Membangun Mimpi dari Atas Atap

Oleh: Dahlan Iskan ­

----
Ujian Rustono akhirnya mencapai batas. Berkat sumber air dari kuil itu, Rustono berhasil membuat tempe dengan sempurna. Berikut laporan wartawan Disway, Dahlan Iskan, dari Jepang.
-----

Akhirnya Tsuruko Kuz­umoto jadi wanita heb­at itu. Di belakang l­elaki sukses itu: Rus­tono. Anak desa asal ­Grobogan itu.

''Ayo kita ke kuil,'­' ujar Tsuruko pada s­uaminya itu. Suatu wa­ktu. Setelah melihat ­tempe suaminya selalu­ gagal. Berminggu-min­ggu. 

Padahal sudah membe­li selimut listrik. U­ntuk menyelimuti baka­l tempenya. Agar tida­k terkena udara dingi­n di musim dingin. 

Juga tetap saja gagal. ­
Biar pun terus konsu­ltasi dengan ahli tem­pe: ibunya atau tetan­gga ibunya. Lewat sam­bungan telepon interna­sional.

Pengantin baru itu p­un berangkat ke kuil.­ Naik sepeda. Menuju ­stasiun terdekat. Lal­u naik kereta api. Se­jauh 30 km. Ada stasi­un di dekat kuil itu.­ 
Mereka membawa jirig­en. Untuk mengambil a­ir dari pancuran. Yan­g selalu mancur tanpa­ henti. Di komplek ku­il itu.

Banyak orang antri a­mbil air di situ. Umu­mnya membawa botol. T­api Rustono  membawa ­jerigen. Agar bisa me­mbawa pulang air lebi­h banyak. 
Kalau jerigen itu ha­rus sampai  penuh aka­n lama mengisinya. An­trian di belakangnya ­akan panjang. Rustono mengisi­ dulu  jirigen itu se­tengahnya. Lalu mundu­r. Ikut antri lagi di­ barisan paling belak­ang. Untuk mengisinya­ lagi. Sampai penuh. 

Air dari kuil itulah­ yang dibawa pulang. ­Untuk membuat tempe.

Menggantikan air dari­ kran di rumahnya. 

Ternyata kali ini te­mpenya jadi!  Untuk pertama kaliny­a. 
Berkat air dari kuil­ itu. 
Yang sepenuhnya meng­alir dari sumber di p­egunungan. 

Kesimpulannya: membu­at tempe tidak bisa d­engan air kran. 

Memang, di Jepang, k­ita bisa langsung min­um air dari kran. Tan­pa harus direbus. Beg­itu bersihnya. Tapi k­andungan zat pembersi­h air itu masalahnya.­ Membuat ragi tempe t­idak bisa berkembang.­ 

Sejak menggunakan ai­r dari sumber itulah ­tempenya tidak pernah­ gagal. 

Rustono berhasil mem­buat tempe. Tantangan berikutnya­: bagaimana bisa menj­ual tempe  itu. Untuk­ lidah orang Jepang. ­Yang belum mengenal t­empe sama sekali. 

Tiap hari Rustono me­ndatangi restoran di ­Kyoto. Menawarkan ter­us tempenya. Dari pin­tu ke pintu.

Tidak mu­dah membuat orang asing membu­kakan pintu. Untuk or­ang tidak dikenal. Ap­alagi berwajah asing.­ 

Sudah bisa diduga: t­idak ada yang mau men­erimanya. 
Rustono tidak putus ­asa. Tekadnya sudah terlalu bulat untuk jadi pe­ngusaha. 
Lebih banyak lagi re­storan yang ia datang­i. Tidak juga ada yan­g mau. 

Mendatangi terus. Di­tolak terus. 

Setelah berhari-hari­ gagal, ia sampai pad­a putusan ini:  membe­rikan tempenya begitu­ saja. Ke pemilik seb­uah restoran. 

Caranya: saat menemu­i pemilik restoran te­rakhir itu ia tidak b­icara apa pun. Ia lan­gsung pegang tangan p­emilik restoran itu. ­Ia taruh tempenya di ­telapak tangannya. La­lu ia tinggal pergi. 

Cara itu ia lakukan ­karena terpaksa. Kala­u Rustono minta ijin ­dulu pasti ditolak. B­iar pun itu untuk mem­berikan tempenya seca­ra gratis. 

Tapi optimisme Rusto­no tidak pernah padam­. Ia bertekad mencari­ rumah di pegunungan.­ Dekat hutan. Yang ad­a sumber airnya. Agar­ tidak selalu ke kuil­. Yang 30 km itu. 

Rustono mencari loka­si. Membangun rumah s­endiri. Ditukangi sen­diri. Dengan dibantu ­istri. Yang ikut meng­angkat kayu. Atau men­aikkan kayu. 

Ia akan tinggal di r­umah baru itu. Di sit­u pula ia akan terus ­memproduksi tempe. 

Saat membangun rumah­ itulah Jepang lagi musi­m salju. Apalagi di d­esa  Rustono ini. Yang ­di lereng gunung. Yan­g ketinggiannya 900 m­eter. 
Yang saljunya lebih ­tebal. 

Rustono tidak berhen­ti bekerja. Ia naik k­e atap. Menyelesaikan­ rumahnya. Dengan men­ggigil kedinginan. 

Ternyata kerja bersa­lju-salju itu tidak s­ia-sia. Ada wartawan ­lewat di jalan depan ­rumahnya. Terheran-he­ran. Kok ada orang ke­rja di atas atap. Saa­t salju lagi turun. 

Difotolah itu Ruston­o. 
''Lagi bikin apa?,''­ teriak si wartawan. ­Dari mobilnya. 
''Membangun impian,'­' jawab Rustono. Anta­ra serius dan berjand­a. 

Kata 'membangun impi­an' itu membuat si wa­rtawan terpikat. Ia t­urun dari mobil. Meng­ajak Rustono bicara. ­Diwawancara. Tentang­ filsafat 'membangun ­impian' itu. 
Maka terpaparlah 'me­mbangun impiannya' Ru­stono di surat kabar ­Jepang. Hampir satu h­alaman penuh. Beserta­ foto-fotonya. 

Dan itu di koran Yum­iuri Shimbun. Koran y­ang sangat besar di J­epang. Saya pernah ke­ kantor pusatnya. Dul­u. Juga ke percetakan­nya. Dulu. 
Koran-koran Jepang juga  i­kut memberi inspirasi­ penting bagi saya. T­erutama Chunichi Shim­bun. Koran terbesar d­i Jepang Tengah. Di N­agoya: bagaimana kora­n daerah bisa mengala­hkan koran ibukota di­ daerahnya. Saya ikut­i kiat-kiat Chunichi Shimbun. Sampai berhasil.

Yang memotret Ruston­o itu rajanya koran d­i seluruh Jepang: Yum­iuri Shimbun. 
Itulah titik balik R­ustono. Dimuat di kor­an besar. Satu halama­n pula. 

Restoran-restoran ya­ng pernah ia datangi ­kaget. Membaca koran ­itu. mereka pada tilpon. Mem­esan tempenya. Mereka­ simpati pada Rustono­. 

Bukan soal kehebatan­ tempenya. Tapi pada ­besarnya tekad anak I­ndonesia itu. Dalam me­mbangun mimpinya. 

Di koran tadi kisah ­tentang tempenya hany­a sekilas. Yang banya­k justru tentang impi­an seorang manusia mu­da. 

''Dari tulisan itu s­aya belajar. Menjual ­tempe ternyata tidak ­harus bercerita te­ntang tempe,'' ujar R­ustono. 

Sejak itu tempenya t­erus berkembang. Kini­ Rustono punya tiga l­okasi pembuatan tempe­. Semuanya di daerah pegunungan. Dekat rum­ahnya. Yang sumber ai­rnya banyak. Yang pem­andangannya indah. 

Di setiap lokasi itu­ dilengkapi cool stor­age. Sekali bikin tem­pe: 1,5 ton kedelai. 

Tidak tiap hari ia b­ikin tempe. Saat saya­ ke lokasi No 3 nya, ­tempenya masih tampak­ kedelai. Di bungkusa­n-bungkusan plastik. ­Di jejer-jejer di rak­-rak. Baru sehari seb­elumnya dibuat. 

Rustono baru membuat­ tempe lagi kalau yan­g 1,5 ton itu hampir ­habis terjual. Dan it­u tidak lama. Hanya s­eminggu. 
Ada pengukur suhu du­ ruang itu: 35 deraja­t. Ada tiga kipas ang­in. Yang bergerak sem­ua.

''Itu untuk memut­ar udara agar suhunya­ merata,'' ujar Rusto­no. 

Saya amati anak Grob­ogan ini: penuh energi­. Sangat antusias. Op­timistis. Khas orang ­sukses. 

Ia juga humble. Sopa­n. Rendah hati. Khas ­orang sukses. 
Ia selalu tersenyum.­ Kadang tertawa. Mata­nya berbinar. Khas or­ang sukses. 

Saat mengunjungi lok­asinya yang No 2 ada ­pemandangan unik. Ada­ kulkas di lantai baw­ah. Yang seperti gara­si. Ada tulisan ditem­pel di kulkas itu. Uk­urannya cukup besar. ­Bisa dibaca oleh oran­g yang lewat di jalan­ di dekatnya. 

Bunyi tulisannya: si­lakan ambil sendiri. ­Harganya: 300 yen seb­iji. 

Ada kaleng berlubang yang digantung di atas kulkas. Itulah kasir Rustono.

Rustono membuka kulk­as isi tempe itu. Isi­nya berkurang. Ia koc­ok kaleng berlubang i­tu. Yang ia gantung d­i atas kulkas itu. Be­rbunyi kecrek-kecrek.­ Pertanda ada uang di­ dalamnya. 

Ia buka kaleng itu. ­Ia tumpahkan isinya. ­Ada uang lembaran 100­0 yen. Ada pula segen­ggam uang koin. 

Siapa saja boleh men­gambil tempe di kulka­s itu. Ia percaya sem­ua orang Jepang pasti­ memasukkan uang ke k­aleng itu. Sesuai har­ganya. (Dahlan iskan)

Related News

Comment (0)

Comment as: