Prof Mahfud, Sarung NU Jokowi yang Kependekan
INILAH dilema serius yang kini tengah dihadapi Jokowi. Keputusannya menggandeng KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapres bukan pilihan mudah. Jokowi memilih tunduk pada tekanan PBNU, dan PKB untuk membatalkan pencalonan Mahfud MD.
Oleh : Hersubeno Arief
Batalnya Profesor Mahfud MD sebagai cawapres Jokowi berbuntut panjang. Di Madura muncul gerakan “haram” pilih Jokowi. Mereka memasang baliho besar di beberapa titik, termasuk di jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya-Madura.
Di Jakarta Yenny Wahid putri Gus Dur memastikan pemilih NU tidak akan bulat mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Sementara kepada jutaan pengikut Gus Dur yang dikenal sebagai Gusdurian, Yenny menyerukan agar jangan golput. “Sejak dulu NU tidak memihak kepada salah satu pasangan calon presiden. NU tidak kemana-mana, tapi ada dimana-mana,” tegas Yenny.
Bila dicermati, kedua statemen politik tersebut, sama-sama merupakan ancaman serius yang tak boleh dianggap remeh. Hanya yang satunya disampaikan secara lugas dan terbuka, sesuai sifat orang Madura. Sementara yang disampaikan secara halus oleh Yenny sesungguhnya implikasi politiknya jauh lebih serius.
Dua-duanya berhubungan dengan puluhan juta suara warga nahdliyin (NU) yang ingin diamankan Jokowi.
Shinta Nuriyah Wahid istri almarhum Gus Dur dengan tegas sudah menyatakan akan Golput “Saya enggakakan memilh. Saya enggak bisa memilih. Dua-duanya tidak ada yang cocok,” tegasnya.
Situasi yang dihadapi Jokowi saat ini mengingatkan kita pada sebuah anekdot sarung yang kependekan. “Terlalu digulung ke atas, dengkul kelihatan. Diturunkan ke bawah, pusarnya kelihatan.” Baik pusar, maupun dengkul bagi seorang pria muslim adalah aurat yang tidak boleh terlihat. Salatnya bisa tidak sah, batal. Sarung selama ini identik dengan kalangan NU yang lekat dengan kultur pesantrennya.
Inilah dilema serius yang kini tengah dihadapi Jokowi. Keputusannya menggandeng KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapres bukan pilihan mudah. Jokowi memilih tunduk pada tekanan PBNU, dan PKB untuk membatalkan pencalonan Mahfud MD. Pertimbangannya Jokowi khawatir kehilangan suara dari kalangan NU. Hanya saja proses dibalik keputusan tersebut membuat Jokowi berpotensi tidak dapat sepenuhnya merengkuh suara NU. Dia juga bisa kehilangan suara kalangan NU dan kelompok lain yang berada di gerbong Mahfud MD.
Madura dan Gusdurian
Madura secara tradisional adalah kantong NU, namun pada Pilpres 2014 Jokowi yang menggandeng Jusuf Kalla kalah dari Prabowo-Hatta di empat kabupaten di pulau penghasil garam ini.
Di Kabupaten Bangkalan, Pamekasan, dan Sampang, Jokowi-JK, kalah telak. Sementara di Sumenep Jokowi-JK juga kalah, tapi tidak terlalu telak. Begitu juga di beberapa daerah tapal kuda yang dikenal sebagai komunitas Madura seperti Bondowo, Situbondo, dan Pasuruan, Jokowi-JK juga kalah.
Dengan menggandeng Mahfud diharapkan Jokowi bisa membalikkan keadaan pada Pilpres 2019. Namun dengan batalnya pencawapresan Mahfud, dan munculnya “fatwa” haram mendukung Jokowi, perlu perjuangan keras untuk mewujudkannya. Belum lagi menilik soliditas oreng Madure, Jokowi berpotensi kehilangan suara dari etnis Madura di seluruh Indonesia.
Berdasarkan sensus BPS 2010 Madura menjadi etnis keempat terbesar setelah Jawa, Sunda, dan Batak. Total lebih dari 7 juta etnis Madura yang tersebar di Jatim, Jateng, Jabar, DKI, Kalsel, kalbar, Kalteng, Bali, dan Bangka Belitung.
Jokowi juga berpotensi kehilangan suara NU kultural, termasuk kalangan Gusdurian. jaringan pengikut Gus Dur ini mayoritas merupakan kaum nahdliyin. Mahfud selama ini dikenal sangat dekat dengan Gus Dur dan pencalonannya kemarin didukung penuh oleh keluarga Gus Dur. Yenny Wahid bahkan ikut terjun melakukan lobi ke PBNU ketika mengetahui adanya penolakan kubu struktural atas Mahfud.
Reaksi Shinta Nuriyah Wahid yang menyatakan akan Golput menunjukkan betapa kecewanya keluarga besar Gus Dur. Mereka protes keras atas manuver Ma’ruf Amin, Said Agil Siradj, Muhaimin Iskandar, dan Romahurmuziy membatalkan pencalonan Mahfud. Alisa Wahid putri tertua Gus Dur dengan keras menyindir PKB yang dengan seenaknya memanfaat Gus Dur dan NU untuk berebut kekuasaan.
Di luar NU, Jokowi juga bisa kehilangan kelompok Islam modernis. Mahfud pada masa mudanya pernah menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dua organisasinya ini alumninya tersebar di berbagai lembaga, dan pemerintahan. Mahfud tercatat pernah menjadi Koordinator Presidium Korps Alumni HMI (KAHMI).
Jokowi juga terancam kehilangan basis pendukung Ahok yang kecewa atas keputusannya menggandeng Ma’ruf Amien sebagai cawapres. Sebagai Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin adalah sosok yang mengeluarkan fatwa Ahok menghina Al Quran. Berdasarkan fatwa inilah kemudian muncul Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, dan kemudian melahirkan gelombang besar Aksi Bela Islam (ABI).
Perlu kerja keras bagi Jokowi dan para pendukungnya untuk merebut kembali kantong-kantong suara yang berpotensi hilang. Sebagai langkah pemulihan mereka berupaya menjadikan Mahfud sebagai Ketua tim Sukses Jokowi-Ma’ruf Amin. Namun ditolak. Mahfud beralasan dia tidak mungkin menjadi ketua tim sukses, karena posisinya di Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP). Sebagai anggota Dewan Pengarah BPIP dia harus berdiri di atas semua golongan.
Alasan Mahfud cukup masuk akal. Namun bagi yang paham budaya Madura, sikap tersebut merupakan penolakan yang halus, namun tegas. Di Madura ada sebuah peribahasa lokana daging bisa ejai, tape mon lokana ate thada’ tambana,. Luka tubuh bisa dijahit (diobati), tapi bila hati yang terluka, tak ada obatnya. End
20/8/2018
Sumber: www.hersubenoarief.com
Comment (0)