Duka di Balik Teror yang Mengancam Dunia Kita (bagian 1)

RASA KEMANUSIAAN ITU UNIVERSAL.  Karenanya, ketika sedih kita menangis. Saat gembira kita tertawa. Tidak ada yang berlaku sebaliknya. Tidak peduli apa pun agamanya, etnisitas maupun entitas golongannya.
_____________________________________________
OLEH: NASMAY L. ANAS
_____________________________________________
Orang-orang yang memiliki hati akan tersentuh oleh kejadian-kejadian yang menyangkut persoalan kemanusiaan. Duka orang lain dengan mudah merasuki jiwa kita.  Memporakporandakan perasan kita. Meluluhlantakkan relung hati kita.

Itulah sebabnya, aksi serangan bom yang mengorbankan tidak kurang dari 207 nyawa jama’at gereja dan hotel di Srilanka serta-merta melukai hati kita. Sama seperti yang kita rasakan saat terjadinya aksi penembakan terhadap jama’ah sholat Jum’at di Selandia Baru. Serangan bom bunuh diri persis pada hari Paskah, Minggu (24/04) lalu di Srilanka meluluhlantakkan perasaan para penganut Kristiani. Sedangkan aksi penembakan membabi buta oleh teroris Brenton Tarrant di Christchurch, Selandia baru,  Jum’at (15/03/2019) silam, sangat menyakiti hati kaum muslimin.
Meski demikian, sejatinya tidak hanya umat Kristiani yang berduka menyaksikan serangan bom bunuh diri di Srilanka. Dan tidak pula hanya umat Islam yang bersedih membaca berita aksi penembakan brutal di Christchurch, Selandia Baru. Seluruh umat manusia ikut terluka. Rasa duka itu sudah menyatukan kita. Dengan begitu, mestinya rasa duka itu juga menyatukan akal dan fikiran kita.

Salah Faham Terhadap Islam dan Ummatnya
Meski demikian, berkenaan dengan beberapa hal, terkait aksi-aksi terorisme, masih banyak yang salah faham terhadap kandungan ajaran Islam. Masih banyak yang berpikir bahwa yang salah dan keliru adalah butir-butir ajaran Islam. Yang tidak tepat adalah adanya ayat-ayat Alqur’an dan Hadist Rasul yang bisa jadi menghasut. Bila orang memahaminya hanya secara tekstual. Memahami sekadar apa yang tersurat. Tidak memiliki pengetahuan tentang “asbabun nuzul”-nya. Tidak mengerti konteks yang melingkupinya.
Padahal, kaitan dengan hubungan antar agama, kita perlu memiliki pemahaman yang tepat.  Sebagai bagian dari orang-orang yang semangat berliterasi, kita perlu mencari nara sumber yang tepat. Kita tidak dapat  menyamaratakan ajaran agama di satu sisi dan prilaku umatnya di sisi yang lain.
Persoalan terorisme, Alqaedah, ISIS, bahkan ajaran Islam yang berhubungan dengan perang, misalnya, sejauh ini cenderung disalahfahami oleh sebagian kalangan. Bukan hanya oleh kalangan non-muslim. Tapi bahkan oleh sebagian umat Islam sendiri.
Sama seperti di dalam agama-agama lain, di dalam ajaran Islam tidak ada perintah untuk membunuh pemeluk agama lain. Apalagi dengan cara-cara biadab. Seperti yang kita saksikan di Srilanka maupun Christchurch, Selandia Baru. Tidak ada ayat Alqur’an maupun Hadist Nabi yang memerintahkan seperti itu. Betapa pun buruk pemahaman agama seseorang.
Yang ada adalah manusia-manusia yang berprilaku seperti iblis. Berdalihkan ajaran agama, lalu membunuh secara membabi buta para pemeluk agama lain. Mereka yang tidak bersalah. Mereka yang tidak terkait dengan urusan politik, ekonomi maupun budaya tertentu. Korban dari kegilaan pihak lain yang berdalihkan agama. Dan iblis-iblis bertopengkan manusia itu sejatinya tidak memahami ajaran agama yang dianutnya. Bisa jadi mereka sebenarnya tidak memiliki keyakinan agama.
Lalu mereka-mereka ini dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan sesaat pihak tertentu itu. Pemahaman agama mereka yang cetek dan sikap dan prilaku mereka yang sadis dijadikan sebagai senjata untuk menjatuhkan citra mereka sendiri. Sampai pada derajat yang terendah. Itulah yang terjadi terhadap Islam dan umatnya sekarang.
Saya tidak sependapat dengan pernyataan: Umat Islam itu teroris, karena terbukti terlibat dengan ISIS, Alqaedah dan sebagainya. Jangan pernah lupa, persoalan terorisme – terutama yang berkaitan dengan terorisme Islam – tidak pernah lepas dari peran negara super power Amerika Serikat. Belakangan ini, tabir kebohongan dari sikap dan kebijakan Amerika yang culas itu terbongkar semakin lebar.
Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat butir-butir sejarah yang sesungguhnya. Kita ambil contoh Alqaedah. Awalnya Osama ben Laden memang terdorong untuk berjihad. Membantu perjuangan umat Islam Afghanistan, yang ingin merdeka dari Uni Soviet. Lalu Amerika memanfaatkan organisasi ini.  Dalam perebutan pengaruh sebagai negara super power melawan Uni Soviet. Memberikan dukungan yang tidak sedikit. Moril maupun materil. Bantuan dana maupun bedil. Tapi setelah Soviet hengkang, Amerika tetap ingin mengendalikan organisasi ini di bawah ketiaknya. Untuk kepentingannya sendiri, tentu saja. Sehingga terjadi perlawanan. Lalu jadilah Alqaedah sebagai organisasi yang oleh Amerika langsung dicap teroris. Yang paling ditakuti di seantero jagad.
Begitu juga dengan The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Sudah bukan rahasia lagi bahwa ISIS adalah ciptaan Amerika.  Kebenaran ini pertama kali diungkapkan oleh mantan staf National Security Agency (NSA) atau Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat, Edward Snowden.
Di samping itu, mantan Menlu AS Hillary Clinton bahkan juga memiliki pandangan yang sama. Dia sudah berulang kali mengungkapkan bahwa itu adalah hasil kerjaan Amerika. Di antaranya seperti terungkap dalam video wawancara Hillary dengan reporter Fox News, Greta Van Susteren. Hillary menyebut bahwa Amerika memiliki kepentingan sangat besar di Asia Tengah. Kawasan yang dua dekade sebelumnya hendak "dikuasai" Uni Soviet.
"We were just so happy to see the Soviet Union fall and we thought fine we are oke. Now you look back. The people we are fighting today, we were supporting in the fight the soviets," ujar Hillary. Mereka yang kita perangi hari ini adalah pihak yang kita dukung saat melawan Uni Soviet.
Dalam sebuah rapat antara pemerintah dan senat AS, Hillary juga pernah menyebut soal hubungan Amerika Serikat dengan Afghanistan, Taliban, Muhajidin, ISIS, dan gerakan radikal lain. Dan hal ini disiarkan secara luar biasa oleh CNN. Lalu beberapa media Amerika lainnya juga ikut mengembangkan berita ini.
Hanya saja, media-media itu tidak tertarik untuk mengulas hubungan Amerika dan organisasi-organisasi radikal itu. Mereka lebih tertarik untuk mengembangkan berita yang dapat menjatuhkan nama baik musuh bersama sesudah Soviet. Yaitu Islam. Dengan melansir tanpa jeda berita-berita yang mengatakan bahwa para teroris dan kelompok radikal itu adalah para teroris dan radikalis Islam. Padahal semua ini adalah berita bohong.
Dan kita tahu, media Amerika adalah media-media yang menguasai jaringan pemberitaan hampir di seluruh jagad. Lalu bayangkan, bagaimana kalau mereka setiap saat melansir berita-berita bohong? Kebohongan kalau disampaikan secara terus-menerus, lama-lama akan berubah jadi kebenaran.
Sebelum Presiden Iraq Saddam Hussein ditumbangkan, dia dituding memiliki senjata-senjata pembunuh massal. Presiden Amerika kala itu, George W. Bush Junior, begitu ngotot dengan tudingan itu. Dan media-media Amerika dengan gencar menggoreng berita itu. Lalu media-media di banyak negara juga menyiarkan tudingan yang sama. Karenanya terbentuklah opini masyarakat dunia. Bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal. Padahal semua itu adalah berita bohong. Sampai sekarang bahkan tidak dapat dibuktikan kebenaran tudingan itu. Nah, begitu juga dengan tudingan terorisme. Bahwa kebenaran aspal inilah yang kita terima sekarang. (Bersambung)


Nasmay L. Anas, wartawan senior dapat dihubungi via email: [email protected]

Related News

Comment (0)

Comment as: