, permohonan ini menggunakan uji bahwa syarat ambang batas Pencalonan presiden tidak bisa ditafsirkan sebagai sebuah kebijakan politik hukum terbuka. Karena syarat untuk mengusulkan calon presiden/wakil presiden sudah dikunci oleh Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945, dimana pengusulan capres/cawapres hanya bisa dilakukan oleh parpol, yaitu parpol peserta Pemilu atau gabungan parpol peserta pemilu.
Kemudian ia mengungkapkan, yang boleh menjadi open legal Policy atau kebijakan politik hukum terbuka, syarat untuk menjadi capres/cawapres atau syarat orangnya bukan partai pengusulnya diatur dalam pasal 222 UU/2017. Sehingga khusus untuk syarat pengusulan bisa dilakukan partai peserta pemilu baik sendiri atau bergabung dengan partai lain. "Itu yang menurut kami hal-hal yang luput diperhatikan MK dalam putusan terdahulu," tegas Titi.
Oleh karena itu tambah Titi, untuk mewujudkan Pemilu Serentak 2019, Mahkamah Konstitusi bisa memutus dengan segera perkara PT ini sehingga bisa memberikan kepastian hukum dalam mendapatkan calon-calon presiden sebagai pelaksanaan asas keadilan rakyat.
Ia meyakini putusan MK atas PT ini tidak akan menimbulkan kegaduhan politik, tetapi justru membuat penyelenggaraan pemilu semakin baik karena memberikan kepastian bagi partai politik peserta pemilu sehingga tidak perlu tercipta koalisi partai berbasis transaksional. Sehingga ia berharap MK dapat memprioritaskan pemeriksaan perkara ini sehingga bisa diperoleh putusan sesegera mungkin sebelum pelaksanaan pendaftaran pencalonan capres dan cawapres 4-10 Agustus mendatang.
Adapun kedua belas para pemohon yang terdiri atas perseorangan dan Bandan hukum publik yang merupakan pihak-pihak non-partisan tersebut yakni: Hadar Nafis Gumay, M. Chatib Basri, Faisal Basri, Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Feri Amsari, Angga D Sasongko, Hasan Yahya, Dahnil Simajuntak, Titi Anggraeni. Dan yang menjadi ahli dalam permohonan ini adalah, Refly Harun, Zainal Arifin Mochtar dan Bicktri Susanti. (*)
Comment (0)