Survey, Kebohongan yang Berlindung di Balik Statistik yang Direkayasa
Oleh: Muhammad Said Didu *)
Karena banyak sorotan terkait dengan survey pilkada, saya kultwit bagaimana potensi kesalahan atau rekayasa survey untuk tujuan subyektif pelaku survey dengan hastag #survey.
Survey adalah kegiatan untuk mengetahui parameter atau insulator perilaku atau karakteristik populasi untuk maksud dan tujuan penelitian atau survey. Tujuan penelitian atau pilkada adalah mengetahui pilihan Individu dalam populasi pemilih terhadao calon yang ada
Populasi adalah seluruh Individu atau spesies yang memiliki kriteria atau kategori sesuai batasan penelitian yang diteliti atau disurvey. Populasi untuk pilkada adalah semua Individu yang memiliki hak pilih di masing-masing daerah.
Untuk mengetahui perilaku seluruh populasi, dengan alasan penghematan waktu dan biaya maka digunakan metodologi statistik lewat survey yang dilakukan oleh peneliti terhadap sample.
Filosofi dasar yang harus dihindari dalam penggunaan metode statistik adalah bahwa statistik sangat mudah digunakan sebagai sarana membuat KEBOHONGAN yang seakan dibungkus dengan alasan ilmiah. Ini dapat dihindari dg integritas peneliti atau lembaga survey
Bagi yang pernah ikut kuliah Statitik dari Prof. Andi Hakim Nasoetion akan terus teringat nasehat beliau bhw jangan pernah gunakan statistik untuk berbohong apalagi untuk menipu. Karena kebohongan lewat statistik sulit diketahui oleh umum sampai terbukti salah
Karena potensi melakukan kebohongan melalui survey lewat metode statistik sangat rawan maka banyak sekali buku yang menulis bagaimana ilmu statistik dapat digunakan untuk berbohong. Tujuan buku-buju tersebut dibuat agar statistik tidak disalahgunakan untuk berbohong
Tapi bagi yang berniat tidak baik, bisa saja ulasan dalam buku-buku tersebut justru digunakan untuk merancang survey untuk melakukan kebohongan yang dibungkus seakan ilmiah. Intinya bahwa penggunaan statistik sangat tergantung pada moral peneliti yang melakukan penelitian/survey
Survey pilkada termasuk kategori penggunaan metode statistik non-parametrik. Statistik jenis ini sangat rawan terhadap subyektivitas peneliti krn obyek yang diteliti multitafsir dengan prilaku individu yang sangat dinamis serta penafasiran terhadap hasil sangat luas
Terdapat minimal 6 tahapan survey seperti survey pilkada : 1) rancang penelitian, 2) rancangan pertanyaan, 3) penetapan sampel, 4) pelaksanaan penelitian/survey, 5) pengolahan data, 6) publikasi laporan
Seperti diuraikan sebelumnya bahwa survey ditujukan untuk mengetahui perilaku seluruh Individu dalam populasi yang disurvey, maka rancangan penelitian betul harus dilakukan secara obyektif. Jika tujuannya subyktif maka itulah Awal terjadinya KEBOHONGAN statistik
Potensi KEBOHONGAN survey lewat statistik terdapat pada semua tahapan, tapi yang paling rawan adalah pada tahapan pembuatan pertanyaan, pengambilan sampel, dan pengolahan data. Semua tahapan ini betul2 menjadi “kewenangan” peneliti shg menjadi rawan subyektivitas
Sampel adalah individu dalam populasi yang secara metode statistik dianggap mewakili perilaku populasi yang disurvey sehingga hasil survey thdp sampel dianggap sudah mewakili dugaan perilaku populasi secara keseluruhan
Semakin banyak Individu yg dijadikan sampel, secara ilmiah semakin baik tetapi semakin mahal dan semakin butuh waktu yang lama. Tentang penentuan jumlah sampel yang sesuai sangat tergantung banyak hal. Banyak buku yg membahas cara penetapan sampel
Persyaratan penetapan sampel harus mewakili karasteristik perilaku populasi. Terhadap populasi yg homogen maka penetapan sampel dilakukan dengan sistem acak bebas, bisa lewat cara “undi” thdp nomor atau kode populasi.
Terhadap populasi yang tidak homogen maka dilakukan klasifikasi populasi yang dianggap homogen dan setelah itu baru dilakukan penentuan sample secara acak pada masing-masing kelompok klasifikasi populasi. Jumlah sampel masing2 klasifikasi berdasarkan proporsionalitas populasi
Hal yang mempengaruhi jumlah klasifikasi dan jumlah sampel utk survey pemilihan (pilpres, pileg, atau pilkada) tergantung pada hal2 : 1) jumlah, 2) perdebatan wilayah, 3) perbedaan kultural, 4) perbedaan tingkat pendidikan, 5) perbedaan ekonomi, 6) “panutan”
Karakteristik populasi seperti untuk survey pilpres, pileg, dan pilkada menggunakan mekanisme “stratified sampling” - jangan kagum terhadap istilah canggih tersebut katena bisa sangat rawan kesalahan atau sangat rawan penyimpangan subyektivitas peneliti
Kredibilitas survey/peneliti dinilai dari seberapa besar ketepatan hasil survey perilaku sampel dengan hasil perhitungan ril (perilaku seluruh populasi) - bukan dari seberapa kesesuaian predikisi Pemenang pilkada.
Kita sering disajikan marjin Error. Marjin error dalam statistik biasa disebut galat. Artinya ketepatan bias ke atas dan ke bawah dari titik perkiraan hasil survey sampel. Marjin error hasil sampling tidak otomatis sama dengan dengan angka hasil akhir pilkada
Angka marjin error baru ada gunanya jika memang proses rancangan penelitian, rancangan pertanyaan, proses sampling betul2 menggunakan kaidah2 ilmu statistik yg prudent dan dilakukan secara obyektif. Jika tidak maka semua hasil survey adalah KEBOHONGAN
Terdapat 3 penyebab terjadinya bisa anatara hasil survey dengan hasil perhitungan: 1) “perkayasaan” metode survey, 2) kesalahan metodologi yg tdk disengaja, dan 3) perubahan perilaku populasi yang sangat drastis setelah survey dilaksanakan.
“Perekayasaan” hasil survey dilakukan dengan seakan ilmiah dengan cara mengarahkan rancangan penelitian, rancangan pertanyaan, dan sampel yang dipilih untuk menguntungkan pihak yang “memesan” survey. Cara inilah yang murni KEBOHONGAN gunakan statistik sebagai alat
Bias jenis kedua bisa terjadi adalah kesalahan rancangan penelitian, rancangan pertanyaan, dan pengambilan sampel yang salah. Bias yang seperti ini disebut KEBODOHAN lembaga survey atau peneliti. Ini merugikan semua pihak
Bias jenis ketiga adalah terjadinya perubahan drastis prilaku populasi setelah dilakukan survey. Ini sangat mungkin terjadi. Jika ini terjadi maka surveyor harus membuka asumsi2 yang digunakan saat survey dilakukan apakah memang terjadi perbedaan signifikan
Untuk menilai profesionalisme lembaga survey dilihat seberapa jauh kemampuan menghindari bias jenis 2 dan 3. Sedangkan KREDIBILITAS dilihat seberapa jauh surveyor atau peneliti untuk tidak melakukan rekayasa penelitian - bias 1
Setiap pengumuman hasil survey selalu disajikan : 1) jumlah sampel, 2) metode sampling, 3) hasil survey, 4) marjin error, 5) kata2 : jika pemilihan dilakukan hari ini maka hasilnya ...... inilah salah satu cara disclaimer lembaga survey
Semua pengumuman tersebut tdk bisa membuka apakah survey tersebut dilakukan secara obyektif atau krn pesanan atau tujuan subyektif krn survey yang direkayasa atau tidak metode statistiknya seakan sama saja - cuma beda dalam rancangan dan proses samplingnya
Dalam demokrasi kapitalis atau istilah saya #demokrasicukong, terdapat 4 faktor penentu kemenangan : 1) pemodal, 2) lembaga survey, 3) Media Massa, dan 4) pemilih. Pemilih bisa diarahkan lewat faktor 1, 2, 3 dan/atau lewat kekuasaan
Dengan posisi seperti itu, banyak pihak yang bersedia membayar lembaga survey yang bisa direkayasa untuk digunakan sebagai: 1) mencari cukong, 2) mengarahkan pemilih, 3) membangkitkan semangat tim, 4) “mengancam” penyelenggara agar searah dengan hasil survey.
Yang manjadi masalah utama adalah bahwa tidak sedikit lembaga survey bertindak sebagai konsultan politik calon. Jika ini terjadi maka sangat sulit dipercaya bhw lembaga survey tsb bersifat obyektif dan netral.
Jika ada lembaga survey lebih bangga mengumumkan kesesuaian perkiraan kemenangan calon hasil survey dengan hasil perhitungan nyata maka dapat diduga bahwa lembaga tersebut lebih berperan sebagai konsultan politik bertopeng lembaga survey
Hasil survey yg ramai dibicarakan setelah pilkada adalah perbedaan sangat jauh antara hasil survey lembaga survey sebelum pilkada dengan hasil Quick count di Jawa Tengah dan Jawa Barat khusus perolehan suara pasangan SS-IF (Jateng) dan pasangan Asyik (Jabar)
Pembelaan para lembaga survey atas terjadinya SUPERBIAS adalah bhw terkaget dengan hasil tersebut. Sebagai lembaga dan peneliti profesional, alasan tersebut tidak cukup. Kalaupun ada perubahan prilaku dalam hitungan bbrp hari sblm pilkada hrs bisa dijelaskan.
Beberapa hasil Survey lembaga Survey dan @hariankompas bbrp hari sblm pilkada menunjukkan bhw perolehan suara pasangan SS-IF hanya belasan % - hasil QC lbh 40%. Thdp pasangan Asyik diperkiran di bawah 10% - hasil QC lbh 30%. Apa masalahnya?
SUPERBIAS bisa terjadi katens 4 kemungkinan : 1) survey rekayasa/pesanan, 2) kesalahan metodologi, 3) kepentingan subyektif lembaga survey, dan 4) terjadi perubahan drastis perilaku pemilih. Apapun jadi penyebabnya KREDIBILITAS lembaga survey perlu dipertanyakan
Tidak salah menggunakan lembaga survey dalam pilpres, pileg, dan pilkada yang masalah adalah jika lembaga survey menggunakan metode statistik tidak sesuai dengan kaidah dasar penggunaan ilmu statistik yaitu KEJUJURAN, PROFESIONALISME, dan ETIKA lembaga survey
KEJUJURAN dibangun dg tdk merekayasa rancangan penelitian, pertanyaan, dan sampling utk menguntungkan pihak yg didukung dan sebaliknya. PROFESIONALISME dibangun bhw pelaksanaan sesuai kaidah2 penelitian uraian hasil survey tdk ada tambahan penafsiran di luar hasil
ETIKA dibangun dari kemampuan menjaga batasan profesi sebagai lembaga atau surveyor dan tidak merangkap sebagai konsultan politik. Ini penting sebagai cara untuk menjaga obyektifitas penggunaan metode statistik.
Sebagai penutup agar semua pihak menyadari pesan Guru Besar Ilmu Statistik IPB utk hindari berlindung BERBOHONG dibalik bungkus metode statistik dan pesan salah seorang PM Inggeris bhw salah satu sumber KEBOHONGAN bisa berasal dari statistik. Smg bermanfaat.
*) Mohammad Said Didu on Twitter @saididu4
Mantan Staf Khusus Menteri ESDM
Comment (0)