Rahmah El-Yunusiyah, Sang Pendidik dan Pejuang
Oleh *M. Anwar Djaelani*,
penulis buku “Jejak Kisah Pengukir Sejarah” - 2018
Rahmah El-Yunusiyah seorang mujahidah. Dia aktif di pergerakan nasional, sebelum dan setelah kemerdekaan. Mulai di zaman penjajahan, dia aktif memajukan pendidikan terutama untuk meningkatkan derajat kaum wanita yang sesuai dengan tuntunan Islam. Muridnya banyak yang sukses dan model sekolahnya diadopsi Al-Azhar Mesir.
*Sukses, Sukses!*
Rahmah El-Yunusiyah lahir pada 20/12/1900 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Dia berasal dari keluarga terpelajar dan religius. Ayah Rahmah -Muhammad Yunus bin Imanuddin- adalah seorang hakim agama dan ahli Ilmu Falak. Kakek dia seorang ulama.
Rahmah belajar formal tak lama, hanya tiga tahun. Saat berusia 15 tahun dia belajar bahasa Arab dan pelajaran lainnya di Diniyah School serta dari kedua kakaknya, Zaenuddin Labay dan Muhammad Rasyid.
Di usia remaja itu, di sore hari dia rutin mengaji kepada Haji Abdul Karim Amrullah (ayah HAMKA) di surau Jembatan Besi, Padang Panjang. Dia belajar berbagai hal seperti bahasa Arab, fiqih, ushul fiqih, dan kedudukan wanita.
Dia pun belajar ke sejumlah ulama terkemuka lainnya seperti Tuanku Muda Abdul Hamid Hakim (pimpinan Sekolah Thawalib Padang Panjang), Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Syaikh Abdul Latif Rasjidi, dan Syaikh Daud Rasjidi.
Tak hanya ilmu agama, Rahmah juga mempelajari sejumlah ilmu atau ketrampilan. Dia pernah belajar kebidanan, olahraga (termasuk senam), cara bertenun tradisional, dan jahit-menjahit.
Seluruh ilmu dan pengalaman Rahmah turut mempengaruhi metode pendidikan di Perguruan Diniyyah Putri, sekolah yang didirikannya di Padang Panjang pada 01/11/1923. Sekolah khusus perempuan itu berdiri antara lain berkat dukungan Zaenuddin Labay –sang kakak- dan teman-teman perempuannya di Persatuan Murid-murid Diniyyah School (PMDS).
Rahmah mendirikan Perguruan Diniyyah Putri karena gelisah melihat perempuan di daerahnya belum mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Bagi Rahmah, pendidikan untuk perempuan harus bisa menjadi media agar mereka bisa berperan dengan baik di keluarga maupun di tengah-tengah masyarakat.
Di saat awal muridnya 71 orang dan terdiri dari ibu-ibu muda. Pelajaran yang disampaikan adalah ilmu agama dan tata bahasa Arab. Belakangan, sekolah itu menerapkan penggabungan pendidikan agama, pelajaran umum, dan ketrampilan. Misal, bertenun dan jahit-menjahit ada juga di kurikulumnya.
“Perguruan Diniyyah Putri ini selalu akan mengikhtiarkan penerangan agama dan meluaskan kemajuannya kepada perempuan-perempuan yang selama ini susah mendapatkan penerangan agama Islam dengan secukupnya dibanding kaum lelaki… Inilah yang menyebabkan terjauhnya perempuan Islam dari penerangan agamanya sehingga menjadikan kaum perempuan itu rendam karam ke dalam kejahilan,” kata Rahmah (Mantovani, thisisgender.com: diakses 05/02/2015).
Tampaknya, pendirian Perguruan Diniyyah Putri sesuai dengan cita-cita Rahmah. Bahwa, wanita Indonesia harus memiliki kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodratnya sehingga bisa diamalkan sehari-hari. Maka, tujuan pendidikan yang dirumuskan Rahmah adalah agar wanita sanggup menjadi ibu dan pendidik yang cakap, aktif, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa.
Rahmah adalah pelopor bagi pendidikan Muslimah di Indonesia (dan bukan tak mungkin di dunia). Langkahnya sangat maju karena tak hanya memberikan pelajaran agama maupun umum, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan yang diperlukan oleh Muslimah sebagai ibu yang mandiri.
Pada 1926, gempa hebat melanda Sumatera Barat. Sekolah yang baru dirintis Rahmah hancur. Tapi, Rahmah tegar dan langsung bangkit. Dengan bahan bambu, tegak lagi bangunan dua lantai berukuran 12X7 M2.
Usaha di atas dirasa belum cukup. Maka, bersama pamannya dia jelajahi Sumatera Utara, Aceh, dan terus menyeberangi Selat Malaka menuju Malaysia untuk mengumpulkan dana. Upaya itu berbuah, terkumpul sekitar 1569 Gulden.
Sekolah Rahmah terus berkembang. Pada 1955, Rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Syaikh Abdurrahman Taj berkunjung ke Perguruan Diniyyah Putri. Dia tertarik dengan sistim pembelajaran khusus yang ada di sekolah tersebut. Tak lama setelah itu, Al-Azhar lalu membuka pendidikan khusus perempuan bernama Kulliyyat Al-Banat yang memang belum dimilikinya.
Mengapresiasi perjuangan Rahmah, pada 1957 Al-Azhar menganugerahinya gelar Syaikhah (Guru Besar Wanita). Gelar ini istimewa karena hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu dan menguasai khazanah ilmu-ilmu keislaman.
Murid Perguruan Diniyyah Putri banyak yang sukses. Sekadar menyebut dua contoh adalah Aisyah Aminy dan Aisyah Gani. Aisyah Aminy pernah menjadi politisi dari salah satu partai Islam di Indonesia dan sangat terkenal di zamannya. Sementara, Aisyah Gani pernah menjabat sebagai Menteri Kebajikan Masyarakat di Malaysia.
Rahmah tak hanya berkonsentrasi di aspek pendidikan. Di kancah politik (baca: pergerakan nasional), dia aktif menentang penjajah Belanda dan atau Jepang. Dia dan teman-temannya pernah menentang pengerahan perempuan Indonesia -terutama di Sumatera Tengah- yang diperlakukan sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) tentara Jepang.
Pada 12/10/1945, Rahmah memelopori berdirinya TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Dapur asrama dan harta miliknya direlakan untuk pembinaan TKR yang rata-rata anggotanya berasal dari Laskar Rakyat dan berusia muda. Rahmah juga mengayomi barisan pejuang lainnya seperti Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah.
Rahmah pernah dipenjarakan Belanda dan baru dibebaskan pada 1949 setelah pengakuan kedaulatan Indonesia. Pada 1952-1954, Rahmah menjadi anggota Pimpinan Pusat Masyumi dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara untuk periode tahun 1955-1958. Dia pernah menentang Soekarno saat Sang Presiden dekat dengan Komunis.
*Mana “Rahmah”*
Rahmah telah berjuang di bidang pendidikan. Rahmah telah berperan dalam usaha merebut dan mengisi kemerdekaan. Setelah Rahmah El-Yunusiyah wafat pada 26/02/1969, maka kehadiran “Rahmah-Rahmah” berikutnya sangat ditunggu umat. []
Comment (0)