•   Thursday, 25 Apr, 2024
  • Contact

Menolak Garis Keras Versi Mahfud MD

ISTILAH garis keras yang terlontar dari mulut mantan Ketua MK Prof. Dr. Mahfud MD terhadap beberapa daerah yang mendukung Prabowo-Sandi menuai kritik yang meluas.
______________________________________________
OLEH: NASMAY L. ANAS
______________________________________________
Banyak yang heran. Orang selevel Prof. Dr. Mahfud MD bisa senaif itu. Seakan-akan sang professor tidak mengerti perjalanan sejarah republik tercinta ini. Karena itu, banyak yang menolak istilah radikal itu.

Kita tak habis pikir, tentu saja. Kok bisa Prof Mahfud seceroboh itu? Apa sesungguhnya latar belakang yang membuat beliau mengeluarkan pernyataan seperti itu?
Sejauh ini, kita mengenal Mahfud MD, karena integritas dirinya. Sempat digadang-gadang akan jadi Cawapres Jokowi. Tapi pada detik-detik terakhir malah KH. Ma’ruf Amin yang terpilih. Sesuatu yang membuat sesak di hati, tentu saja. Tapi dengan begitu, plus jiwa besar yang diperlihatkannya di hadapan publik, membuat namanya semakin harum. Anggapan bahwa dia memiliki integritas yang kokoh semakin mengemuka.
Tapi kenapa tiba-tiba dia tersandung persoalan yang tidak semestinya terjadi?
Pernyataan ini karuan saja viral di media sosial. Jurnalis senior dan pemandu talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, Karni Ilyas, bahkan ikut menyanggah.
Melalui akun twitter miliknya, Karni mengatakan bahwa PRRI/Permesta bukan pemberontakan dengan ideologi agama seperti yang diungkapkan oleh Mahfud MD. Sebab, menurut dia, para pemimpin perlawannya Kol Simbolon (Medan), Letkol A.Husein (Padang), Letkol Ismail Lengah (Riau), Kol Kawilarang dan Lekol V. Samual (Sul-Ut). Semuanya tidak ada hubungannya dengan daerah Islam garis keras.
Menyoroti soal sebaran kemenangan Piplres 2019, sejatinya Mahfud MD tidak keceplosan. Tapi dia memang dengan sadar membahas soal daerah Islam dengan garis keras. Dalam tayangan Metro Pagi Primetime, Selasa (23/04/2019).
“Kalau melihat sebaran kemenangan, mengingatkan kita untuk lebih sadar, segera rekonsiliasi,” ujar Mahfud MD. “Karena saat ini kemenangan Pak Jokowi ya menang, dan mungkin sulit dibalik kemenangan itu dengan cara apapun. Tetapi kalau lihat sebarannya, di provinsi-provinsi yang agak panas, Pak Jokowi kalah,” sambungnya.
Lebih lanjut, mantan Menteri Pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu ungkapkan, “Dan itu, diidentifikasi tempat-tempat kemenangan Pak Prabowo, itu diidentifikasi dulunya dianggap dulunya sebagai provinsi garis keras. Dalam hal agama, misalnya Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan juga.”
Karena itu, sebagian kalangan mulai menduga-duga. Paling tidak, dengan pernyataannya itu, tersirat dua hal. Bisa jadi inilah tujuan dikeluarkannya pernyataan itu. Pertama, untuk memperlihatkan dukungannya terhadap Jokowi-Ma’ruf. Dengan mengatakan, Jokowi sudah menang. Padahal hasil real-count KPU masih jauh dari sempurna.
Sementara di media sosial berseliweran tudingan-tudingan tentang kecurangan yang terjadi. Soal DPT-DPT yang bermasalah. Soal input data di Situng KPU yang begitu banyak salahnya. Kesalahan-kesalahan berulang-ulang yang hanya menguntungkan O1 dan merugikan 02. Soal surat suara yang dicoblos sendiri oleh petugas. Soal penghilangan atau pencurian formulir C1 oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Soal hilangnya kesempatan pemilih untuk mencoblos disebabkan ketiadaan surat suara. Persoalan-persoalan yang sampai sekarang belum jelas jawabannya.
KPU menganggap remeh persoalan-persoalan itu. Sementara Bawaslu juga lamban bertindak. Soal input data di Situng KPU yang begitu banyak salahnya, KPU selalu berdalih “human error”. Kalau “human error”, itu berarti tidak sengaja. Tapi kalau terjadi ratusan bahkan ribuan kesalahan? Kesalahan yang selalu dan berulang kali hanya menguntungkan 01 dan merugikan 02. Apakah tidak mungkin disengaja?
Dengan begitu, apakah salah bila orang menduga, Mahfud MD punya maksud dengan pernyataannya itu. Sebagai orang yang dekat dengan kalangan istana, tentu dia tahu satu hal: Apa pun hasil di lapangan, Jokowi-Ma’ruf akan tetap dimenangkan. Dengan cara apa pun. Termasuk dengan segala bentuk kecurangan. Dus, dengan demikian, sebagai pendukung setia, dia bisa dapat jatah dalam pemerintah Jokowi yang akan datang. Sama seperti Kapitra Ampera, yang dengan vulgarnya minta jatah sebagai Jaksa Agung. Toh, dia juga manusia biasa. Toh, dia bukan malaikat.
Hal kedua yang tersirat dari pernyataan mantan Menteri Pertahanan di era Pemerintahan Gus Dur itu adalah upaya untuk menjatuhkan citra Prabowo-Sandi. Dengan mengatakan bahwa Paslon Nomor Urut 02 itu didukung oleh kalangan ulama maupun kelompok radikal. Pandangan ini akan selaras dengan tudingan bahwa Prabowo nanti akan mendirikan pemerintahan khilafah. Dus, dasar negara Pancasila nanti akan diganti dengan syari’at Islam. Tuduhan-tuduhan yang sedari dulu memang selalu dilontarkan oleh orang-orang yang phoby terhadap Islam.

Tidak Berdasarkan Kebenaran Sejarah
Sayangnya, sebagai seorang guru besar dan intelektual Islam, pernyataannya tidak didasarkan pada kajian-kajian ilmiah. Tidak berdasarkan kebenaran sejarah yang boleh terus digali.
Coba saja digali informasi dari Aceh. Mengapa Aceh kemudian memberontak, untuk tidak mengatakan memprotes kebijakan pemerintahan pusat Soekarno? Sastrawan kondang Ajip Rosidi, sebagai penulis buku “Syafrudin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah” mengungkapkan perkataan dan sikap pemimpin kharismatik Aceh, Teuku Daud Beureueh.  
Dijelaskan, di masa penjajahan Belanda, Sumatera merupakan sebuah propinsi secara keseluruhan. Dan Aceh ditetapkan sebagai sebuah kresidenan. Di era kemerdekaan, Sumatera  dibagi jadi tiga propinsi. Tapi Aceh digabungkan dengan Sumatera Timur dan Tapanuli, membentuk Propinsi Sumatera Utara. Hal ini membuat rakyat Aceh tidak senang. Mereka lebih suka mengatur daerahnya sendiri sesuai dengan syari’at Islam. Tidak digabungkan dengan Sumatera Utara yang banyak juga Nasraninya. Karena itu mereka menuntut propinsi sendiri. Jadi daerah khusus sebagaimana Yogyakarta.
Tapi Soekarno hanya janji-janji saja. Ketika Daud Beureueh minta dibuat perjanjian tertulis, Soekarno menangis terisak-isak. Karena sedih tidak dipercaya oleh orang yang dia panggil kakak. Buntutnya, 21 September 1953, Aceh menyatakan bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII), yang pada 1949 diproklamirkan oleh SM. Kartosuwirjo di Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa pemberontakan Aceh bukan karena radikalisme Islam, tapi karena ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintahan pusat di bawah Presiden Soekarno.
Hal yang sama diungkapkan Cornelis van Dijk dalam bukunya “Rebelion Under The Banner of Islam” (edisi Indonesia oleh Penerbit Grafiti Pers, dengan judul: Darul Islam, Sebuah Pemberontakan). Di dalam buku ini panjang lebar van Dijk juga menjelaskan tentang DI/TII, NII dan Kartosuwirjo. Tentang Kartosuwirjo sendiri. Latar belakang pendidikannya yang sekuler. Bukan pendidikan pesantren Islam yang banyak muridnya. Ini adalah buku berdasar kajian ilmiah. Merupakan disertasi untuk meraih gelar doktor oleh seorang warga asing, yang tidak peduli dengan merah atau hijaunya republik ini.
Apalagi tentang PRRI/Permesta. Sewaktu bekerja di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat, penulis pernah tanyakan langsung kepada Pak Natsir. Soal Masyumi. Soal dokumen-dokumen penting perjuangan partai Islam itu. Termasuk kaitannya dengan PRRI. Sangat disayangkan, begitu Pak Natsir, dokumen-dokumen penting itu banyak yang dimusnahkan oleh antek-antek Orde Lama. Orde pemerintahan yang sangat dekat dengan komunis.
Seperti diungkapkan van Dijk, PRRI/Permesta tidak mengklaim daerah-daerah tertentu dengan maksud memisahkan diri dari ranah Republik Indonesia. Sjafrudin Prawiranegara, Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan PRRI, berharap dengan melakukan tekanan-tekanan dari luar Jawa akan dapat menyadarkan Soekarno tentang bahaya “main-main” dengan komunis. Ketika itu Soekarno memang hendak menumpuk kekuasaan di tangannya sendiri, dengan bantuan komunis. Terlena dengan kekuasaan dan tidak peduli dengan tuntutan-tuntutan daerah.
Nah, bagaimana Mahfud MD bisa mengklaim daerah-daerah tertentu sebagai radikal? Hanya dengan melihat apa yang dia sebut pemberontakan daerah. Apalagi disebut Islam radikal. Dalam rapat terakhir pneggagas PRRI/Permesta di Sungai Dareh, sebelum mengultimatum pemerintah pusat, dari tiga penguasa daerah hanya dua yang hadir. Yaitu Kolonel Ahmad Hussein dan Letkol Ventje Sumual. Letkol Barlian yang diperkirakan akan membelot hanya mengirimkan wakilnya, Mayor Alamsyah Ratu Perwiranegara. Kenapa Mahfud MD tidak melihat nama-nama selain Natrsir dan Syafrudin dkk., yang terlibat dalam PRRI/Permesta, seperti: Ahmad Husein, Ventje Sumual, Rudolf Runturambi, Nun Pantouw, JF. Warow, DJ. Somba, Kawilarang dan lain-lain? Apakah mereka ini adalah para pejuang Islam, sehingga daerah-daerah yang menjadi basisnya disebut daerah Islam radikal?
Istilah radikal, ekstrim, militan, bahkan teroris belakangan ini jadi sangat sensitif. Sudah jadi momok bagi umat Islam. (*)

Nasmay L. Anas, wartawan senior di Bandung.

Related News

Comment (0)

Comment as: