Sedihnya Ditinggal Sendiri

CEPAT atau lambat, Jokowi  tampaknya harus sadar diri. Bahwa saatnya akan pasti tiba, ditinggal sendiri oleh orang-orang yang selama ini dekat dengannya.
______________________________________________
OLEH: NASMAY L. ANAS *)
______________________________________________
Tanda-tandanya cukup banyak. Ketika orang-orang itu memilih. Atau, paling tidak, “dipilih” keadaan. Tepatnya terpaksa keadaan.

Yang “terpaksa keadaan” di antaranya adalah seperti yang dialami Ketua Umum PPP Romahurmuzy alias Romy. Berita teranyar dan viral tentang dirinya berlangsung hampir dua pekan silam. Setelah terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, di Surabaya, Jum’at (15/03/2019).
Sebelumnya, Romy adalah ketua umum partai yang dianggap paling dekat dengan Jokowi. Sering tampil bareng di berbagai kesempatan. Suka selfie bareng di atas pesawat kepresidenan. Sering cengar-cengir bangga duduk di samping sopir mobil kepresidenan RI-1, ketika presiden melemparkan sejumlah uang lewat jendela, kepada rakyat yang berebut memungutnya.  Pokoknya sering makan bareng, ngopi bareng dan bercanda bareng dengan pemegang tampuk pemerintahan RI itu.
Kini, Romy meringkuk di kandang situmbin KPK. Mengikuti mantan Menteri Sosial Idrus Marham, yang tidak kalah dekat dan sangat loyal kepada Jokowi. Sebagai Mensos,  Idrus sangat aktif dan agresif. Hampir tiada hari terbang ke luar kota, untuk menggelontorkan bansos pemerintah. Dengan berbagai program yang bertujuan membangun imij pemerintahan Jokowi. Sebagai pemerintah yang peduli rakyat kecil dan masyarakat pinggiran. Apalagi Jokowi memang menyiapkan anggaran tidak sedikit melalui Kemensos, untuk membangun citra positif.
Mengutip Patience Johnson: “In politics no permanent friends, no permanent enemies but permanent interest” (dalam politik tidak ada teman abadi dan musuh abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi), setiap orang tentu mesti menyadari bahwa pertemanan itu pada saatnya bisa berakhir. Disengaja maupun tidak. Disadari atau tidak, ada saatnya teman menjadi musuh. Atau, sebaliknya, musuh menjadi teman. Itulah fakta yang tidak terbantahkan dalam politik.
Salah seorang tokoh lain yang dipandang juga sangat dekat dengan mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu adalah Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Lulusan Akpol angkatan 1987 ini otaknya memang encer. Prestasi akademiknya luar biasa. Karir di kepolisian juga melesat cepat. Menjelang dilantik jadi Kapolri oleh Presiden Jokowi mulai 13 Juli 2116, dia adalah lulusan Akpol Angkatan 1987 tercepat yang meraih pangkat bintang empat.
Meski demikian, keputusan Jokowi menunjuknya sebagai calon tunggal Kapolri ditenggarai karena kesuksesannya membantu pemenangan Jokowi di Papua. Saat dia menjabat Kapolda Papua (2112-2114). Dan kedekatan itu begitu terkesan ketika menangani kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Bahkan beberapa waktu kemudian, tidak banyak yang meragukan kesetiaan Tito kepada Jokowi. Bagaimanapun, sejak awal Tito merupakan Kapolri yang dianggap mampu mengarahkan anak buahnya  untuk setia kepada Presiden Jokowi dan pemerintah yang sah.  Kesetiaan itu bahkan oleh Tito sendiri pernah digambarkan  sebagaimana kesetiaan Gajah Mada, yang terkenal dengan sumpah Satya Haprabu. Sumpah setia pada negara dan pimpinan.
Belakangan, apa daya, Jenderal Tito tampaknya memilih untuk lebih professional. Meski sebagian anak buahnya di berbagai daerah masih banyak yang terkesan memperlihatkan dukungan untuk Capres Petahana, namun salah satu putera terbaik “wong kito” Palembang itu telah mengingatkan jajarannya untuk netral. Bahkan dia mengancam akan memberikan sanksi tegas, jika ada jajaran kepolisian yang tidak netral.
Perkembangan ini terasa aneh. Sama anehnya ketika Wapres Jusuf Kalla (JK) juga disebut-sebut akan meninggalkan Jokowi. Terutama setelah banyak pengamat melihat perkembangan di Sulawesi atau Makassar khususnya. Indonesia Timur umumnya.
Ketika ditanya wartawan tentang keterlibatan adik bungsunya, Fatimah Kalla, dan keponakannya, Erwin Aksa, dalam mendukung kampanye Prabowo-Sandi, JK tak memberikan jawaban tegas. Dia hanya tertawa kecil dan mencoba menghindar. Tak dapat membantah bahwa kubu Jokowi yang dia bantu pemenangannya di Indonesia Timur pada 2114 ternyata mulai kehilangan peminat. Sementara kampanye Prabowo di lapangan Karebosi, Makassar, begitu pecah membludak.
Hal ini bukan hanya karena hadirnya klan Kalla di belakang Prabowo – Sandi. Tapi juga munculnya tokoh-tokoh berpengaruh lain seperti Mantan Gubernur Sulsel Mayjen TNI (Purn) Amin Syam dan mantan Rektor Universitas Hasanuddin Prof. Dr. dr. Idrus Paturussi. Tokoh-tokoh berpengaruh di Indonesia Timur itu kini merapat ke kubu Prabowo-Sandi.
Lalu bagaimana pula dengan kabar Menko Bidang Kemaritiman Indonesia Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan? Benteng terkuat pendukung Jokowi. Yang selalu siap menjadi bemper atau tameng Jokowi dari serangan siapa pun. Tak dapat dipungkiri, kini banyak pula orang mempergunjingkan berita telpon-telponan antara Luhut dan Prabowo. Ketika beberapa waktu lalu mantan Dubes RI untuk Singapura itu sedang berada di Amerika. Sebagai teman sesama militer dan kemudian sama-sama pengusaha, menurut Luhut, dia biasa telpon-telponan dengan Prabowo. Persoalannya, apakah ini tidak janggal?
Last but not least, bagaimana pula dengan sikap media massa? Sampai detik ini masih banyak media yang tidak berimbang pemberitaannya. Tapi ketika Litbang Kompas mengumumkan surveynya, yang dianggap cukup berimbang, orang pun cukup kaget. Pertanyaannya, apakah Kompas Gramedia grup akan merapat ke kubu Prabowo-Sandi? Yang pasti, Kompas adalah perusahaan surat kabar terbesar dan tertua di negeri ini. Yang selalu bisa menyelamatkan diri setiap kali terjadi gejolak politik maupun pergantian pemerintahan.
Orang pintar selalu mampu melihat ke depan. Merasakan arah angin. Tidak boleh berlindung di kain sehelai. Apalagi tetap bertahan di kapal yang segera karam. (*)

 

*) Penulis adalah wartawan senior, tinggal di Jakarta.

Catatan: Penulis adalah wartawan senior

Related News

Comment (0)

Comment as: