•   Saturday, 23 Nov, 2024
  • Contact

Sandiaga, Sang Salahuddin Zaman Now

Oleh: Mohamad Radytio
 

SEKIRA satu bulan lalu, tepatnya pada tanggal 3-4 Juli, adalah peringatan atas kemenangan Umat Islam di Peperangan Hattin. Tepatnya, pada Juli 1187 atau sekitar 831 tahun dan 1 bulan yang lalu, umat Islam memenangkan pertempuran yang memberi jalan pada kembalinya Yerusalem dan wilayah Palestina kepada pangkuan ummat, sebuah kemenangan yang membuat Yerusalem tetap menjadi tanah air Umat Islam hingga 730 tahun berikutnya. Kemenangan ini tidak lain dan tidak bukan dicapai berkat persatuan Umat Islam (minus mereka yang dapat “direbut” pihak Salib).

Selain persatuan Islam, kemenangan ini juga dicapai berkat kecemerlangan seorang muda separuh baya bernama Salahuddin. Ya, Salahuddin al-Ayyubi yang bernama asli Yusuf bin Najmuddin al-Ayyubi ini memberikan segala daya dan kemampuannya untuk mengalahkan pihak Salib dan merebut kembali kiblat pertama Umat Islam tersebut. Bahkan, peran yang ia mainkan disebut-sebut merupakan peletak dasar dari keberhasilan Umat Islam mempertahankan Wilayah Palestina selama 7 abad lebih dari tangan-tangan pendukung kuffar.

Namun tahukah anda, bahwa Indonesia sendiri juga memiliki seorang Salahuddin? Seorang Salahuddin, yang lika-likunya tak hanya sama dengan Salahuddin al-Ayyubi, tapi perannya bisa jadi sama vitalnya dengan yang Salahuddin al-Ayyubi mainkan di Yerusalem?

Sandiaga Salahuddin Uno lahir di Rumbai, Provinsi Riau pada 28 Juni 1969. Meski lahir di daerah Melayu, namun Sandiaga bukanlah orang Melayu. Bahkan, berbeda dengan anggapan sebagian awam bahwa ia adalah orang Jawa, Sandiaga merupakan orang Sulawesi dengan pengaruh Sunda dari ibunya yang lahir di Cirebon, Rachmini Rachman (Mien). Hal serupa juga terjadi pada hidup Salahuddin Yusuf al-Ayyubi. Tak banyak yang tahu bahwa Salahuddin al-Ayyubi sesungguhnya adalah seorang ajam (non-Arab). Lahir di Tikrit, Irak, kota yang dominan didomisili orang Arab ayah dan ibunya merupakan orang Kurdi. Ia tumbuh ditengah lingkungan dunia Islam yang mendarah-birukan orang-orang Arab.

Sandiaga Salahuddin Uno tumbuh dalam lingkungan keluarga berada, meski bukan orang kaya sekali. Ia adalah murid yang pintar. Pasca lulus dengan pencapaian memuaskan baik di tingkat sarjana maupun pascasarjana, Sandiaga muda kemudian bekerja di sebuah perusahaan pertambangan dengan posisi yang mapan. Salahuddin al-Ayyubi juga tumbuh dalam keluarga berada. Ia adalah murid yang cerdas; menguasai ilmu geometri, filosofi, hingga intrik peperangan. Namun, awalnya peminatan Salahuddin adalah agama. Ia baru “pindah jurusan” pasca mentornya, Nuruddin Zengi yang termahsyur itu, memerintahkannya untuk pergi membantu Shirkuh orang kepercayaan untuk mengekalkan kekuasaan Zengi di dinasti Fatimiyyah yang berkuasa di Kairo. Banyak yang awalnya meragukan. Bagaimana mungkin seorang bau kencur yang berasal dari suku minoritas (Kurdi) bisa membantu kelompok muslim “pribumi”(Sunni) untuk memperkuat posisinya di istana Fatimiyyah Syiah yang didominasi Arab dan diperkuat dengan dukungan Amalric I (kelompok Salib-Kingdom of Jerusalem)? Tidakkah, sebagai sesama minoritas, justru dalam jangka panjang Salahuddin malah berpihak pada Fatimiyyah? Namun, Salahuddin berhasil mematahkan semua keraguan pada dirinya. Tak hanya ia berhasil mengalahkan berbagai tantangan untuk menguatkan kekuasaan Zengi yang mewakili pribumi (Arab Sunni) di Istana Fatimiyyah, ia bahkan berhasil diangkat oleh sang “khalifah” Fatimiyyah untuk menjadi wazir di tanah Mesir. Semua itu sukses ia capai di usia 30an.

Hal yang sama juga terjadi dalam perjalanan hidup Salahuddin Sandiaga.

Pasca perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, Salahuddin Sandiaga mengubah mindset untuk menjadi seorang pengusaha. Di usianya yang baru menginjak 28, ia dipercaya oleh legenda bisnis William Soeryadjaya untuk bersama sang anak, Edwin Soeryadjaya, mendirikan dan mengelola perusahaan Saratoga. Perusahaan ini memiliki tujuan mengakuisisi perusahaan-perusahaan “sakit”, mengelolanya hingga “sehat” sehingga perusahaan itu dapat dijual dengan nilai menarik. Perubahan mindset ini bukan hanya keluar dari zona nyaman, tapi merupakan resiko besar bagi Sandi, karena ia harus berhasil mengelola perusahaan orang hingga sehat dan membuatnya menarik dimata investor. Bila gagal, maka ia akan dianggap sama “sakit”nya dengan perusahaan yang ia kelola. Namun, Salahuddin Sandiaga sukses bersama Saratoga untuk menyehatkan hingga 12 perusahaan, sebuah pencapaian ekonomi yang mengagumkan mengingat keadaannya yang masih “bau kencur” serta pengalamannya yang belum melimpah. Meski begitu, ia tidak lupa pada pribumi Indonesia. Pada 2005-2008, Sandi menjadi ketua umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang mewadahi para pemuda untuk sukses di dunia usaha. Pun dengan rakyat kecil, ia tak segan membagi ilmunya. Sejak 2004, ia merupakan Ketua Komite Tetap Bidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Kamar Dagang Indonesia (KADIN). Tidak banyak orang yang bekerja dengan taipan namun mau “membagi” dan bahkan membantu pribumi mengembangkan usahanya.

Ini mirip dengan pencapaian Salahuddin al-Ayyubi. Di Mesir, sebagai seorang wazir ia sukses mengubah kebobrokan era Fatimiyyah menjadi salah satu arena perdagangan dunia. Ia juga sukses melakukan berbagai reformasi negeri demi mengembalikan keadaan menjadi lebih baik. Pendek kata, ia menggenggam Mesir di tangannya. Begitupun, Salahuddin al-Ayyubi tak lupa pada jati dirinya sebagai seorang Sunni. Ia “bergabung” dengan khalifah sejati di Baghdad, dimana ia memproklamirkan bahwa hanya khilafah Abbasiyah yang patut dijadikan acuan ummat. Kemudian, ia berniat “membantu” para Sultan bani Abbasiyah dengan mempersatukan sebagian besar wilayah Islam di Mediterrania Timur (poros Kairo-Aleppo) demi mencapai tujuan sesungguhnya yang diprakarsai sang Sultan, yakni memberi keadilan dan mengembalikan tanah suci Palestina kepada pangkuan ummat, jauh dari tangan salib. Ini sukses ia lakukan, meski ia sering mendapat tudingan “durhaka” dari keluarga Zengi yang wilayahnya ia taklukkan demi persatuan itu.

Lika-liku semacam ini, rupanya juga menimpa sang Salahuddin zaman now.

Pada 2015, Salahuddin Sandiaga –yang selain menjadi CEO Saratoga juga menggenggam posisi penting di berbagai perusahaan menggiurkan- memutuskan untuk berhenti dari Saratoga dan meniti karir politik di Partai Gerindra. Pilihan Sandiaga untuk berlabuh di partai besutan “Sultan” Prabowo tersebut membuat bingung sebagian pihak, karena biasanya partai pengusaha adalah partai Golkar. Terlebih, lingkaran taipan Indonesia diketahui menaruh simpati pada rezim Joko Widodo yang berasal dari PDIP. Namun, Sandiaga memiliki tekad kuat mengembalikan Indonesia yang berkeadilan, memakmurkan rakyat dari segenap lapisan tanpa memandang golongan, sesuai dengan tujuan yang diprakarsai “Sultan” Prabowo. Visi bersama ini, dibarengi kemampuan Sandi yang mumpuni, membuat perjalanan karirnya moncer di partai Gerindra hingga ia dipercaya sang “Sultan” untuk –bersama ummat- “menaklukkan” berbagai wilayah di Indonesia. Ini sukses ia lakukan di Jakarta, meski ia banyak mendapat tudingan “menyerobot” jatah wagub dari partai dan golongan tertentu. Lalu, bersama dengan jaringan OkOce yang ia bangun, ia sukses menaruh benih persatuan itu di seantero wilayah Indonesia.

Kini, Salahuddin Sandiaga mulai maju sebagai panglima. Seperti Salahuddin al-Ayyubi, yang setelah membuktikan dirinya mampu menang dalam berbagai pertempuran dan reformasi yang memakmurkan, lalu “didaulat” oleh Sultan bani Abbasiyyah untuk memimpin pertempuran melawan tentara salib, Salahuddin Sandiaga yang sukses membangun jaringan kerakyatan OkOce di seluruh Indonesia dan ikut membenahi system pemerintahan di DKI Jakarta kini didaulat oleh “Sultan” Prabowo untuk menjadi ketua tim pemenangan pilpres pada April lalu. Dan kini Salahuddin Sandiaga ditunjuk menjadi wakil presidennya “sultan” Prabowo, sama seperti Salahuddin al-Ayyubi yang ditahbiskan oleh Khalifah di Baghdad menjadi wakil Khalifah di daerah mediterania dengan diberi gelar “Sultan Mesir dan Suriah”.

Kini, sudah saatnya kita bersatu dibalik komando ummat dan kepemimpinan Salahuddin Sandiaga, sang Salahuddin zaman now untuk memperbaiki kondisi bangsa ini pada 17 April 2019.
 

Related News

Comment (0)

Comment as: