PP No 32/2018, Bentuk Ketakutan Jokowi

Oleh: Ariyono Lestari *)

KEKUATAN Anies Rasyid Baswedan dalam kontestasi Pilpres 2019 sudah terbaca. Amerika Serikat dan Arab Saudi pun kelihatan kalau sudah terpikat oleh ciamiknya Gubernur DKI Jakarta yang oleh Mendagri Cahyo Kumolo sempat disebut Gubernur Indonesia itu.

Di jagad maya, terutama tweeter juga sudah berseliweran info, Anies President Of The Republik Indonesia (POTRI). Anies bakal terpilih menjadi POTRI 2019 - 2024 sudah diketahui sejak 15 tahun silam.

Apalagi, AS mensyaratkan POTRI 2019 mendatang adalah pasangan
Islam - Nasionalis atau sebaliknya, Nasionalis - Islam. Kalau itu yang terjadi, maka Jokowi akan nothing jika tidak menggandeng tokoh yang mempresentasikan Islam.

 Karena itulah ia menggandeng Prof. Nasaruddin Umar, mantan wakil Menag. Nasaruddin Umar pas untuk cawapres Jokowi yang sesuai dengan keinginan AS dan Arab Saudi. Nasaruddin sangat utuh sebagai representasi Islam, sekaligus bisa dimanfaatkan untuk memecah Paguyuban Alumni 212 yang sangat solid dengan gerakan #2019GantiPresiden.

Namun demikian, kemunculan Anies Baswedan sangat mengejutkan. Keberadaan Anies dinilai bisa membahayakan Jokowi untuk menggapai 2 periode

Karena itu, ditandatanganinya Peraturan Pemerintah (PP) No 32 Tahun 2018 oleh Jokowi bisa mengindikasikan ketakutan Jokowi pada Anies baswedan. PP Nomor 32 Tahun 2018 itu antara lain memuat tentang permintaan izin dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.

"Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota atau wakil walikota yang akan dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus meminta ini kepada presiden," demikian bunyi Pasal 29 ayat (1) PP Nomor 32 Tahun 2018.

Keluarnya PP No 32 Tahun 2018 ini memperjelas siapa yang disasar pemerintah. Dia adalah Anies Baswedan. Siapa lagi yang berpeluang nyapres kalau bukan Anies, setelah Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, gubernur NTB anjlok elektabilitasnya karena lompat pagar ke kubu Jokowi.

Mari kita berpikir jernih. Yang mengusulkan seseorang menjadi Capres-Cawapres adalah parpol-parpol pengusung. Menurut aturan saat ini adalah parpol yangmemiliki jumlah kursi di DPR minimal sebesar 20%

Parpol-parpol  pengusung, sesuai dengan jadwal KPU dapat mendaftarkan Capres-Cawapres pada tanggal 4-10 Agustus 2018.
Artinya, setelah tanggal 10 Agustus barulah diketahui siapa yg sesungguhnya telah didaftarkan oleh parpol-parpol pengusung.

Dalam hal Anies Baswedan,saat itu barulah yang bersangkutan memperoleh kepastian apakah diusung oleh parpol jadi Capres atau tidak.

Bagaimana mungkin seorang gubernur yang belum tahu akan diusung menjadi capres atau cawapres mengajukan izin cuti kepada Presiden? Apalagi dibatasi dengan waktu 15 hari sebelum pendaftaran.

Kalau dihitung mundur berarti 15 hari sebelum tanggal 10 Agustus 2018, jatuh pada tgl 27 Juli 2018.
Sedangkan PP tersebut ditandatangani tgl 18 Juli 2018 dan diundangkan tgl 19 Juli 2018 atau seminggu sebelum batas waktu 27Juli 2018.

Dan, kita baru tahu hari ini tgl 24 Juli 2018 atau 3 hari menjelang tenggat tgl 27 Juli 2018. Logika hukumnya, seharusnya izin cuti baru diproses setelah yang bersangkutan didaftarkan oleh parpol-parpol pengusung. Atau diajukan pada tgl 11 Agustus 2018. Sebelum jadi calon definitif, barulah sekedar Bakal Calon Presiden-Wakil Presiden.

Setelah diverifikasi seluruh persyaratannya oleh KPU, barulah ditetapkan sebagai Capres-Cawapres.  Aturan izin cuti dalam PP di atas sangat tidak logis.

 Izin cuti hanyalah aturan administratif saja, tidak boleh menghambat seseorang untuk dicalonkan sebagai Capres maupun Cawapres. Jadi izin ini bukan sesuatu yang dapat digunakan untuk mematikan langkah lawan.

Tetapi, yang jelas, dengan aturan seperti ini semakin terlihat kekhawatiran majunya Anies Baswedan sebagai Capres.

PP No 32/2018 juga terkesan dipaksakan. Dan, langkah yang penuh ketergesaan ini bisa jadi blunder buat Jokowi. Sebaliknya, menguntungkan buat Anies, karena dikesankan pihak teraniaya.

Sementara itu, peta politik pilpres sudah mulai terang benderang. Setelah pertemuan tingkat tinggi antara Prabowo Subianto (Ketum Partai Gerindra) dan Susilo Bambang Yudhoyono (Ketuk Partai Demokrat), sudah semakin jelas siapa cawapres  yang akan mendampingi Prabowo dalam kontestasi Pilpres 2019, yakni Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY.

Yang mulai kebingungan kini justru Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai yang dikomandani Sohibul Iman ini sudah pasti gagal menempatkan kadernya sebagai cawapres mendampingi Prabowo. Maka, PKS menebar ancaman: hengkang dari koalisi P Gerindra dan PAN (yang belakangan plus P Demokrat), loncat ke kubu PDIP mendukung Jokowi.

Seriuskah ancaman itu? Bisa ya, bisa tidak. Ya, karena PKS pasti akan memperoleh kompensasi, apa pun bentuknya. Tidak, karena kader partai ini, Mardani Ali Sera, sudah telanjur menggaungkan tagar #2019GantiPresiden. Apa tidak malu. Tapi, dunia politik kan tidak kenal rasa malu.

* Ariyono Lestari, wartawan senior tinggal di [email protected].

Related News

Comment (0)

Comment as: