Independensi Power untuk Daerah Gempa

Oleh: Joko Intarto

Gempa berkekuatan 6,4 SR kembali mengguncang. Kali ini di wilayah Nusa Tenggara Barat. Sejumlah bangunan dilaporkan roboh. Korban luka dan meninggal dunia berjatuhan. Angkanya masih simpang-siur. Data sementara: 10 orang meninggal.

Penanganan terhadap korban gempa memang tidak mudah. Sebab, infrastruktur dasar  di lokasi bencana umumnya rusak berat. Jaringan jalan raya rusak. Jaringan listrik mati. Jaringan telepon mati. Jaringan internet juga mati. Begitu pula infrastruktur pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan klinik.

Problem yang dihadapi masyarakat di NTB hari ini mirip dengan situasi pasca gempa yang meluluhlantakkan kota Jogja pada bulan Mei 2006 lalu. Jogja lumpuh total karena hancurnya infrastruktur jalan raya dan listrik. Padamnya listrik melumpuhkan jaringan telekomunikasi (telepon dan internet) serta pelayanan kesehatan (rumah sakit dan klinik).

Berdasarkan laporan resmi, evakuasi korban gempa di Jogja baru bisa dilakukan setelah memasuki hari ketiga. Jumlah korban meninggal dunia saat itu mencapai lebih dari 5.000 orang. Selain karena rusaknya infrastruktur jalan raya, listrik dan telekomunikasi, infrastruktur pelayanan kesehatan juga tidak bisa berfungsi. Ditambah lagi, tenaga medis di lokasi bencana juga ikut menjadi korban.

Dari pengalaman gempa Jogja, muncullah gagasan perlunya sumber energi listrik independen yang mudah dimobilisasi di daerah rawan gempa. Dengan konsep independen, sumber energi listrik itu tidak bergantung pada pasokan bahan bakar minyak. Yang bisa habis sewaktu-waktu. Dan sulit diperoleh dalam situasi seperti itu.

Seminggu yang lalu, saya bertemu Pak Harry, pemilik perusahaan integrator sistem konversi sinar matahari menjadi listrik, yang tinggal di BSD City, Tangerang Selatan. Saat itu, Pak Harry memamerkan sebuah desain integrator solar power berdaya setara 1.000 watt untuk melistriki sebuah klinik lapangan.

Karena ditujukan untuk sumber energi klinik lapangan, Harry mendesain independent solar power itu seperti genset. Bisa dibongkar-pasang dengan mudah dan cepat.

Sesuai desain itu, independent solar power bisa beroperasi 24 jam dengan listrik yang bisa dikonversi langsung pada siang hari maupun listrik yang disimpan dalam baterai. ‘’Ini desain simulasi. Daya listrik yang dihasilkan bisa ditambah sesuai kebutuhan,’’ kata bos PT Ragil Mandiri Engineering yang asli Boyolali itu.

Independent solar power bisa menjadi solusi. Instalasi ini bisa dibangun di seluruh wilayah Indonesia, karena memiliki intensitas sinar matahari yang tinggi. Independent solar power bisa menjadi perangkat yang dimiliki semua rumah sakit, klinik dan lembaga pertolongan korban bencana. Dengan memiliki independent solar power, peralatan medis maupun perangkat telelomunikasi bisa difungsikan dengan segera.

Sedia payung sebelum hujan (lagi). Semua pihak rasanya perlu segera merespon gagasan independent solar power itu. Meski demikian, kehadiran independent solar panel, tidak boleh melupakan kewajiban berdoa agar bencana tidak terulang lagi. (jto)

Related News

Comment (0)

Comment as: