Kejutan-kejutan Diplomasi Nasi Goreng
Oleh: Ariyono Lestari
SEMUA orang mestinya sudah tidak terkejut ketika petahana Jokowi mengumumkan KH Ma'ruf Amien sebagai cawapresnya. Dipilihnya Rais Aam PB NU itu sudah tercium sejak lama. Apalagi, sejak pak Kiai yang sebelumnya menolak lamaran Jokowi, mendadak menerima.
Sinyal Ma'ruf bakal jadi cawapres juga bisa dibaca ketika MUI Jawa Barat mendadak menolak deklarasi Gerakan #2019GantiPresiden. Dan, yang juga penting, portal berita voiceofindonesia.com sudah memprediksinya jauh-jauh hari. (baca: Prabowo Pilih UAS, Jokowi Beralih ke KH Ma'ruf Amien).
Yang menarik adalah peristiwa yang terjadi di balik berita. Prof Dr Mahfud MD yang sudah berkampanye ke sana ke mari, tiba terlihat sangat pede datang ke istana. Mahfud dikabarkan akan dideklarasikan sebagai cawapres Jokowi.
Ini beritanya:
Terpilih jadi Cawapres Jokowi, Mahfud MD: Saya Diminta Pramono Anung Siapkan Baju https://t.co/FNVzkvxhTs via @tribunnews
Rupanya, malam sebelumnya, guru besar UII Jogjakarta itu ditelpon Jokowi. "Pak Jokowi meminta saya standby dan mempersiapkan CV," kata Mahfud kepada wartawan, di istana negara, Kamis 9/8 2018.
Mahfud kepada wartawan juga mengungkapkan sudah mengukur baju untuk mendaftar ke KPU sebagai cawapres mendampingi Jokowi. Tetapi, last minute, Mahfuf MD mendadak batal jadi cawapres dan digantikan oleh KH Ma'ruf Amien. Kecewa? Hanya Prof Mahfud dan Allah SWT yang tahu.
Netizen pun ramai. Jagad Twitter ramai. Semua meramesi dipilihnya Kiai Ma'ruf sebagai cawapres Jokowi. Banyak yang menilai, dipilihnya Ma'ruf karena Jokowi berharap bisa menarik gerbong NU sebagai ormas Islam terbesar di negeri ini untuk memilih Jokowi.
Tergerusnya elektabilitas Jokowi benar-benar membuat mantan wali kota Solo-gubernur DKI dan parpol pengusungnya itu ketar ketir. Apalagi, belakangan santer diberitakan kubu Capres Prabowo Subianto bakal menggandeng Ustad Abdul Shomad sebagai cawapres.
Maka, PDIP yang Ketumnya Megawati Soekarnoputri pernah menegaskan partainya tidak membutuhkan dukungan ummat Islam pun beralih haluan. PDIP merangkul NU, ormas Islam terbesar, dan akhirnya memilih Rais Aamnya sebagai cawapresnya.
Benarkah Kiai Ma'ruf mampu menarik warga Nahdliyyin untuk memilih Jokowi. Bisa ya, bisa tidak. Karena, bagaimana pun, kiai Ma'ruf adalah kiai sepuh yang sangat dihormati warga Nahdliyyin
Tetapi, sejarah mencatat bahwa Kiai NU terbukti tidak mampu menarik gerbong Nahdliyyin. Pada Pilpres 2004, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mendapuk KH Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Dalam ajang pilpres itu, selain Megawati-Hasyim Muzadi, ada empat pasangan kontestan lainnya, yaitu SBY-JK, Wiranto-Salahuddin Wahid, Amien Rais- Siswono Yudo Husodo, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Namun, KH Hasyim tidak bisa mengangkat suara Megawati. Pasangan calon (Paslon) ini, meski masuk ke pilpres putaran kedua, kalah melawan paslon SBY-JK. Apalagi, saat ini dikabarkan, di bawah kepemimpinan KH Said Agil Siradj, NU tidak solid. Bisakah, kiai Ma'ruf mendulang suara warga Nahdliyyin?
Sayangnya, kubu capres Prabowo Subianto meski belum mengumumkan cawapresnya, santer terdengar bakal menggandeng Sandiaga Salahuddin Uno, wakil gubernur DKI Jakarta, sebagai cawapresnya.
Langkah Prabowo ini lantas menjadi bulan-bulanan di media sosial, terutama Twitter. Di Twitter banyak yang memperkirakan, Prabowo-Sandiaga akan kalah telak. Guyonannya, Prabowo akan hattrick karena tiga kali kalah dalam pilpres.
Ummat Islam, terutama yang tergabung dalam Paguyuban Alumni 212 kecewa. Mereka telanjur berharap banyak pada Prabowo yang diharapkan bakal menggandeng Ustad Abdul Shomad Batubara sebagai cawapres atau Habib Salim Segaf Aljufri, Ketua Majelis Syuro PKS sebagai cawapresnya.
Bahkan, jika Prabowo menggandeng UAS, banyak yang memprediksi ia akan menang mudah. Dan, gerakan #2019GantiPresiden terpenuhi keinginannya. Sayangnya UAS tegas menolak pencalonan itu.
Sampai menjelang pukul 22.00 malam ini, belum ada kepastian nama cawapres Prabowo. Juga kepastian bergabungnya Partai Demokrat ke Koalisi Keumatan yang ternyata mentah lagi. Itu terlihat dari upaya Prabowo yang dua kali "sowan" SBY di Kuningan yang nampaknya belum membuahkan hasil.
Belakangan, Wakil Sekjen PD Andi Arief dalam cuitannya menyebutkan bahwa kalau Prabowo dan SBY tidak mencapai kata sepakat maka PD akan mengambil jalan yang berbeda. Tak jelas, jalan yang mana.
Sebelumnya, Andi Arief juga menuding PKS dan PAN menerima mahar politik masing-masing Rp 500 miliar (buntutnya kedua parpol itu akan membawa tudingan Andi Arief itu ke ranah hukum), dan menyebut Prabowo sebagai Jenderal Kardus, perpecahan PD dengan Koalisi Keumatan makin tampak.
Dan, puncaknya, tadi malam (9/8 2018 sekitar pukul 23.38 Prabowo mengumumkan cawapresnya: Sandiaga Salahuddin Uno, Wagub DKI Jakarta. Dan, tidak tampak satu pun petinggi Partai Demokrat yang hadir Yah, inilah hasil dari (meminjam istilah PD) diplomasi nasi goreng . (arn)
Comment (0)