Ulama yang Merdeka dari Kekuasaan
Oleh *M. Anwar Djaelani**
Siapa yang tak bersedih saat ada ulama _doyan_ jabatan? Siapa yang tak berduka kala ada ulama ambisius dalam meraih kekuasaan? Atas kegelisahan yang mengemuka itu, mari menunduk!
*Berat, Berat!*
"Yaa Rasulullah, mengapa engkau tak memberi jabatan apa-apa kepadaku," tanya Abu Dzar Ra kepada Nabi Muhammad Saw.
"Hai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah," jawab Nabi Saw. Sebagai amanah, lanjut Nabi Saw, jabatan kelak pada Hari Kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan kecuali bagi orang yang dapat menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya.
Tentu, nasihat Nabi Saw itu berlaku umum dan tidak hanya untuk Abu Dzar Ra saja. Bahwa, kapanpun, kekuasaan atau jabatan itu sangat berat dan harus ditunaikan dengan baik sepenuh tanggung-jawab.
Agar dapat menjalankan tugas dengan baik, maka “kuat” dan “dapat dipercaya (amanah)” adalah syarat yang harus dipenuhi oleh “pekerja” (termasuk pejabat atau penguasa). _“ ….. sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya"_ (QS Al-Qashash [28]: 26).
Mengingat tidak ringan tanggung-jawab seorang pejabat, maka tak mengherankan jika terdapat banyak contoh ulama yang teguh menolak saat kepadanya diberikan jabatan tertentu. Dalam catatan, banyak ulama yang sangat berhati-hati terhadap godaan jabatan dan –oleh karena itu- mereka lalu menjaga jarak terhadap kekuasaan. Terkait ini, mari belajar –setidaknya- kepada Imam Hanafi, Imam Ath-Thabari, Muhammad Waasi’, dan Abu Muslim.
Imam Hanafi mendapat ujian berat, baik di masa Bani Umayyah maupun di zaman Bani Abbasiyah. Pada masa Bani Umayyah di saat pemerintahan Khalifah Marwan ibn Muhammad, Gubernur Irak Yazid ibn Hubairah berencana mengangkat Imam Hanafi menjadi Hakim. Tapi, Imam Hanafi menolak. Lalu, Imam Hanafi-pun disiksa.
Pada zaman Bani Abbasiyah, yaitu pada era pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur, Imam Hanafi juga diminta menjadi Hakim. Tapi, Imam Hanafi menolak karena dia ingin menjauhi harta dan kedudukan dari penguasa. Akibatnya, dia ditangkap, disiksa dan dipenjarakan. Imam Hanafi wafat di dalam penjara saat berusia 70 tahun.
Sikap Imam Ath-Thabari juga sama. Saat ditawari jabatan Hakim, dia menolak. Terkait penolakan jabatan di pemerintahan –sebagai Hakim- itu, teman-teman Imam Ath-Thabari mencelanya dengan berkata: “Ketika kamu terima jabatan ini, maka kamu akan mendapatkan gaji tinggi dan akan dapat menghidupkan pengajian sunnah yang kamu laksanakan”.
Atas sikap kurang simpatik dari teman-temannya itu, Imam Ath-Thabari merespon: “Sungguh, aku mengira kalian akan mencegahku ketika aku senang jabatan tersebut.” Terasa, beliau tak berkenan dengan pendapat teman-temannya dalam hal jabatan.
Teladan yang lain, Muhammad Waasi’, juga sama sikapnya. Berkali-kali ulama Tabi’in ini diminta menjadi Hakim. Namun, beliau selalu menolak dengan tegas. Beliau-pun lalu dipanggil oleh Kepala Polisi Basrah, yaitu Muhammad bin Mundzir.
“Gubernur Irak memerintahkan saya untuk menyerahkan jabatan Hakim kepada engkau,” kata Kepala Polisi Basrah.
“Jauhkan saya dari jabatan itu. Semoga Allah memberi engkau kesejahteraan,” kata Muhammad bin Waasi’.
Permintaan tersebut diulang dua sampai tiga kali, namun Muhammad Waasi’ tetap menolaknya. Atas hal itu, sang Kepala Polisi marah dan mengancam.
“Engkau terima jabatan itu atau saya akan mencambuk engkau 300 kali tanpa ampun!”
“Jika engkau melakukan itu maka berarti engkau bertindak semena-mena. Ketahuilah bahwa disiksa di dunia lebih baik daripada harus disiksa di akhirat.”
Kepala Polisi itu menjadi malu, lalu mengizinkan Muhammad bin Waasi’ pulang dengan penuh hormat.
Rasa hormat dari masyarakat -termasuk dari pejabat- akan terbit dengan sendirinya jika ulama selalu berusaha untuk kritis dan bahkan berani meminta penguasa untuk tunduk kepada Syariat Islam. Sikap seperti itu akan mudah dikerjakan jika ulama tak memiliki hubungan kerja dan terlebih lagi jika si ulama bukan bawahan langsung dari pejabat atau penguasa.
Mari lihat Abu Muslim al-Khaulani. Ulama Tabi’in ini aktif menyerukan kebenaran dan tegas memberantas kebathilan. Dalam hal dakwah, Abu Muslim berani menghadapi siapapun termasuk penguasa.
Di masa Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abu Muslim sering menghadiri majelisnya. Pernah, Abu Muslim mendatangi Mu’awiyah di sebuah pertemuan. Saat itu, Mu’awiyah dikelilingi banyak pejabat, panglima perang, dan tokoh-tokoh masyarakat.
Abu Muslim berkata kepada Mu’awiyah. “Engkau adalah orang yang diangkat Allah sebagai pejabat bagi umat, seumpama orang yang digaji untuk mengurus ternak-ternak. Dia akan diberi upah besar, jika mengurus ternak-ternak itu dengan baik. Misal dia rajin merawat ternak sehingga yang kecil menjadi besar, yang kurus menjadi gemuk dan yang sakit menjadi sehat. Tetapi jika teledor -tidak mengurusnya dengan baik- sehingga ternak-ternak itu kurus-kering lalu mati, susut hasil bulu dan susunya, maka dia tak akan diberi upah. Bahkan, dia akan menerima murka dan hukuman. Oleh karena itu, wahai Mu’awiyah, boleh memilih mana yang baik bagi engkau dan upah mana yang engkau kehendaki.”
Khalifah duduk mendengarkan dan kemudian mengangkat kepala seraya berkata, “Semoga Allah membalas engkau dengan yang lebih baik atas perhatian engkau kepada kami dan juga kepada rakyat. Kami mengenal engkau yang selalu memberikan nasihat karena Allah dan Rasul-Nya serta bagi kebaikan kaum Muslimin.”
*Kembali, Kembali!*
Ulama adalah manusia biasa. Bisa saja sebagian dari mereka tergelincir. Misal, bersikap salah seperti mengincar kekuasaan semata-mata karena syahwat politik. Misal, bersikap zalim seperti mengincar jabatan dengan cara-cara yang tak berakhlaq. Maka, kepada mereka, setidaknya riwayat Imam Hanafi, Imam Ath-Thabari, Muhammad Waasi’, dan Abu Muslim di atas dapat memberi penguatan agar bisa kembali kepada jalan yang benar: Bebas dari perhambaan kepada jabatan. Ulama harus merdeka dari pengaruh negatif kekuasaan! []
*Catatan di 17 Agustus 2018
Comment (0)