Pembela Islam versus Bukan Pembela Islam
Walaupun suasana seperti itu dirasakan sebagian pemilih, terutama umat Islam, namun penegasan tentang hal itu justru datang dari kubu Jokowi sendiri. Di antaranya, seperti disampaikan Anggota Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo - Ma'ruf Amin, Surya Paloh.
Pemilik Media Indonesia grup itu antara lain mengemukakan hal itu di hadapan relawan Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi - Ma'ruf provinsi Sumatera Selatan, di kantor TKD Sumatera Selatan, di Palembang, Ahad, 3 Maret 2019. Seperti dilansir Tempo.co (MINGGU, 3 MARET 2019 19:08 WIB).
"Dan sekarang kita didorong terus bahwa pemilih-pemilih Jokowi itu adalah pemilih yang sifatnya bukan pembela agama Islam. Ini menurut saya sudah menjungkirbalikan keadaan," tuturnya.
Tentu semua faham, hal itu dikemukakannya dengan maksud untuk menggenjot semangat para relawan Jokowi-Ma’ruf. Agar bekerja lebih giat lagi. Agar memaksimalkan semua potensi, sehinga kemenangan dapat diraih.
Tidak ada yang salah dengan hal itu, tentu saja.
Tetapi –– kekuatiran Paloh dengan ungkapan kata-kata “beberapa konsekuensi jika paslon nomor 01 itu kalah dalam pilpres 2019”, justru semakin mempertegas sikap panic dan kekuatiran berlebihan akan kalah. Apa yang oleh sebagian orang dianggap masih samar-samar sekarang dia perlihatkan ke permukaan secara terang benderang.
Pertama, bahwa kelanjutan progres pembangunan yang sedang dijalankan pemerintah Jokowi tidak akan berlanjut. Karena mungkin (paslon lain) beda konsep, lain pandangan, lain pikiran, sehingga melahirkan lain kebijakan.
Kedua, seperti dituturkan Paloh sendiri, saat ini tengah terjadi pertentangan antara pemilih Jokowi dan bukan pemilih Jokowi. Pertentangan itu, kata dia, sudah sarat dengan politik aliran yang menekankan perbedaan suku dan agama di tengah-tengah masyarakat.
Pernyataan Surya Paloh itu tak pelak tentu melahirkan beberapa pertanyaan. Pertama, apakah pendiri dan pucuk pimpinan Partai Nasdem itu, sebagai salah satu pengusung Paslon 01, tidak lagi yakin akan menang? Dengan kata lain, apakah dia sudah melihat adanya tanda-tanda akan kalah? Kedua, benarkah pertarungan kedua kubu sekarang ini adalah pertarungan antara pembela Islam dan bukan pembela Islam?
Dalam kesempatan yang sama, Paloh juga mengemukakan, ideologi Pancasila telah memberikan mandat agar warga negara harus saling menghargai perbedaan. Ia berujar, perbedaan bukanlah sebuah kelemahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun justru cakrawala keindahan yang mencerminkan bersatunya perbedaan-perbedaan.
"Kita bukan berbicara mengenai perbedaan agama hari ini. Kita membicarakan perbedaan konsep, gagasan, pikiran, dan ide. Bagaimana untuk lebih memajukan bangsa ini?," kata Surya Paloh.
Seyogyanya kita bersatu dalam perbedaan-perbedaan yang ada. Sesuai semboyan kehidupan berbangsa dan bernegara kita: Bhineka Tunggal Ika. Yang mengajarkan, walaupun berbeda suku dan latar belakang, namun kita tetap satu sebagai bangsa Indonesia. Karena itu, tidak perlu kuatir bahwa segala perbedaan itu akan membuat kita terpecah belah.
***
KEKUATIRAN di atas seolah memperlihatkan orang yang dikejar bayang-bayangnya sendiri. Karena apa yang dia kuatirkan itu belum tentu terjadi seperti yang berkelebat di dalam benaknya itu.
Seorang pemimpin – termasuk Prabowo Subianto, jika seandainya nanti terpilih menggantikan Jokowi – tentu tidak akan begitu saja membuang program-program pemerintah yang dianggap baik. Hanya karena tidak suka. Hanya karena program itu berasal dari pendahulu alias lawannya. Dengan kata lain, yang baik tentu akan dilanjutkan. Yang kurang baik akan diperbaiki atau diganti dengan program yang lebih baik.
Semestinya, seorang presiden adalah negarawan. Dan seorang negarawan adalah pemimpin yang diharapkan mampu membawa bangsa ini menuju kehidupan yang sejahtera. Yang berkemajuan, berkeadilan dan berprikemanusiaan. Dia harus terbebas dari pikiran-pikiran picik yang tidak berlandaskan sikap dan prilaku yang bijak layaknya seorang negarawan pemimpin bangsa. Hanya karena tidak suka, dia lantas membuang semua program pendahulunya. Lalu menggantinya dengan program lain yang belum tentu lebih baik. Apakah hal ini bisa dibenarkan?
Di samping itu, tentu perlu dipertanyakan, apakah semua program dan kebijakan yang dijalankan petahana sekarang ini layak dipertahankan? Tentu perlu pengkajian yang mendalam. Dengan harapan, benar-benar memberikan kemaslahatan bagi rakyat banyak. Tidak hanya sekadar menghapus dan mengganti seluruh program pemerintahan terdahulu.
Kebijakan tentang pemberian kemudahan bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk bekerja di negeri ini, misalnya. Apakah patut dipertahankan?
Sebelumnya, menurut sumber-sumber yang layak dipercaya, pemerintah dan DPR sudah sepakat melindungi tenaga kerja kita. Artinya, perlu dilakukan upaya untuk memperketat aturan bagi TKA untuk bekerja di Indonesia. Tujuannya tidak lain untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja kita sendiri.
Tapi sikap dan kebijakan pemerintah ternyata berbeda. Dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), pemerintah memberikan kemudahan begitu rupa kepada TKA untuk bekerja di negeri ini. Meskipun dikuatirkan melanggar sejumlah peraturan dan perundang-undangan, tapi gerudugan TKA seperti tak tertahankan. Terutama dari Cina.
Sementara itu, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2017, menunjukkan angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,04 juta. Artinya, ada penambahan jumlah pengangguran 10.000 orang dalam setahun terakhir.
Karena itu, Wakil Ketua Komisi V DPR dari Fraksi PKS, Sigit Sosiantomo, menyesalkan sikap pemerintah yang mempermudah TKA bekerja di Indonesia. Sigit menilai, seperti dilansir Kompas.com - 11/04/2018, perpres tersebut berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan. Di antaranya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Jaskon), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran.
Menurut Sigit, hasil survei BPS dan riset Core sudah cukup membuktikan bahwa Indonesia masih butuh banyak lapangan kerja untuk rakyat. Apalagi, dari 121 juta penduduk yang bekerja, 69,02 juta orang atau 57,03 persen penduduk bekerja di sektor informal.
"Ini sangat menyakitkan hati rakyat jika justru lapangan kerja baru diberikan kepada TKA. Seharusnya, pemerintah lebih fokus meningkatkan daya saing pekerja Indonesia sehingga bisa terserap di berbagai lapangan kerja. Bukan sebaliknya, mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif," tutur Sigit.
Pertanyaan kita, apakah kebijakan yang tidak pro-rakyat seperti itu masih harus dipertahankan? Begitu juga kebijakan impor barang yang berpotensi mematikan sumber-sumber ekonomi rakyat banyak. Apakah masih perlu dipertahankan?
***
BAGI umat islam, persoalan paling pelik yang dihadapi anak bangsa saat ini bukan hanya program-program dan kebijakan yang tidak pro-rakyat. Tapi juga sikap “lempar batu sembunyi tangan” seperti yang diungkapkan Paloh. Menurut Paloh sekarang terjadi penjungkirbalikan fakta. Bahwa pemilih-pemilih Jokowi itu adalah pemilih yang sifatnya bukan pembela agama Islam. Kalau begitu, mafhumul mukhalafah-nya adalah bahwa pemilih Prabowo adalah pembela Islam.
Kalau pendiri Partai Nasdem ini mau melihat dengan jernih, tentu dia dapat memahami mengapa timbul anggapan seperti di atas. Pertama, sikap pemerintahan Jokowi yang secara tidak langsung terhadap Ahok. Tepatnya ketika mantan Gubernur DKI Jakarta itu menghadapi kasus pelecehan agama. Ketika umat Islam menuntut agar Ahok, sebagai tersangka penista agama, segera ditahan. Tapi pemerintahan Jokowi terkesan memberikan perlindungan. Sehingga jutaan umat dari seluruh penjuru tanah air, gerudugan datang ke Jakarta dan berkumpul di Monas pada waktu yang sama. Untuk memperlihatkan pembelaan mereka terhadap agama mereka yang dilecehkan. Dalam gerakan yang lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Bela Agama 411 dan 212.
Kedua, bukan rahasia lagi bahwa di belakang rejim ini berkumpul mereka yang memusuhi Islam. Atau, paling tidak, tidak suka dengan perkembangan dan kemajuan Islam. Di antaranya, mereka yang berpaham komunis, syi’ah, ahmadiyah, pendukung LGBT, termasuk juga kaum sekuler, liberal dan lain-lain. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarno Putri, yang berulang kali mengatakan Jokowi sebagai petugas partai, misalnya, adalah orang yang masih mempertahanyakan adanya hari akhirat, yang dia sebut dengan istilah “masa depan”.
Selain itu, di antara politisi PDI-P, ada Ribka Ciptaning. Penulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Begitu juga Rieke Diah Pitaloka, yang dengan arogan mengatakan, “Memang saya PKI. Kenapa? Ada yang Salah?” Lalu ada pula Jalaludin Rahmat, yang dikenal sebagai tokoh Syi’ah nomor satu di republik ini. Yang mengaku menjadi anggota dewan dari PDI-P untuk melindungi gerakan syi’ah. Dan jangan lupa dengan Musdah Mulia, yang mengatakan agama itu fiktif. Dongeng sebelum tidur. Karenanya pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah dihapuskan saja.
Terlalu banyak nama untuk disebutkan satu per satu di belakang rejim ini, yang berseberangan dengan kepentingan Islam dan umatnya. Yang menginginkan agar suara azan dilarang. Agar kegiatan umat di masjid-masjid “dikebiri”. Untuk tidak membahas masalah politik.
Di era kekuasaan rejim inilah banyak ulama dilecehkan. Bahkan dicelakai. Umat Islam tidak hanya diadu-domba dengan kalangan non-muslim. Tapi juga dengan sesame muslim sendiri. Karena itu, suatu yang lumrah bila umat Islam memandang bahwa rejim ini bukan pembela Islam. Yang terjadi justru sebaliknya.
Kesepakatan anak bangsa dengan semboyan “bhineka tunggal ika” semestinya sudah final. Dalam kitab suci Alqur’an Surah Alhujurat 13, Allah berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Comment (0)