Tuan dan Nyonya Pers Itu Sudah Mati (3-habis)
DULU, saya termasuk yang begitu cepat percaya bahwa perkosaan massal terhadap amoy-amoy itu benar adanya. Karena itu saya berpikir, para pelaku itu sungguh biadab.
________________________________________
OLEH: NASMAY L. ANAS
________________________________________
Perkosaan – apalagi perkosaan massal – itu lebih jahat dari pada pembunuhan. Ia tidak membuat orang mati. Tapi itu membunuh kehormatan dan harga diri kaum wanita. Membunuh kebahagiaan dan masa depan mereka. Dan lebih dari itu, membunuh kehormatan bangsa sebagai bangsa yang beradab. Sebab itu, siapa pun pelakunya harus diusut. Harus dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.
Tapi setelah sekian lama, tidak ada yang mengusut tuntas. Tidak ada juga korban – dalam pengertian massal – yang mengajukan tuntutan. Bisa jadi mereka malu. Tapi kalau dalam pengertian massal, masak iya tidak ada yang tidak malu? Yang berani menuntut agar kejahatan itu dibongkar sampai ke akar-akarnya. Para aktifis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) pada kemana? Apakah ini tidak merupakan bagian dari “proyek” kalian?
Dan kaitannya dengan bahasan kita, yaitu pers, kemana juga mereka? Tidak ada yang menginvestigasi. Tidak ada yang mencoba mendalami. Di zaman lampau, masih ada wartawan yang bersemangat melakukan investigasi. Apalagi untuk kasus-kasus besar seperti ini. Yakni, ketika media masih bertuhankan kepentingan publik. Tapi ketika bertuhankan kepentingan perut masing-masing, takut akan dipecat karena tidak sejalan dengan kemauan para pemilik media, investigasi menjadi satu “hil yang mustahal”, meminjam istilah komedian Srimulat.
Sementara itu, dalam beberapa hari belakangan ini, kita menyaksikan polemik antara Menko Polhukam Wiranto dan mantan Kepala Staf Kostrad Kivlan Zein. Mereka saling tuding soal dalang kerusuhan 1998. Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam menilai perdebatan antara kedua jenderal purnawirawan TNI Angkatan Darat itu tidak elok. Apalagi bila hanya jadi berita dari media-media partisan. Sebagai konsumsi publik menjelang pemilu.
Menurut Choirul Anam, alangkah baiknya persoalan itu dibawa ke narasi penegakan hukum. Dan hemat kita, dalam hal ini termasuk juga kasus penculikan aktifis pro demokrasi. Harus dibuka secara transparan. Dibawa ke ranah hukum. Siapa pelakunya dan siapa yang memerintahkannya. Supaya tidak jadi fitnah. Fitnah yang tidak pernah berakhir. Sehingga kita tidak pernah bisa keluar dari momok persoalan yang memang dibiarkan menggantung.
“Perdebatan pak Wiranto dan pak Kivlan Zein mengenai apa yang terjadi pada 1998, baik terkait kasus Mei 98 ataupun Trisakti, Semanggi I dan II, siapa yang bertanggung jawab, lebih baik diletakkan dalam narasi penegakan hukum,” kata Anam di Jakarta, Sabtu (2/3/2019), seperti dilansir okezone.com.
Persoalannya, lagi-lagi apa yang berlangsung selama ini tetap saja membingungkan. Upaya penegakan hukum atas kasus-kasus yang belum lama terjadi tetap jauh panggang dari api. Apalagi kasus-kasus yang sudah berlangsung puluhan tahun. Seperti kasus kerusuhan 1998, Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, penculikan aktifis pro demokrasi, perkosaan massal, termasuk pembunuhan pejuang HAM Munir Said Talib. Persidangan kasus-kasus itu bukan hanya jalan di tempat, tapi bahkan ada yang tak tersentuh.
***
KEMBALI ke soal pers. Apakah ada media yang menginvestigasi kasus-kasus itu, sehingga melahirkan benang merah yang dapat ditindaklanjuti pihak berwenang? Semua itu kini serba menggantung. Mengharapkan pers memainkan perannya dalam mengorek dan membongkar kasus-kasus itu tidak ubahnya seperti “punguk merindukan bulan”.
Sebenarnya tehnik investigasi yang telah dikembangkan kalangan wartawan di Amerika Serikat sejak satu abad silam juga dikuasi sejumlah wartawan kita. Hasil investigasi majalah berita mingguan Tempo terhadap kasus mega korupsi Hambalang dan kasus plesiran napi koruptor di luar penjara Sukamiskin Bandung, misalnya, adalah bukti nyata. Sejumlah kasus lain juga pernah terungkap karena hasil investigasi wartawan dan diekspos beberapa media tanah air.
Hal ini secara tehnis membanggakan. Sayangnya, sebagaimana upaya penegakan hukum, wartawan maupun media juga “tebang pilih”. Menginvestigasi kasus-kasus tertentu dan membiarkan kasus-kasus tertentu lainnya tidak terungkap.
Di era Orba tantangan terberatnya adalah kekangan kekuasaan. Di era reformasi, rintangan terberatnya adalah kebijakan redaksi yang terkungkung “kemauan” para taipan pemilik media. Walaupun tehnik ini terus berkembang dan banyak jurnalis yang mampu melakukannya, namun hal itu bisa jadi tidak baik bagi fokus bisnis para konglomerat pemilik media.
Apalagi jurnalisme investigative membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Tidak banyak wartawan yang siap menjalani kegiatan investigasi yang lama, biaya yang besar dan “ancaman” bagi keselamatan dirinya. Terutama karena kegiatan investigasi bisa jadi akan berhadapan dengan pelaku pelanggaran hukum maupun orang kuat yang mungkin terkena imbas kegiatan itu.
Di situlah kita katakan bahwa media juga terperangkap dalam kegiatan “tebang pilih” berita. Apalagi di saat-saat genting menjelang pemilu seperti sekarang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar media mainstream alias arus utama adalah milik para taipan pendukung Paslon 01. Karena itu media-media yang bersangkutan lebih suka mengekspos berita-berita yang menguntungkan Paslon 01. Dan menutup rapat-rapat berita-berita yang menguntungkan Paslon 02. Sebaliknya berita yang menjelek-jelekkan Paslon 02 justru diekspos besar-besaran. Setiap detik, setiap menit, seolah tanpa jeda.
Di antara berita-berita berdampak negative terhadap Paslon 02, antara lain, soal tuduhan Prabowo terlibat penculikan aktifis pro demokrasi dan keterkaitannya dengan Rejim Orba Soeharto. Betapa pun Prabowo adalah mantan menantunya Soeharto. Hal ini terus diekspos luar biasa. Sementara hal-hal yang menguntungkan Paslon 02, seperti beberapa kali Aksi Bela Islam dan Ulama 212, yang menghadirkan jutaan umat Islam di Monas, sama sekali tidak porsi pemberitaan yang sepatutnya. Tak dapat dibantah bahwa berkumpulnya jutaan massa Islam di Monas itu menunjukkan pembelaan mereka terhadap ulama dan persatuan Islam. Sekaligus pembelaan mereka terhadap perasaan umat Islam yang tak henti dilecehkan selama berada di bawah rejim ini. Sehingga mereka bersatu padu untuk menyuarakan agar rejim yang berkuasa itu berganti. Dari sisi jurnalistik, apakah tidak layak berita kejadian Aksi dan Reuni 212, yang menghadirkan jutaan orang untuk satu tujuan yang sama di Monas?
Dengan begitu media-media dimaksud telah menghilangkan peran pentingnya dalam memenuhi hak publik untuk mendapatkan informasi. Hal ini sungguh menyedihkan. Menyedihkan kita semua sebagai insan media. Ketika teknologi media yang dimiliki anak bangsa semakin canggih, kita justru terjebak dalam hambatan dan rintangan yang sepenuhnya tidak kita duga. Kita hanya bisa meratap. Meratapi sesuatu yang tak mungkin kembali seperti yang kita suka. Ibarat setangkai bunga. Ia kini meranggas di atas tanah yang basah. Karena ada orang yang ingin menggantinya dengan tanaman berduri. (HABIS)
Comment (0)