Menjadi Aneh di Hussainiyah
Oleh: Dahlan Iskan
Kami masih nyamil saat sang imam maju ke tempatnya. Ada 20-an orang di dalam masjid Syiah di San Antonio, Texas ini.
Imam duduk bersimpuh di atas sajadah. Memandang benda bulat pipih di depannya. Lalu menggeser turbah itu agar persis di posisi dahinya saat sujud nanti. Salah satu anak muda berdiri.
Mengumandangkan adzan. Oh…adzannya khas. Setelah dua kalimah sahadat itu: ada kumandangan apresiasi untuk Sayidina Ali. Lalu dilanjutkan dengan seruan untuk salat. Dan seterusnya.
Lalu mulailah salat maghrib. Tangan tidak ada yang sedakep. Tidak aneh. Saya temukan juga yang seperti itu di masjid-masjid Tiongkok. Di Aljazair. Sebagian di Makkah. Tapi tetap saja saya terlanjur. Seperti otomatis: sedakep. Sendirian.
Saat rukuk bacaan rukuknya hanya sekali. Bukan tiga kali. Ditambah salawat Nabi. Demikian juga saat sujud. Posisi duduknya selalu sama: bersimpuh. Dua telapak kaki ditindih pantat.
Di rakaat pertama saya sudah kecolongan: teriak ‘Amiiin’ sendirian. Saat imam selesai membaca Al-Fatihah. Terulang pengalaman pertama dulu: saat salat berjamaah di Beijing. Rakaat-rakaat berikutnya saya tidak lagi teriak ‘Amiiin’.
Eh, kecolongan lagi. Masih di rakaat pertama: setelah bacaan surah saya langsung menundukkan badan, rukuk. Ternyata mereka tidak langsung rukuk. Baca doa dulu. Mirip qunut itu. Terpaksa saya membatalkan rukuk. Ikut angkat tangan. Dan ikut menyahut ‘amiin’ beberapa kali.
Kok tulisan ini jadi teknis sekali ya. Maafkan pembaca disway yang Kristen. Atau Budha. Atau Hindu. Atau Konghuchu.
Sekaligus menunjukkan bahwa tatacara peribadatan itu memang rumit. Di semua agama. Kecuali di Budha aliran Tzu Chi. Yang berpusat di Hualian, Taiwan. Yang melarang ummatnya sembahyang. Yang memiliki stasiun TV ‘Daai’ (baca: Ta Ai). Yang juga melarang ummatnya memiliki rumah ibadah.
Sembahyangnya adalah berbuat baik, membantu orang dan rendah hati. Saya pernah ikut ke pusatnya di Hualian. Bermalam di sana. Ikut angkat-angkat bahan makanan. Yang akan dikirim untuk orang miskin.
Di Hualian saya juga sempat makan bersama pimpinan tertingginya: Shang Ren. Seorang wanita. Selalu berpakaian biksu. Kepala digundul.
Membangun rumah ibadah, kata Shang Ren, hanya akan membuat hati tidak damai. Karena memikirkan persaingan. Jor-joran. Besar-besaran. Megah-megahan. Indah-indahan.
Melupakan realitas miskin di sekitarnya. Ya sudah. Kembali ke yang teknis tadi: tapi terlalu detil.
Langsung saja ke gerakan terakhir salat: salam. Ucapan salam diucapkan, tapi tidak pakai toleh kanan dan toleh kiri.
Setelah wirid dan salat sunnah sang imam berdiri: adzan. Seperti tadi: ada sisipan kalimat apresiasi untuk Sayidina Ali. Saya berbisik ke orang yang di sebelah saya: adzan apa ini? Baru selesai salat maghrib kok ada adzan lagi? “Kita akan salat isya,” bisiknya.
Oh… Syiah beneran. Salat isya-nya digabung dengan maghrib. Seperti duhurnya digabung dengan ashar.
Selesai semua itu: makan. Di ruang sebelah. Ada 9 jenis makanan. Enak-enak semua: kelihatannya. Saya hanya ambil nasi kuning, irisan daging dan spagetti. Duduk di lantai. Gaya Arab.
Saya pilih posisi di dekat sang imam. Yang suduk di atas kursi. ”Sini. Duduk sebelah saya sini,” ujar sang imam pada saya. Sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya. ”La. Anna fi hunna. Hakadza,” kata saya sambil bersila di bawah posisinya.
Saya manfaatkan kedekatan posisi itu untuk bertanya. ”Jam berapa nanti salat tarawihnya?” tanya saya.
Maksud saya: kan salat isyanya sudah. ”Di masjid ini tidak ada tarawih,” jawabnya.
”Berarti akan tarawih di rumah masing-masing?” ”Tidak juga. Kami tidak melakukan tarawih.”
Oh… ya sudah. Rapopo. Kami pun makin akrab. Makan hampir selesai. Saya pindah duduk di kursi sebelah imam. Agar bisa berbisik.
Akan ajukan beberapa pertanyaan sensitif. Agar tidak didengar yang lain. Terutama anak-anak muda yang pakai celana selutut itu. ”Apakah boleh salat pakai celana selutut seperti mereka itu?” bisik saya. Lirih sekali. Takut-takut. Tidak berani sambil menatap mereka.
Sayangnya bisikan itu terlalu pelan. Sang imam minta saya mengulanginya lebih jelas. Maksudnya: lebih keras.
Saya ulangi pertanyaan itu. Orang tua di dekat sang imam mendengar. Wajahnya berubah serius. ”Kamu benar menanyakan itu,” katanya.
Nadanya menyalahkan para celana selutut itu. Saya merasa mendapat angin. ”Saya sudah tiga kali memberitahu mereka. Menegur. Memperingatkan,” jawab sang imam.
“Tapi apakah yang seperti itu boleh?” tanya saya lagi. ”Saya tidak suka orang salat seperti itu,” jawabnya.
Saya sulit ambil kesimpulan dari jawaban itu.
Ternyata beliau baru tiga hari ini di San Antonio. Lagi bertugas keliling masjid Syiah di Amerika. Lebih 50 masjid yang beliau datangi. Dari San Antonio itu akan ke Boston.
Akhirnya saya minta sang imam menuliskan namanya di kertas catatan saya. Terbaca: Imam Mohamad Sawad. Umur: 53 tahun. Imam Sawad warga negara Amerika. Kelahiran Baghdad, Iraq.
Setelah menyelesaikan tugas di Amerika ini akan kembali ke Iraq. Akan tinggal di Karbala.
Tidak ada tarawih bukan berarti HMP: habis makan pulang. Akan ada ceramah dari Imam Sawad. Beliau naik mimbar. Ceramah dalam bahasa Arab: tentang jihad besar dan jihad kecil. Tentang macam-macam jenis nafsu.
Nafsu amarah yang bikin orang jadi kejam. Nafsu luwwamah yang hanya bikin rakus.
Orang harus mengutamakan nafsu mutmainnah. Nafsu untuk tenang dan damai. Seperti yang dimiliki Ali bin Abi Thalib.
Di sela-sela ceramah hadirin sering mengumandangkan salawat nabi tiga kali.
Ceramah selesai pukul 23.30. Saya pikir bubar. Ternyata Imam Sawad pindah dari mimbar. Ke kursi lipat. Saatnya tanya jawab.
Banyak yang bertanya: definisi kafir, siapa yang disebut sahabat nabi, soal wudlu dan entah apalagi yang saya kurang mengerti.
Saya bertanya tentang foto yang dipasang di dekat mimbar: foto Sayidina Ali atau Sayidina Hussein.
Dijawab: itu Saiyidina Ali. Tapi itu bukan foto. Itu lukisan. Digambarkan dari deskripsi yang diceritakan orang. ”Belum tentu aslinya seperti itu,” katanya. Selesai. Pukul 00.00.(dis)
Comment (0)