Pembelot, Bertingkah Seperti Belut karena Terbelit
Oleh: Asyari Usman
BELUT adalah binatang yang tak berbisa tetapi tidak mudah dipegang. Licin. Slippery. Hebatnya si belut diburu orang. Dagingnya digemari semua lapisan masyarakat. Dulu, sebelum manusia mulai memburu belut, binatang air ini masih suci. Namun, begitu para pemburu mengalami kesulitan untuk menangkap belut, mulailah nama baik mereka dijelek-jelekkan.
Entah siapa yang memulainya, terkenallah idiom “licin seperti belut”. Muncullah ejekan, “Awas, dia itu belut”, dsb.
Herannya, daging belut tetap disukai. Sampai akhirnya hari ini belut menjadi salah satu komiditas perikanan yang beromzet puluhan miliar rupiah. Ada sekian jenis jajanan yang berbasis belut. Walhasil, idiom buruk berbasis belut bisa diimbangi oleh popularitasnya sebagai jajanan yang disenangi.
Itulah belut. Licin, susah dipegang, tapi disukai.
Nah, manusia-manusia hebat, khususnya para pemain politik, kemudian melihat potensi besar dari watak, sifat dan kondisi belut. Mereka mempraktikkan sifat-sifat kebelutan itu di pentas politik. Watak belut paling banyak di-subscribe atau di-like oleh para politisi dan penguasa Indonesia.
Mulailah muncul di sana-sini politisi dan pejabat belut. Mudah berjanji, tak bisa dipegang. Setelah jadi, langsung menghilang. Bila terdesak, cepat menyeberang.
Hebatnya, untuk mempelajari dan mempraktikkan filosofi belut, tidak mahal. Bahkan Anda tak perlu membeli atau memelihara belut. Cukup ikuti saja berita-berita tentang politisi yang membelot. Yang melakukan lompat indah. Yang pindah kubu.
Amatinya sepak-terjang pembelot. Lobus frontalis (otak depan) Anda akan melakukan “automatic recording and downloading” (perekaman dan pengunduhan otomatis) dari sifat-sifat kebelutan si pembelot yang Anda amati itu.
Sampai di paragraf ini, mulai nampak hubungan antara “belut” dan “belot”. Kalau mau lebih jelas lagi: pembelot banyak belajar tentang belut. Bisa jadi juga di dalam ilmu balaghah (epistemologi), “belot” bertetangga dengan “belut”.
Sekarang, kita perlu menjawab pertanyaan korelatif. Dalam terminologi perguruan tinggi Islam, pertanyaan “ushuluddin”-nya. Yaitu, mengapa pembelot mengamalkan watak belut?
Berdasarkan “Survey 100” (masih ingat acara tebak berhadiah di TV?), pada umumnya orang melakukan pembelotan karena “belitan” atau “terbelit” sesuatu. Bisa terbelit hutang atau terbelit masalah.
Nah, kita sampai di paragraf tentang “belit”. Kata “belit” bermakna sesuatu yang melilit atau melingkari benda atau orang.
Kita ambil saja orang sebagai contoh. Bila seseorang kena “belit” (misalnya hutang, masalah legal, sosial, atau moral), maka sangat besar kemungkinan dia akan berusaha sekuat tenaga untuk lepas dari belitan itu.
Dalam situasi yang genting, dia tidak akan segan-segan melakukan pembelotan apa saja. Termasuk pembelotan ideologi, pembelotan dalam hubungan suami-istri, bahkan pembelotan aqidah. Bagi orang itu, yang penting dia bisa lepas dari belitan.
Jadi, tidaklah terlalu mengherankan kalau di depan mata Anda berlangsung pembelotan yang mencengangkan. Yang tidak Anda sangka membelot, telah melakukannya. Yang Anda rasa bukan “belut”, sekarang “belot”.
Kesimpulan: sekarang kita telah menemukan benang merah-kuning yang menghubungkan “belot”, “belut” dan “belit”. Yaitu, pem-BELOT belajar dari sifat BELUT karena ter-BELIT macam-macam masalah.
Mudah-mudahan tulisan tentang belut ini tidak berbelit-belit sampai membuat Anda pergi membelot ke tulisan lain.
Penulis: Asyari Usman (eks wartawan BBC)
Comment (0)