Diambang Kemenangan, Prabowo Tak Terbendung

SOLID dan membludaknya massa pendukung Prabowo-Sandi ini tentu sangat mengkhawatirkan. Jika dibiarkan kemenangan mereka hanya tinggal menunggu waktu.
_____________________________________________

Oleh : Hersubeno Arief
_____________________________________________


Memasuki kampanye terbuka hari ketujuh, Sabtu (30/3) kita sudah bisa mendapat gambaran siapa yang akan menjadi pemenang Pilpres 2019. Jika situasinya terus berlanjut sampai dua pekan ke depan, hampir dapat dipastikan laju Prabowo-Sandi sepertinya tak terbendung lagi.

Seperti diprediksi Litbang Kompas, rapat terbuka menjadi penentu. Militansi pendukung Prabowo-Sandi jauh lebih unggul di semua indikator.

Membludagnya massa kampanye di semua tempat yang dihadiri oleh Prabowo-Sandi, dan sepinya kampanye Jokowi-Ma’ruf menjadi pembeda yang nyata.

Di Dumai, Riau panitia terpaksa mendatangkan massa dari berbagai daerah untuk membuat kampanye yang dihadiri Jokowi terlihat ramai. Banyak indikasi bahwa massa yang hadir bukanlah pendukung paslon 01. Hal itu terlihat dari berderetnya puluhan bus dengan plat nomor dari luar daerah.

Ketika Jokowi dan istri melakukan selfi, di bawah panggung banyak yang mengacungkan salam dua jari. Seorang pemuda malah nekad naik ke atas panggung dan mengacungkan salam dua jari di depan Jokowi.

Dalam sebuah foto yang dimuat di situs lokal GoRiau.com terlihat seorang pemuda mengenakan kaos putih dan topi merah berdiri di atas panggung dengan salam dua jari. Seorang anggota Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) mencoba mencegahnya, sementara Jokowi dan istri terlihat asyik berselfie ria.

 

Foto tersebut beredar luas di medsos dengan caption “Foto terkeren abad ini!”. Anehnya tak ada satupun media nasional yang mengunggah berita ini. Setelah ditelusuri foto tersebut juga dimuat di situs gelora.co. Di situs lokal ini malah terlihat sejumlah orang juga mengacungkan salam dua jari persis di depan Jokowi dan Iriana.

Cawapres Ma’ruf Amin seperti telah diprediksi sebelumnya, lebih kesulitan lagi menarik massa pendukung. Kamis (28/3) ketika Jokowi melakukan kampanye terbuka di Kalimantan Timur dan Sulbar, Ma’ruf malah melakukan kunjungan ke pondok pesantren di Yogyakarta. Sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren tidak diperkenankan sebagai tempat kampanye.

Ada tiga pondok pesantren yang didatangi Ma’ruf di kawasan Bantul dan Sleman. Baru pada malam harinya Ma’ruf menghadiri kampanye terbuka di lapangan Lumbung Rejo, Sleman.

Dari foto-foto yang beredar, kampanye di Sleman itu sepi pengunjung. Ma’ruf baru mendapat sambutan yang meriah ketika menghadiri kampanye di Dinning Hall Jakabaring Sport City (JSC) Palembang, Jumat (29/3).

Situs berita sumsel.tribunnews.com melaporkan untuk membuat ramai kampanye Ma’ruf, panitia mendatangkan ribuan santri dari luar kota Palembang. Ketua TKN Erick Thohir juga hadir untuk memastikan acara berlangsung dengan lancar dan meriah.

Fenomena yang berbeda terlihat di seluruh kampanye Prabowo-Sandi. Mulai dari daerah-daerah yang diidentifikasi bukan basis pendukung Prabowo, sampai daerah yang menjadi basis pendukungnya, suasananya sama. Pecah.

Di Manado, Makassar, sampai Merauke di Papua, Prabowo disambut dengan gegap gempita. Begitu pula dengan Sandiaga yang berkampanye di Sorong, Papua Barat. Pada Pilpres 2014 daerah ini adalah lumbung suara Jokowi-Jusuf Kalla.

Di kota Bandung yang di kenal sebagai kandang Prabowo jangan ditanya lagi. Menggelar kampanye di lapangan Sidolig, Prabowo turun dengan tim lengkap. Semua petinggi partai pendukung hadir. Termasuk Agus Harimurti Yudhoyono mewakili SBY.

Di Kabupaten Bogor massa tetap membludag kendati tidak boleh menggunakan stadion Pakansari. Mereka terlihat sangat antusias dan rela berpanas-panas di areal parkir stadion.

Dua pemandangan yang sangat berbeda ini menunjukkan adanya fenomena massa mobilisasi versus massa partisipatoris.

Ciri-ciri massa mobilisasi hanya datang karena iming-iming mendapatkan imbalan. Mereka juga tidak militan, bahkan cenderung kontraproduktif seperti yang terjadi di Dumai. Massa cair ini juga bukan pemilih riil.

Sebaliknya massa partisipatoris sangat militan. Mereka rela datang dengan merogoh kocek sendiri, bahkan menyumbang dana kampanye.

Di Bogor Prabowo sampai tak bisa menahan haru karena sejumah buruh migran berpatungan memberikan sumbangan sebesar Rp 200 juta.

Fenomena yang sama juga terlihat di media sosial. Mesin pemantau percakapan Drone Emprit berkali-kali menyampaikan analisisnya. Akun pendukung paslon 01 banyak didominasi akun robot untuk memicu percakapan. Sebaliknya akun pendukun paslon 02 adalah akun riil. Akun robot hanya ramai di medsos, namun mereka tidak memilih.

Jangan terprovokasi

Solid dan membludaknya massa pendukung Prabowo-Sandi ini tentu sangat mengkhawatirkan. Jika dibiarkan kemenangan mereka hanya tinggal menunggu waktu.

Berbagai provokasi dilakukan. Mulai dari level akar rumput sampai pembentukan opini di media. Di sebuah video dua wanita tua pendukung paslon 02 di provokasi oleh sejumlah pendukung paslon 01. Sampai terjadi dorong-dorongan dan umpatan yang tak pantas.
Video ini tampaknya sengaja diedarkan untuk memicu kemarahan.

Menko Maritim Luhut Panjaitan melontarkan sebuah statemen ada yang ingin mengganti idiologi Pancasila melalui Pilpres 2019. Mantan Ketua BIN Hendropriyono malah lebih tegas lagi. Dia menyatakan Pilpres 2019 bukan pertarungan Jokowi-Ma’ruf vs Prabowo-Sandi, namun pertarungan kelompok pro Pancasila versus pro Khilafah.

Keluarnya jenderal senior seperti Hendropriyono dari sarang menunjukkan situasi sangat genting. Dia harus terjun langsung ke gelanggang menyelamatkan Jokowi. Sayangnya mereka melakukan dengan cara tak terpuji. Menggunakan isu yang memecah belah. Isu agama.

Melihat situasi seperti itu mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo sampai harus turun. Akun @gatot_nurmatyo Jumat (29/3) mencuit : “Jangan lupakan sejarah dan jangan mau dipecah belah sama orang2 yang haus kekuasaan !!!!”

Gatot juga meng-upload kliping berita lama yang memuat pernyataan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution saat menjadi Ketua MPRS. *“Isue tentang Negara Islam, Gerpol PKI/Orla Setjara Menipu Mempertentangkan Pantjasila dan Islam.*

 

Kendati tidak menyebut nama, sangat jelas kepada siapa cuitan Gatot ditujukan. Sejak masih aktif sebagai Panglima TNI, Gatot sangat getol menyuarakan bahaya laten PKI. Dia juga menginstruksikan agar markas-markas TNI di seluruh Indonesia menggelar nonton bareng Film Pengkhianatan G-30S/PKI setiap tanggal 30 September.

Gatot benar, sejarah mengajarkan kepada kita PKI mencoba meraih kekuasaan melalui cara-cara mengadu domba rakyat, dan umat beragama.

Pilpres adalah ajang demokrasi. Kontestasi antar-putra-putri terbaik bangsa. Kontestasi dan ajang adu gagasan untuk mensejahterakan rakyat. Bukan perang total. Apalagi perang ideologi.

Rakyat jangan terprovokasi. Jangan terpancing. Jangan tersulut dan masuk dalam skenario membuat kerusuhan.

Bila terjadi bentrok antar-anak bangsa, terjadi kekacauan, yang rugi kita semua. Pemerintah punya kekuasaan untuk menetapkan negara dalam situasi darurat. Mulai dari darurat sipil sampai darurat militer. Semua tahapan proses pemilu ditunda.

Demokrasi yang susah payah kita bangun, mundur ke belakang. Dibajak oleh kelompok-kelompok yang disebut oleh Jenderal Gatot Nurmantyo haus kekuasaan!

Mereka tega melakukan berbagai cara, untuk memenuhi hasrat berkuasa selama-lamanya. end
.

Sumber: www.hersubenoarief.com

Related News

Comment (0)

Comment as: