Orang Minang Membangkit Batang Terandam

MEMBLUDAKNYA massa yang menghadiri kampanye Capres Prabowo Subianto di Padang, Sumatera Barat, Selasa (02/04) lalu menjadi catatan tersendiri bagi banyak kalangan.
______________________________________________
OLEH: NASMAY L. ANAS
______________________________________________Bukan berarti kampanye Paslon 02 itu di berbagai daerah lain tidak ramai. Tapi apa yang berlangsung di kota Padang itu benar-benar memperlihatkan gelombang baru pembangkangan rakyat terhadap pemerintah yang kini berkuasa.

Meski tidak mendapatkan pemberitaan yang sepatutnya dari media-media arus utama. Karena media-media itu sudah menjadi corongnya penguasa. Namun berita tentang kampanye Prabowo itu begitu viral di media sosial. Banyak orang memperbincangkannya.
Foto dan videonya bertaburan di mana-mana. Bagaimana orang Minang berhamburan datang dari berbagai kota dan pelosok desa. Dari kampung-kampung pedusunan dan ranah perantauan. Yang naik kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Yang kaya maupun miskin. Yang tua maupun muda. Semua berdesakan memadati lokasi kampanye di kawasan Danau  Cimpago, di pinggir laut Muaro yang indah di Kota Padang. Membuat tidak kurang dari 600 petugas polisi dikerahkan untuk melakukan pengamanan.
Melihat situasi dan kondisi yang ada dan suasana yang terbangun dengan sendirinya, buat saya, ini adalah gambaran falsafah hidup: “Orang Minang Mambangkik Batang Tarandam” (mengangkat batang kayu yang terendam).
Untuk membangun rumah di zaman lampau, orang Minang– umumnya pengantin baru – lazim membeli atau mengumpulkan kayu sedikit demi sedikit. Umumnya kayu yang bagus-bagus seperti kayu surian. Mungkin seumpama kayu jati yang diidolakan masyarakat di Jawa. Mereka menyebut kayu itu “batang”. Dan batang itu disimpan dengan cara direndamkan ke dalam air. Biasanya ke dalam kolam. Kayu-kayu yang bagus bukannya lapuk terendam air, tapi malah semakin bagus kualitasnya. Bila tiba waktunya membangun rumah, batang terendam itu pun dikeluarkan (umum menyebutnya membangkitkan). Untuk membangun rumah baru. Membangun kehidupan yang baru. Setelah melewati onak dan duri dari sulitnya mencari penghidupan.
Orang Minang yang memiliki akal sehat tentu dapat memahami apa yang saya maksud dengan perumpamaan di atas.  Mereka yang tidak ketularan dungu akan mampu memaknai istilah: “Alun takilek alah takalam”. Dapat membaca yang “tersirat” di balik yang “tersurat”.  Memahami pepatah: “Alam takambang jadi guru”. Belajar dari situasi dan kondisi yang dihadapi rakyat jelata saat ini.
Mengapa kampanye akbar Prabowo di kota Padang itu begitu gegap-gempitanya? Apakah karena orang Minang begitu cintanya kepada Prabowo? Atau, mungkinkah ada sebab lain yang membuat mereka berduyun-duyun datang, untuk menyaksikan kampanye akbar Prabowo itu?
Buat saya pribadi dan bisa jadi juga buat kebanyakan anak nagari Minang Kabau – yang faham akan falsafah adat dan budaya Minang Kabau, tentunya – situasi dan kondisi yang tercipta dalam kampanye akbar Prabowo di kota Padang itu merupakan sesuatu yang semestinya terjadi. Hal itu tentu saja disebabkan beberapa hal. Pertama, sikap dan budaya orang Minang yang egaliter, logis, setia kawan dan pemberani. Kedua, karena masyarakat Minang itu adalah etnis paling mandiri. Ketiga, karena melihat kepemimpinan yang tidak efektif di era rejim ini. Yang justru menyebabkan sulitnya mencari kehidupan. Keempat, karena pemimpin pembohong, yang membuat mereka tidak mempercayainya lagi. Di mata mereka, “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak akan percaya”. Pemimpin yang lupa kacang pada kulitnya.
Di sisi yang lain, masyarakat Minang Kabau adalah kelompok masyarat yang agamis. Tapi selain agamis, mereka juga melek politik. Umumnya di banyak masjid atau surau di Sumatera Barat, selalu ada kolam (orang Minang menyebutnya “kulah”). Tempat orang berwudlu. Di belakangnya ada barisan dari sejumlah jamban. Tempat orang buang hajat dan membersihkan diri. Lalu di depan kolam ada bangku-bangku panjang. Dari kayu maupu beton yang dilengkapi atap. Tempat orang duduk-duduk menunggu kumandang azan. Atau tempat bercengkerama seusai sholat. Dan umumnya yang jadi topik pembicaraan mereka adalah politik. Karena itu umumnya orang Minang peduli sekali dengan politik. Yang terdidik maupun yang tidak merasakan duduk di bangku sekolahan.
Dengan begitu, orang Minang tidak hanya kelompok masyarakat yang suka politik. Tapi juga sangat peduli urusan politik. Dalam batas tertentu bahkan bisa dibilang kecanduan politik. Karena itu mereka memiliki pandangan tersendiri tentang percaturan politik negara. Kebijakan-kebijakan yang diambil penguasa. Dan akibat yang ditimbulkan sejumlah kebijakan itu terhadap perikehidupan mereka. Sehingga mereka dapat menentukan apakah kepemimpinan yang sedang berlangsung itu baik atau tidak bagi mereka.

Kedudukan Pemimpin
Pemimpin dalam Perspektif Adat Minang Kabau sebenarnya cukup unik.  Kedudukannya hanyalah yang “didahulukan salangkah, ditinggikan seranting”.  Artinya, tidak terlalu jauh berjarak dengan mereka yang dipimpinnya. Lebih tepatnya lagi, seorang pemimpin di ranah Minang itu dekat dengan kaum yang dia pimpin.
Seorang pemimpin adat di Minang Kabau disebut penghulu. Sejak era Datuak Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Ketumanggungan tempo dulu, penghulu berfungsi sebagai pemimpin dalam kaum sukunya. Dia diangkat sebagai pemimpin untuk melindungi kepentingan anak kemenakan yang dia pimpin.
Karenanya kepemimpinan dalam sebuah negara haruslah untuk melindungi mereka yang dia pimpin dan negeri yang dia kelola. Sesuai bunyi pantun yang diajarkan turun temurun: “Pucuak paku kacang balimbiang. Ambieak tampuruang lenggang-lenggokkan. Bawo manurun ka saruaso. Tanamlah siriah di ureknyo – Anak dipangku kemanakan dibimbiang. Urang kampuang dipatenggangkan.  Tenggang nagari jan binaso. Tenggang sarato jo adatnyo”.
Artinya, seorang pemimpin haruslah dapat menyayangi generasi muda, menghormati kalangan tua, menjaga agar negeri ini jangan binasa dan memelihara adat yang jadi pegangan hidup bersama. Disebut adat, tapi di dalamnya termasuk agama. Sesuai slogan: Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. (Adat bersendikan syari’at agama dan syari’at agama bersendikan kitab suci Alqur’an).
Bila kita hubungkan dengan situasi dan kondisi saat ini, apakah kepemimpinan Jokowi-Kalla selama 4,5 tahun terakhir ini memenuhi harapan orang Minang? Ternyata sama sekali tidak memenuhi harapan itu. Dari sisi pribadi saja, orang Minang ingin pemimpin yang “takah, tageh dan berwibawa” (gagah sesuai dengan jabatan yang diembannya, tegas dalam menegakkan aturan dan berwibawa terhadap bawahannya).  
Ternyata semua ini tidak sesuai dengan kepribadian Jokowi. Dia tidak “takah”, karena seharusnya dia tampil gagah sebagai pemimpin. Semestinya dia hanya memberikan perintah. Blusukan bukan pekerjaannya tapi pekerjaan anak buahnya yang paling rendah. Di Ranah Minang, penghulu saja punya pembantu yang akan mengerjakan sejumlah pekerjaan. Ada yang disebut dubalang, manti, khatib, imam dan pegawai adat. Dan berkenaan dengan tageh, orang Minang umumnya tahu, Jokowi adalah petugas partai. Tak mungkin bersikap tegas. Begitu seterusnya.
Apalagi setelah 4,5 tahun berkuasa, pemerintahannya tak mampu “menyayangi generasi muda”, dengan memberikan mereka lapangan kerja yang banyak. Tidak pula dapat menghormati yang tua-tua, termasuk di dalamnya kaum ulama. Karena terbukti banyak ulama yang dilecehkan, bahkan dikriminalisasi. Tak bisa pula menjaga agar negara tidak binasa. Karena misalnya mencari hutangan yang terlalu banyak, membiarkan tenaga kerja Cina gerudugan masuk membanjiri negeri, dan beberapa kebijakan lainnya, yang dapat dikatakan mengancam keutuhan negara dan bangsa.
Terakhir, pemerintahan Jokowi juga tak mampu memelihara “adat” yang dalam benak orang Minang adalah juga agama. Karena begitu banyak orang di sekelilingnya yang menyuarakan agar pelajaran agama di sekolah-sekolah dihapuskan, kolom agama di KTP ditiadakan, suara azan akan diatur atau dilarang. Termasuk tuduhan-tuduhan terhadap umat Islam, seperti: ekstrimis,  teroris dan sebagainya. Dan di sekelilingnya dicurigai terdapat banyak tokoh Syi’ah, Ahmadiyah, kalangan sekuler, plural dan liberal, bahkan generasi muda PKI. Kelompok-kelompok penentang Islam yang tidak disukai kebanyakan orang Minang.
Saya kira, alasan mengapa kampanye akbar Prabowo di Padang begitu gegap gempita sejatinya bukan karena faktor Prabowo-Sandi semata-mata. Tetapi lebih dikarenakan sikap dan kebijakan pemerintahan Jokowi-Kalla yang mereka rasakan dampaknya dalam kehidupan. (*)

Catatan: Penulis adalah wartawan senior, domisili di Bandung, Jawa Barat.

Related News

Comment (0)

Comment as: