Jokowi Diambang Kekalahan
Hari ini Ahad ( 24/3) kampanye terbuka di mulai. Paslon 01 Jokowi-Ma’ruf melakukan start kampanye bersama di Serang, Banten.
Paslon 02 Prabowo-Sandi melakukan kampanye secara terpisah. Prabowo memulai kampanye di Manado, Sulawesi Utara dan dilanjutkan ke kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sandiaga Uno bertemu para pengusaha pemula dalam forum Young Entrepreneur Summit (YES) 2019 di Sragen, Jawa Tengah.
Kampanye terbuka berlangsung hingga 13 April akan sangat menentukan, siapa yang akan menjadi pemenang, dan siapa yang akan menjadi pecundang?
Litbang Harian Kompas menyatakan, mengingat selisih elektabilitas kedua paslon yang sangat tipis, rapat umum (kampanye terbuka) akan menjadi penentu. Siapa yang lebih berhasil melakukan konsolidasi dan mobilisasi massa, akan menentukan siapa yang menjadi pemenang pilpres.
Dari beberapa indikator yang disurvei dan jalannya kampanye kedua paslon, Litbang Kompas sesungguhnya sudah memberi gambaran yang cukup jelas. Siapa yang akan muncul menjadi pemenang? Jokowi-M’aruf sedang berada diambang kekalahan, kendati elektabilitasnya masih unggul.
Mengapa? Seperti apa jalannya kampanye sesungguhnya sudah bisa diprediksi. Litbang Kompas mendapati pendukung Prabowo-Sandi jauh lebih militan dibandingkan pendukung Jokowi-Ma’ruf.
Militansi pendukung inilah yang akan menentukan seperti apa jalannya kampanye terbuka. Karena itu hampir dapat dipastikan kampanye Prabowo-Sandi akan selalu pecah. Sementara kampanye terbuka Jokowi-Ma’ruf masih menjadi tanda tanya.
Ada enam indikator yang diukur sehingga Litbang Kompas sampai pada satu kesimpulan: Pendukung Prabowo-Sandi lebih militan!
Indikator pertama yang diukur adalah apakah responden selalu mengikuti informasi terkait pasangan capres-cawapres pilihan mereka. Hasilnya, pendukung Prabowo-Sandi lebih banyak dengan 61,4 persen, sementara pendukung Jokowi-Ma’ruf 57,9 persen.
Indikator kedua, apakah pendukung turut menyebarkan hal positif tentang capres-cawapres jagoan mereka. Hasilnya kembali menunjukkan keunggulan untuk pendukung Prabowo-Sandi sebesar 40,8 persen, ketimbang pendukung Jokowi-Ma’ruf 35,5 persen.
Ketiga, apakah pendukung akan membela jika ada informasi yang merugikan capres-cawapres jagoan mereka. Hasilnya, pendukung Prabowo-Sandi yang mengaku akan membela jagoan mereka berjumlah lebih banyak, yakni 36,1 persen, ketimbang Jokowi-Ma’ruf 34,3 persen.
Keempat, survei juga mengukur kesediaan pendukung untuk mengikuti kampanye capres-cawapres jagoan mereka. Hasilnya tetap sama, pendukung Prabowo-Sandi lebih banyak yang bersedia menghadiri kampanye dengan jumlah 21,7 persen, adapun pendukung Jokowi-Ma’ruf hanya 15 persen.
Kelima, apakah pendukung bersedia untuk memberi sumbangan materi berupa uang atau barang. Pada indikator ini, pendukung yang bersedia menyumbangkan materinya mengerucut jumlahnya, namun tetap menunjukan keunggulan pada Prabowo-Sandi. Pendukung Prabowo-Sandi yang rela menyumbangkan materinya mencapai 8,3 persen, sementara pendukung Jokowi-Ma’ruf 5,9 persen.
Keenam, apakah para pendukung bersedia mengajak orang lain memilih paslon yang mereka dukung. Hasilnya, pendukung Prabowo-Sandi lebih besar dengan 27 persen, dan pendukung Jokowi-Ma’ruf 23,8 persen.
Dari enam indikator tadi, indikator keempat sangat menentukan seberapa besar pendukung yang akan hadir pada kampanye terbuka. Perbedaannya sangat signifikan. Pendukung Prabowo-Sandi jauh lebih antusias. Ada selisih sebesar 6,7 persen.
Survei ini menjelaskan mengapa dalam setiap kampanye Prabowo, massa pendukung yang hadir selalu membludag, tumpah ruah. Sebaliknya masa pendukung Jokowi sering sepi. Sampai-sampai harus melakukan pengerahan massa menggunakan aparatur negara (ASN, polisi).
Perbandingan massa kampanye antara Sandiaga Vs Ma’ruf malah lebih njomplang. Sandiaga selalu disambut eforia. Ma’ruf beberapa kali terpaksa membatalkan kampanye karena pengunjung sangat sepi.
Perpaduan antara rendahnya militansi dan hilangnya pesona Jokowi menjadi penyebab mengapa publik enggan menghadiri kampanye. Sementara Ma’ruf sama sekali tak punya daya tarik yang bisa menyedot pendukung.
Untuk kampanye pertama yang berlangsung di kampung halaman Ma’ruf, Ketua TKN Erick Thohir sampai harus bersusah payah turun tangan. Erick terlihat hadir dalam kampanye PDIP yang digelar di alun-alun Kota Tangerang, Ahad pagi. Dia kemudian meminta massa pendukung PDIP untuk bergeser ke lapangan Ciceri, Serang tempat Jokowi-Ma’ruf akan menggelar kampanye.
Selain Tangerang, TKN juga mengerahkan massa dari Cilegon. Mayoritas adalah pendukung PDIP. Kampanye perdana ini menjadi pertaruhan bagi TKN seberapa besar mereka berhasil memobilisasi massa. Mereka juga tidak ingin dipermalukan di kampung halaman Ma’ruf.
Prabowo memulai kampanye lebih awal di Manado dikejutkan dengan antusiasme warga. Di kampung halaman ibunda Prabowo ini BPN tidak terlalu memasang target tinggi.
Mereka menyadari Manado adalah basis pendukung PDIP dan Jokowi. Pada Pilpres 2014, Jokowi-Jusuf Kalla memperoleh 58,77 persen. Sedangkan pasangan Prabowo-Hatta 41,23 persen. Namun sepanjang jalan menuju lapangan Ternate Baru, Manado massa menyambutnya dengan antusias.
Sambutan yang jauh lebih meriah terjadi ketika Prabowo menggelar kampanye terbuka di lapangan Karebosi Makassar. Massa tumpah ruah. Dia didampingi oleh pengusaha Erwin Aksa, keponakan Wapres Jusuf Kalla.
Makassar sebelumnya bukan kota yang ramah bagi Prabowo. Pada Pilpres 2014 Prabowo-Hatta kalah telak dari pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Di kota Makassar Prabowo hanya mendulang 29, 43 persen. Jokowi memperoleh 70, 53 persen.
Militansi pendukung ini juga menjelaskan mengapa elektabilitas Jokowi turun dan elektabilitas Prabowo naik. Dibandingkan dengan survei bulan Oktober 2018, Jokowi turun 3,4 persen, Prabowo naik 4,7 persen.
Faktor lain yang juga sangat berpengaruh adalah angka mereka yang memutuskan tidak memilih alias golongan putih (Golput). Kubu Jokowi dihantui banyaknya pendukung yang tidak akan memilihnya kembali.
Membalikkan situasi
Apakah Jokowi dan pendukungnya bisa membalikkan situasi dalam waktu yang tersisa? Bila melihat militansi pendukungnya agaknya sangat sulit. Jokowi juga tidak bisa mengandalkan dukungan parpol pendukungnya.
Parpol pendukung Jokowi mulai dilanda perpecahan dan saling serang. PDIP dan Golkar terlibat ribut-ribut dengan PSI, PPP juga terlibat perang mulut dengan PKB.
Selain konflik internal, parpol pendukung juga fokus menyelamatkan elektabiltas masing-masing. Beberapa partai seperti PSI, Perindo, dan PPP diprediksi tidak akan lolos parliamentary threshold. Boro-boro berpikir mendongkrak elektabilitas Jokowi. Mereka fokus menyelamatkan diri masing-masing.
Jokowi juga sangat sulit berharap bisa mengandalkan mesin birokrasi dan lembaga kepolisian, seperti yang selama ini dicurigai. Eksperimen yang dilakukan oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo terbukti gagal.
Ahad (17/3) Ganjar menggelar Apel Kebangsaan di alun-alun Simpang Lima, Semarang. Dengan menggunakan APBD Rp 18 miliar, dia memerintahkan para kepala daerah untuk mengerahkan massa. Sejumlah artis top ibukota termasuk Group Band Slank dihadirkan. Namun acara dukungan kepada Jokowi berkedok apel kebangsaan itu gagal.
Polisi juga menunda/menghentikan kegiatan Millenial Safety Road Festival di berbagai kota, dengan alasan menjaga kondusivitas pemilu. Sebelumnya ajang ini dicurigai merupakan kampanye terselubung bagi Jokowi.
Kapolri sejak Jumat (22/3) mengeluarkan surat edaran netralitas Polri dalam setiap tahapan pemilu. “Dilarang berfoto atau selfie di medsos dengan gaya mengacungkan jari telunjuk, jari jempol, maupun jari membentuk huruf V yang berpotensi digunakan oleh pihak tertentu untuk menuding keberpihakan atau ketidaknetralan Polri,” tulis surat tersebut.
Anggota Polri juga dilarang untuk menghadiri, menjadi pembicara atau narasumber pada kegiatan deklarasi, rapat, kampanye, pertemuan politik, kecuali melaksanakan pengamanan yang didasari oleh surat perintah tugas.
Personel juga diminta untuk menghindari tindakan kontra produktif dan tetap menjaga kepercayaan masyarakat kepada Polri dalam menjaga dan mengawal berlangsungnya Pemilu 2019 yang aman, sejuk, dan sukses.
“Hindari pelanggaran anggota sekecil apapun yang dapat berdampak pada penurunan citra Polri. Tingkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan anggota di lapangan,” demikian instruksi Kapolri.
Kombinasi lemahnya militansi pendukung, kocar-kacirnya parpol pengusung, tidak efektifnya birokrasi pemerintah sebagai mesin pemenangan, dan ditegaskannya Polri menjadi lembaga yang netral, semakin mempesempit ruang gerak Jokowi.
Semua itu merupakan tanda-tanda yang sangat kuat, bahwa Jokowi diambang kekalahan. end
Sumber: www.hersubenoarief.com
Comment (0)