Kopi Deli Serdang Sungguh Nendang
Catatan Perjalanan dari Medan (1)
Oleh: Joko Intarto
Saya kembali mengunjungi kota Medan. Kali ini agak lama: tiga hari. Banyak hal baru yang saya peroleh dalam perjalanan kali ini. Ikuti catatan saya, bersambung, mulai hari ini.
Kopi Deli Serdang? Nama yang asing di telinga saya. Nama kopi asal Sumatera Utara yang saya kenal selama ini hanya ini: Sidikalang, Mandheling, Karo dan Berastagi. Belum ada dalam memori saya nama kopi Deli Serdang.
Nama kopi Deli Serdang itu pun saya begitu saja. Saya ingin minum kopi panas yang diproses tanpa mesin. Rupanya hanya itulah konter satu-satunya. Yang menyajikan kopi secara manual, di bandara itu. Namanya: Sembekandua Coffee.
Lokasinya konter Sembekandua di teras bandara. Paling ujung. Hampir nempel dengan area parkir mobil-mobil sewaan. Kalau tadi langsung menyeberang ke stasiun kereta api, pasti saya menemukan konter itu.
Dalam kondisi hampir menyerah, saya mendadak melihat seorang perempuan muda berkulit coklat sedang menuangkan air panas dari teko leher angsa ke penyaring mikro. Teknik V60 itu sangat saya kenal. Ini dia kopi yang saya cari.
Sambil melangkah ke konter itu, saya lihat ada beberapa toples di meja kayu. Yang sepertinya dibuat asal jadi. Tapi tidak ada informasi apa pun tentang kopi itu. Walau hanya selembar kertas kecil.
Padahal sejak berangkat dari Bandara Soekarno – Hatta di Cengkareng, saya sudah terbayang-bayang dengan aroma kopi dari Samosir. Saya dapatkan kopi itu setengah tahun lalu dari istri saya. Katanya, kopi dari pulau di tengah danau Toba itu dibeli di Bandara Kualanamu.
Beli atau tidak? Niat saya maju-mundur: Antara ingin minum kopi dengan perasaan ragu-ragu. ‘’Ini kopi asli Deli Serdang. Arabica. Single origin. Coba dulu. Gratis,’’ kata barista perempuan bernama Fatimah itu sembari menyodorkan segelas kopi.
Saya terima segelas kopi itu. Bukan karena gratisnya. Tapi karena nama kopi Deli Serdang itu bikin penasaran.
Sambil duduk di bangku kayu, saya hirup aroma kopinya yang harum sembari menyeruput perlahan. Tiba-tiba saya ingat Jerry Tan. Pengusaha Taiwan yang tinggal di Cirebon itulah yang mengajari saya minum kopi dengan baik dan benar.
Cara minum kopi ternyata bukan diteguk, tapi disesap. Diseruput. Sampai berbunyi: sluuurp….
Belum juga habis, barista pria bernama Ong menyodorkan segelas kopi baru. ‘’Yang ini buatan saya. Sedikit beda dengan buatan Kak Fatimah,’’ katanya.
Beberapa pemuda berkaos Sembekandua menemani saya. Duduk di kursi kayu. Melingkari meja satu-satunya itu. Kami pun berkenalan. Lalu ngobrol ngalor-ngidul. Seru.
Rupanya, anak-anak muda itulah tokoh di balik kopi Sembekandua. Kopi Arabica dari kebun milik rakyat di kawasan pedesaan Sembekandua yang diapit dua buah pegunungan. Di perbatasan dengan Berastagi.
Ada 60 petani kopi di desa itu. Mengelola lahan perkebunan seluas 600 hektar. Pada ketinggian 1300 hingga 1400 meter dari permukaan laut. Pohon kopinya sudah berusia tua: rata-rata 50 tahun.
Selama setengah abad, hasil panen dipasarkan polosan alias tanpa nama. Sampai datang anak-anak muda itu, dua tahun lalu. Jadilah Sembekandua, nama kampung itu, sebagai merek kopinya. Sejak lima bulan lalu.
Saat kami asyik ngobrol, Ong kembali sibuk di meja barnya. Rupanya dia meracik kopi lagi. Kali ini menggunakan campuran susu. ‘’Saya mau buatkan Pak Joko minuman sanger,’’ jelas Ong.
Sanger? Kopi apalagi? (jto/bersambung)
Comment (0)