Menafsir Langkah Kuda Titiek Soeharto

Oleh  Zainal Bintang*

Manuver Titiek Soeharto diperkirakan akan merubah peta konstalasi politik mutakhir Indonesia. Memasuki tahun politik 2018 dan 2019 tak terhindarkan terjadinya persaingan tajam yang sering kali liar oleh ulah para relawan. Menarik dicermati seberapa jauh pengaruh manuver itu terhadap elektoral Golkar dan Jokowi pada Pemilu serentak 2019. Ucapan Titiek, tentang dirinya tidak dibutuhkan Golkar memantulkan sindiran dan kekecewaannya secara pribadi kepada petinggi Golkar.

Penundaan pelantikan dirinya sebagai  wakil ketua MPR RI  menggantikan Mahyuddin - meskipun menurut informasi SK (Surat Keputusan) nya sudah siap - membuat perasaan Titiek kurang nyaman. Pendukungnya menyebutnya penzaliman yang tidak beretika.

Keputusan Titiek Soharto tentu saja menimbulkan pro kontra. Bagi mereka yang  kontra dan apriori  terhadap  Orde Baru (Orba) menilai kepindahannya malah membebaskan Golkar dari beban tuduhan sebagai parpol Orba. Sementara masyarakat yang masih bersimpati kepada Soeharto menilai hengkangnya putri keempatnya itu dari Golkar sebagai perlawanan atas ketidak adilan.

Setidaknya ada tiga hal yang aktual dewasa ini yang berpotensi menggerus suara Golkar ke depan. Pertama, bangkitnya semangat basis pendukung Soeharto yang bersebaran di pedesaan – pedesaan yang jauh dari intrik politik. Kedua, kasus korupsi yang melilit kader, bahkan ketua umum Golkar kini di penjara Sukamiskin. Ketiga, konflik berkelanjutan diantara para petinggi di dalam tubuh Golkar, pertanda ketiadaan tokoh berpengaruh saat ini yang suaranya dapat dijadikan panutan. Besar dugaan inilah pintu masuk yang terbuka bagi Titiek Soeharto untuk bermain di luar Golkar dengan menawarkan kembali revitalisasi ketiga hal itu, yang copot dari Golkar kepada masyarakat.

Tercatat dalam sejarah, Soeharto disingkirkan oleh gerakan mahasiswa. Dipaksa turun tahta di tengah jalan setelah berkuasa 32 tahun. Mengumumkan sendiri pengunduran dirinya pada bulan Mei 1998. Terlihat pasrah dan tenang menerima putusan berat itu. Mungkin ketenangan itu karena latar belakang militer yang kental yang menempa hidupnya semasa revolusi kemerdekaan. Yang pasti hingga akhir hayatanya pada Januari 2008 Soeharto tidak mendapat hukuman dalam bentuk apapun dari pengadilan.

Rekaman video peristiwa pengunduran diri yang diputar berulang kali tiap tahun di televisi tanpa disadari mengubah pandangan sebagian masyarakat. Senang atau tidak senang hal itu diam – diam melahirkan simpati dalam senyap terhadap Soeharto. Ada rasa maaf yang dibalut rindu menyelinap bersama senyap itu. Sejak beberapa tahun ini, beredar di masyarakat meme atau baliho yang menampilkan foto Soeharto tersenyum sambil berucap : “Piye kabare. Penak jamanku tho”. Bahkan ditulis dengan huruf gajah lengkap dengan ilustrasi gambar di beberapa bak truk yang mondar mandir di jalan – jalan raya di seluruh Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Sumatera.

Ketika akhirnya Titiek terpilih sebagai anggota DPR RI pada 2014 – 2019, membuktikan betapa masih welcomenya masyarakat terhadap sosok Soeharto. Dia terpilih dari dapil (daerah pemilihan) Yogyakarta. Daerah kelahiran ayahnya. Di tempat mana Soeharto telah menoreh tindakan berani yang bersejarah. Memimpin Serangan Oemoem Yogya 1949 yang legendaris.

Adalah Aburizal Bakrie (ARB) ketika menjadi  Ketua Umum Golkar  yang membuka pintu bagi kiprah politik Titiek. ARB berasumsi dengan “menjual” nama Soeharto di balik nama Titiek, pasti bisa mendulang suara di daerah kelahiran ayahnya. Paling tidak bisa menahan penurunan perolehan suara akibat penggembosan yang agresif oleh beberapa parpol sempalan yang didirikan tokoh papan atas Golkar. Dan asumsi itu benar adanya. Titiek bahkan sempat memegang jabatan sebagai Wakil Ketua Komisi IV.

Serangan Oemoem II

Maka langkah kuda Titiek mengumumkan dirinya keluar dari Golkar yang dideklarasikannya di Yogyakarta pada hari Senin 11 Juni 2018, tentu bukan tanpa makna dan tujuan historis. Seorang teman pengamat militer berseloroh mengatakan tindakan Titiek itu sejenis Serangan Oemoem jilid dua kecil – kecilan. Bagaikan sebuah daur ulang keberanian. Tekadnya yang kuat tergambarkan melalui keputusannya yang bulat hengkang dari Golkar.

Selain meninggalkan Golkar, Titiek bahkan mundur dari Senayan sebagai legislator. Posisi prestisius yang diperebutkan ribuan orang.  Senayan selama ini dikenal sebagai Istana kenyamanan wakil rakyat. Yang bergelimang fasilitas. Yang memberi ruang legitimasi penjarahan uang negara (rakyat). Keputusan tersebut  memunculkan tiga hal secara bersamaan : (1). Berani meninggalkan partai besar, (2). Berani menjauhi Istana kenyamanan di Senayan dan (3). Berani memilih bersama rakyat berjuang dari nol. Titiek melangkah pasti bergabung dengan Partai Berkarya yang dipimpin adiknya Tommy Soeharto.

Banyak yang memperkirakan suara Golkar akan tergerus. Ada kekhawatiran perkiraan itu akan menjadi kenyataan jika petinggi Golkar tidak mawas diri dan tidak segera melakukan konsolidasi di semua lini. Jika benar suara Golkar tergerus, maka itu akan berakibat Golkar tidak punya daya sensualitas politik memberi kemenangan kepada Jokowi pada Pilpres 2019.

Sebagai politisi perempuan yang mulai meniti karier Titiek sudah tentu memiliki impian dapat berkiprah seperti Megawati, pemain tunggal politik nasional representasi trah Bung Karno. Titiek adalah penyandang  gelar Sarjana Ekonomi dari UI (Universitas Indonesia). Hidupnya ditempa oleh budaya militer yang tegas dan tangkas. Selain ayahnya seorang jenderal mantan suaminya pun juga jenderal. Dalam dirinya melekat trah Soeharto. “Saya anak biologis Soeharto”, kata Titiek mantap.

Titiek muncul sebagai elemen penguatan energi baru gender dalam perpolitikan Indonesia. Kini dia bergerak sebagai simbol citra eksistensi gender di  Indonesia. Hal inilah yang sangat disayangkan sementara kalangan, bahkan di internal kader Golkar sendiri. Alasannya, peluang Golkar menjadi pelopor kesetaraan gender terancam surut. Bisa saja Golkar merekrut tokoh politik perempuan yang lain, tapi dipastikan hasilnya akan beda.  

Konsolidasi Cendana

Konsolidasi keluarga Cendana hari – hari ini menarik untuk diperhatikan. Makin paten jika konsolidasi tersebut lahir sebagai paduan tekad, idealisme, jaringan, intelektualitas, keberanian dan finansial. Unsur ini  harus mereka penuhi untuk merubah jarum sejarah ke arah yang benar. Untuk tidak tersingkir lebih jauh ke pinggiran dunia perpolitikan.

Menariknya, karena mereka – keluarga Cendana itu - bangkit membangun diri sendiri tanpa restu dan dukungan dari Istana. Bahkan terlihat berseberangan dengan Istana. Sebuah pilihan yang mendebarkan. Namun yang pasti mereka menempuh jalur politik yang konstitusional. Bertarung memperebutkan suara rakyat. Berkompetisi mendulang dukungan melalui peta jalan yang disediakan demokrasi : Pemilihan langsung oleh rakyat.

Tekanan politik yang berkepanjangan pada akhirnya terlihat malah memperkuat mental keluarga Cendana : siap dan berani menghadapi rintangan. Sepertinya mereka telah pulih dari traumatik sejarah.

Boleh jadi ada benarnya ucapan sastrawan Amerika pemenang hadiah nobel Ernest Hemingway yang berkata : Courage is grace under pressure, “keberanian adalah anugerah di bawah tekanan”.

 (Diambil dari ceknicek.com)

*Zainal Bintang, wartawan senior dan anggota dewan pakar Partai Golkar

 

Related News

Comment (0)

Comment as: