Orde Baru

Seorang kawan menulis status, memilih 01 dengan alasan tidak ingin rezim Orde Baru berkuasa lagi. Mungkin dia lupa, Golkar yang berkuasa di era Orde Baru saat ini ada di kubu 01. Juga PDIP yang lahir di era itu. Yang sekarang menjadi partai penyumbang koruptor terbanyak. PPP dengan ketuanya yg tukang revisi doa itu juga di 01.

_____________________________________________

OLEH: YULFARIDA ARINI

______________________________________________

Menuduh 02 Orba hanya karena Prabowo? Yang mantan menantu Pak Harto? Yang konon dianggap berniat mengkudeta ayah mertua?

Jadi mana yang lebih Orba?

Tapi saya ingin memotret bedanya Orba sama orde sekarang dari perspektif kehidupan jurnalistik.

Saya jurnalis di era Orde Baru. Saat itu belum ada kebebasan pers. Tapi kami tetap menulis dengan nyaman. Asal tidak menyinggung istana dan militer. Tidak menjelekkan Tionghoa. Tidakmemberitakan temuan uang palsu. Menerbitkan media harus pakai SIUP. Itu tali kekang rezim di leher media. Melanggar? SIUP dicabut.

Biar jadi anak manis, media cukup menyervis mereka. Kompas tiap Kamis memuat foto Pak Harto sebagai foto utama. Koran kami kasih kapling untuk pesohor2 Tionghoa pamer kegiatan sosial mereka, seperti Lions Club, Rotary Club, Bake Sale, dll. Sebab mereka inilah pemasang iklan. Juga acara pribadi pejabat semacam Pangdam mantu, atau gubernur punya cucu. Tapi ya bukan di halaman utama.

Berita politik pun kita bebas nulis. Penyataan2 politisi dimuat. Tapi gak cuma Golkar sebagai partai pemenang. PDI dan PPP juga dapat jatah pemuatan. Kalau porsi buat Golkar lebih besar ya wajar. Mereka paling besar. Semua media begitu.

Tapi Golkar pun tidak menyetir media, kecuali media afiliasi mereka sendiri seperti koran Suara Karya. Tapi Suara Karya pun tidak menjelekkan PPP dan PDI.

Di internal perusahaan, yang namanya redaksi adalah sakral. Warga paling terhormat. Bedanya dengan karyawan bagian lain, selain dapat gaji tetap, kami punya penghasilan tambahan dari TP alias tunjangan prestasi. Besar kecilnya bergantung jumlah dan kualitas berita.

Redaksi disegani. Bagian iklan dan pemasaran gak berani ikut campur soal pemberitaan. Juga para pemilik saham. Jadi berita kami benar-benar bisa menjadi kontrol sosial. Kami berani sesumbar kalau profesi kami adalah salah satu pilar demokrasi.

Di era sekarang, saya lihat redaksi tidak ada istimewanya dibanding bagian iklan atau pemasaran. Berita hanya komoditas untuk memasarkan iklan. Jurnalis hanya juru tulis.

Lebih parah lagi, media digunakan untuk kepentingan politik. Memberitakan hanya yg menguntungkan pihak yg didukung. Ketika pemilik perusahaan berpolitik, mati sudah ruh jurnalisme. Berita hanya menjelekkan kubu lawan, menutup-nutupi borok pihak kawan, membombardir massa dengan berita pencitraan.

Kalau sudah begini, jurnalisme malah bikin kaki demokrasi timpang. Kalau dibiarkan, Indonesia bisa tumbang.

Masih bilang era sekarang lebih baik daripada Orde Baru?

Tapi alhamdulillah setelah debat capres yang kedua, sepertinya banyak media mulai siuman. Setelah sekian lama keracunan kekuasaan. Bahkan mereka berkolaborasi bikin kegiatan fact check untuk mengecek data yang disampaikan kontestan. Yang ternyata membuktikan kalau capres 01 banyak ngibul datanya. Soal kebakaran hutan, konflik agraria, dan sebagainya. Yang saat itu juga langsung dimuat berita counter nya.

Tapi sepertinya tetap saja bukan idealisme pencetusnya. Saya yakin tetap motivasi bisnis. Buat TV, rating adalah segalanya. Belakangan, berita tentang Prabowo Sandi ratingnya tinggi. Pemasang iklan ogah buang duit di acara rating rendah. Selama ini rating tinggi hanya TV One yang menikmati.

***

*) Penulis adalah wartawan senior, tinggal di Jakarta

 

Related News

Comment (0)

Comment as: