Tuan dan Nyonya Pers itu Sudah Mati (1)
SEBEGITU jahatnyakah Orde Baru itu? Tidak adakah yang dapat dipandang sebagai sesuatu yang positif bagi kemaslahatan hidup seluruh anak bangsa? Dapatkah anda membandingkannya dengan situasi yang dihadapi bangsa saat ini?
Terus terang, dalam beberapa hal saya juga tidak suka Orba. Terutama karena kekangan system politik militeristiknya yang begitu kuat. Begitu mengekang kebebasan banyak orang. Karena itu, hemat saya, menarik sekali tulisan sahabat saya Yulfarida Arini di Facebook beberapa hari lalu. Ketika mantan wartawati Harian Jawapos itu memotret situasi di zaman Orba dari sisi jurnalistik. Dari pandangan seorang wartawati yang pernah merasakan suasana berkarir di media massa di era Orba. Lalu membandingkannya dengan era sekarang.
Bicara sebuah orde pemerintahan tentu tak mungkin kita menghindar dari bicara tentang leadership orang yang berkuasa saat itu. Karenanya, bila bicara tentang Orba tentu kita harus bicara tentang mantan Presiden Soeharto. Sosoknya, kiprahnya dan legacy yang dia tinggalkan di belakangnya. Setelah 32 tahun menguasai pucuk pimpinan negara ini.
Kalau mau dikaji lebih jauh, Soeharto tidak hanya menguasai sendi-sendi pemerintahan. Tapi bahkan hampir seluruh sendi kehidupan rakyat banyak. Yang berdampak positif dan negatif sekaligus, tentu saja. Dengan sangat ketat. Sangat erat. Sangat kokoh.
Selain itu, ada pula satu hal lain yang tidak kalah menarik. Bertempat di Perpustakaan Nasional RI, Jl. Medan Merdeka Selatan no. 11, Gambir, Jakarta Pusat (27/02/2019), diselenggarakan acara bedah buku “Komunikasi Politik Akbar Tanjung, Pergolakan Partai Golkar dan Visi Indonesia Sejahtera”. Dalam sambutannya pada kesempatan itu, Sekjen KAHMI, Drs. Manimbang Kahariyadi, memberikan pandangan yang menarik.
Dikatakannya, “Setiap pemimpin ada masanya dan setiap masa ada pemimpinnya. Pemimpin yang mahir, bijaksana, dan berwatak tenang biasanya dibutuhkan tatkala badai dan taufan sedang melanda. Dan ujian terbesar seorang nakhoda kapal adalah ketika ia mampu menyelamatkan kapalnya keluar dari badai, di saat semua orang meyakini bahwa kapal itu akan segera tenggelam.”
Tentu saja, dalam sambutannya itu, Manimbang Kahariyadi bicara tentang sosok Akbar Tanjung. Politisi senior yang berwatak tenang. Yang piawai dan bijak dalam bermanuver politik. Tapi tak pelak hal itu mengingatkan saya akan sosok Soeharto. Dari apa yang diungkapkan Manimbang Kahariyadi itu kita dapat menarik sebuah kesimpulan. Tentang kuat atau lemahnya sebuah kepemimpinan.
Mereka yang berkiprah di media massa di era Orba Soeharto tentu dapat mengenang kembali suasana di era itu. Terutama sosok Soeharto, the smiling general. Yang tetap tenang di permukaan walau di dalam hatinya panas luar biasa. Yang selalu mengangguk-angguk sambil senyum, walaupun dalam kondisi sangat marah. Yang memberikan kesempatan anak buahnya lebih banyak bicara kepada rakyat. Sedangkan dirinya cukup memantau dari belakang. Sehingga Harmoko yang beberapa kali menjadi menteri penerangan jadi sangat terkenal. Khususnya karena kata-katanya yang melegenda, seperti: “Menurut petunjuk Bapak Presiden…..bla…bla…bla.” Kata-kata yang tak pernah absen dari mulutnya tiap kali memberikan keterangan pers. Salah satu rutinitas menteri penerangan yang tidak lagi diprogramkan di era sekarang.
Dengan demikian jelas sekali bahwa yang berkuasa adalah Soeharto. Dia yang mengendalikan segalanya. Anak buahnya yang diberi wewenang hanya punya kesempatan bicara sepatutnya. Meskipun begitu, informasi yang diberikan itu pasti. Datanya baku. Tidak mencla-mencle. Tidak ada saling ralat meralat di antara menteri. Dan itu bukan hanya tentang persoalan politik dan ekonomi tingkat tinggi. Tapi bahkan tentang harga bahan kebutuhan pokok konsumsi rakyat banyak. Harga cabe keriting, bawah merah, kacang kedele dan lain-lain. Yang terkendali. Yang tidak semaunya melambung tidak karu-karuan seperti sekarang.
Semua itu untuk memperlihatkan jalannya roda pemerintahan. Ketika seluruh kendali ada di tangannya. Sedikit saja dia bicara, orang gempar. Misalnya, ketika dia bicara “saya gebug”, semua gempar. Semua membicarakannya di belakang layar. Secara diam-diam, tentu saja. Dalam rapat-rapat tertutup yang memang ditutup amat sangat rapat. Seperti yang dilakukan para tokoh Petisi 50. Para mantan pemimpin bangsa yang berseberangan jalan pemikiran. Yang merasa ikut tertampar oleh pernyataan “saya gebug” Soharto itu.
Dengan kata lain, semua itu memperlihatkan ada kewibawaan pemerintah. Dan kewibawaan itu berasal dari dirinya. Datang dari sosoknya sebagai penguasa tertinggi. Bukan sebagai petugas partai. Yang lain hanya perpanjangan tangannya. Kewibawaan itu diakui oleh kawan dan lawan. Baik dari dalam maupun luar negeri.
Meski demikian, kita mencatat, yang namanya kekuasaan itu cepat atau lambat akan ada masanya untuk berhenti. Pasang di laut tidak selamanya naik. Ada masanya untuk turun.
Kaitan dengan ini, beberapa hari lalu, saya menyaksikan sebuah video Titik Hediati Soeharto. Dalam video itu Mbak Titik – demikian salah satu puteri kesayangan Soeharto itu akrab disapa – bicara tentang Orba di bawah kepemimpinan Soeharto. Dengan sikap apa adanya, dia menceritakan sejumlah langkah Soeharto. Termasuk kebijakan yang mendapatkan pengakuan dunia internasional. Seperti keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) dan swasembada beras. Begitu juga cerita tentang detik-detik menjelang Soeharto menyatakan akan “berhenti jadi presiden”.
“Apakah Bapak sudah yakin dengan apa yang Bapak putuskan?” begitu kata Titik mengutip pertanyaan salah seorang saudaranya.
Comment (0)