•   Thursday, 09 May, 2024
  • Contact

Patutkah MUI Campuri Urusan Politik?

Oleh: Zahid

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau agar deklarasi #2019GantiPresiden tak dilanjutkan. Pasalnya, gerakan ini dianggap provokatif dan mengarah kepada aksi inkonstitusional. Sehingga bisa memicu konflik horizontal. Tentu saja, larangan dipertanyakan banyak pihak. Patutkan MUI larang-larang urusan politik?


Meski ada yang menentang, gerakan tagar#2019GantiPresiden terus merayap. Bergerilya dari dunia maya ke dunia nyata. Deklarasi terus berlangsung di sejumlah tempat. Setelah di Batam, deklarasi serupa akan digelar di Banten dan Jawa Barat pada 11 Agustus nanti.

Mendengar rencana itu, Sekretaris Umum MUI Jabar Rifani Akhyar buru-buru mengeluarkan pernyataan. Dia meminta masyarakat, baik yang pro dan kontra, agar dapat menahan diri untuk menjaga ketenteraman.



Dia tak ingin peristiwa di Batam pada 29 Juli lalu terulang di Jawa Barat. Peristiwa yang dimaksud adalah penghadangan oleh puluhan orang kepada Neno Warisman di Bandara Hang Nadim, Batam. Neno beserta rombongannya yang akan mengikuti deklarasi tak bisa keluar bandara karena dihadang massa yang menolaknya. Kepolisian tak bisa banyak berbuat apa-apa.

Kenapa sebaiknya dihentikan? Oknum MUI Jabar ini menilai kegiatan #2019GantiPresiden lebih dominan unsur provokasi dan mengarah kepada aksi inkonstitusional, dibandingkan sebagai kegiatan yang menjunjung tinggi demokrasi. Kata dia, seharusnya gerakan tersebut menyuarakan ajakan untuk berkompetisi secara sehat. Mendukung capres yang dijagokan. Siapa pun capresnya itu.


Rafani menegaskan, imbauan itu dikeluarkan bukan karena MUI Jabar berpihak ke salah satu kubu. Dia bilang, tak akan menghalangi hak demokrasi seseorang. Namun ia tak ingin terjadi tindakan yang mengarah pada hal inkonstitusional. “Insyaallah MUI netral. Yang tidak kami inginkan itu terjadi gangguan di Jawa Barat. Kami akan tembuskan imbauan ini kepada kepolisian dan pengurus MUI kabupaten/kota,” kata Rafani.



Penolakkan terhadap gerakan #2019gantipresiden pun muncul di Banten. Ketua MUI Banten, AM Romly meminta semua kubu menunda deklarasi menunggu masa kampanye Pilpres 2019. “Saya mengkhawatirkan aksi dan reaksi nanti menimbulkan kegaduhan. Apalagi sekarang belum masuk waktu kampanye kan,” kata Romly, kemarin.

MUI Pusat cepat merespons. Waketum MUI Zainut Tauhid setuju agar deklarasi tagar #2019GantiPresiden tidak digelar di Jabar. Karena khawatir gerakan ini menimbulkan konflik di tengah panasnya suhu politik saat ini. Dia menilai sikap MUI Jabar merupakan bentuk kehati-hatian agar tak terjadi gesekan antar kelompok masyarakat. Dia juga minta elite politik bisa menahan diri dan tidak terjebak pada kegiatan politik praktis yang dapat memicu konflik dan gesekan di masyarakat. “Semuanya harus patuh dan tunduk dengan peraturan perundangan yang ada,” kata Zainut, dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, tadi malam.

Pernyataan MUI ini tentu saja menuai pro-kontra. Ada yang mendukung ada juga yang menolak. Yang menolak, tentu saja datang dari partai oposisi seperti PKS dan Gerindra. Sekjen DPW PKS Abdul Hadi menilai MUI lebay. Dia mempertanyakan alasan yang dipakai MUI. Dia memastikan tak ada pelanggaran hukum dalam seruan ganti presiden di media sosial dan di dunia nyata. Semuanya legal dan konstitusional. “Jadi MUI jangan berlebihan. Jangan lebay,” kata Hadi, kemarin.


Dia bilang, jika ada anggota MUI tidak sepakat dengan tagar tersebut, agar gentle. Menunjukkan diri dan tidak membawa-bawa institusi. Agar persaingan politik sehat. Dia berharap MUI tetap netral.

Senada disampaikan Ketua DPD Partai Gerindra Jabar Mulyadi yang menyesalkan imbauan MUI. Menurut dia, pernyataan MUI itu bukan menjadi penyejuk malah semakin menambah panas suhu politik saat ini. Dia bilang, tagar #2019gantipresiden merupakan hak warga dalam menyuarakan pendapatnya di muka umum dan selama ini tidak ada aturan yang dilanggar dengan adanya gerakan tersebut.



“Gerakan ini dijamin oleh konstitusi sehingga tidak ada masalah bila masyarakat yang ingin adanya perubahan menggelar deklarasi dan menyampaikan aspirasinya,” kata Mulyadi.

Pengamat politik dari UIN Bandung Prof Nanat F Natsir juga ikut menyayangkan imbauan yang dikeluarkan MUI. Nanat bercerita, di jaman otoriter seperti Orde Baru, kebebasan berpendapat adalah barang mewah. Saat itu, masyarakat tak bisa bersuara. Setelah reformasi, barulah kebebasan berpendapat diberikan ruang. Karena memang dalam konstitusi ditulis adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Dia menilai gerakan #tagar2019GantiPresiden adalah bagian dari kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya. Tentu ada yang mendukung dan yang tidak. Itu sah-sah saja dalam demokrasi. “Tapi intinya indiviu mana pun punya hak untuk menyampaipan pendapatnya dengan cara-cara yang etis tentu saja,” kata Nanat, kepada Rakyat Merdeka, tadi malam. Bekas Rektor UIN Bandung ini menilai tak ada yang inkonstitusional dalam gerakan tersebut. Dia pun mempertanyakan sikap MUI. “Ini kan sebenarnya sudah masuk wilayah politik. Gerakan politik. Sementara MUI harusnya fokus saja ke urusan moral. Jadi wajar kalau imbauan ini akan dipertanyakan banyak pihak,” ujarnya.


Pakar komunikasi politik dari UGM Nyarwi Ahmad menilai pergerakan #2019GantiPresiden memang massif. Terutama di kalangan kelas menengah. Semangat yang dibangun dari tagar ini bisa melahirkan para relawan baru yang lebih solid dan berkekuatan besar yang bisa menggerus kerja-kerja mesin politik Jokowi dan para relawannya.

Karena itu dia menilai, kubu Jokowi harus lebih serius dan punya cara yang inovatif dalam merespons perkembangan tersebut. “Tanpa usaha-usaha semacam itu peningkatan elektabilitas Jokowi akan berjalan lambat,” kata Nyarwi, kemarin. Dia menilai isu-isu yang dimunculkan kubu Jokowi seperti mengeluarkan Nawacita Jilid II tak banyak membantu. “Kubu Jokowi harus membuat narasi baru yang menyegarkan narasi politik lama, yakni Nawacita,” tuntasnya. (rmol)

Related News

Comment (0)

Comment as: