Data dan Fakta Yang Bikin #Kaget
HATI-HATILAH mengutip data. Apalagi kalau disampaikan dalam forum sepenting debat calon presiden. Disaksikan jutaan generasi milenials pula.
Nasib kurang beruntung dialami Jokowi. Capres petahana. Sejak beberapa menit setelah debat, Minggu 17 Februari lalu. Hingga hari ini. Pidatonya masih menjadi topik bahasan para netizen.
Netizen ramai-ramai mempersoalkan data-data yang diungkap Jokowi. Karena dinilai tidak sesuai dengan data resmi yang dipublikasikan lembaga pemerintahnya.
Dalam bahasa Suroboyoan, 'mblesete soro'. Melencengnya jauh.
Misalnya: data impor jagung. Kata Jokowi, impor jagung sejak 2015 terus menurun. Tahun 2018 terbaik: hanya 180 ribu ton.
Tak lama seusai debat, netizen sudah merilis meme berisi data dari sumber resmi pemerintah. Yang dibandingkan dengan pidato Jokowi. Hasilnya: Anda sudah tahulah. Impor jagung masih berlipat-lipat dibanding angka yang disebutkan.
Saya yang hanya menonton lewat layar handphone saja sampai #kaget. Mengapa datanya bisa berbeda?
Contoh lain adalah statemen nyaris nihilnya konflik agraria dalam berbagai proyek infrastruktur selama masa jabatan Jokowi. Data yang ditemukan netizen ternyata berseberangan. Ada ratusan konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Sore ini saya menerima video berantai yang juga bikin #kaget. Isinya cuplikan peristiwa perlawanan pemilik lahan. Mereka menolak penggusuran untuk proyek infrastruktur karena ganti ruginya tidak manusiawi. Sumber video dari siaran berita televisi. Dari sejumlah stasiun.
Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Hebat betul anak-anak muda itu. Yang umumnya masih remaja. Mereka begitu cepat memperoleh data video dan menyiarkannya.
Ada pula yang menyoal kebakaran lahan hutan. Jokowi bilang tahun 2018 sudah tidak pernah terjadi lagi. Ternyata netizen punya data. Kebakaran masih terus terjadi. Dan skalanya tetap luas.
Inilah bedanya generasi saya yang kuno dengan generasi anak saya yang milenials. Orang kuno seperti saya lebih pasif. Menerima saja semua informasi. Dari media konvensional. Buatan wartawan.
Sedangkan generasi milenials sangat aktif. Mereka akan langsung mencari kebenaran atas sebuah informasi. Dengan sekali klik. Menggunakan search engine.
Pada era serba digital sekarang, publik dengan cepat mengetahui apakah data-data yang disampaikan seorang tokoh itu valid atau tidak. Salah datanya atau orangnya.
Konfirmasi data oleh publik adalah fenomena baru yang tidak mungkin terjadi pada masa lalu. Saat semua data masih analog. Disimpan dalam lemari arsip. Dengan akses yang begitu berliku.
Ini era big data. Era semua informasi tersimpan di dalam server. Bisa diakses siapa saja. Bisa diunduh dan diunggah kapan saja. Dari seluruh dunia.
Membuktikan apakah datanya yang palsu atau orangnya yang bohong tidak butuh waktu lama.
Karena itu, tokoh publik zaman now harus belajar tidak asal ngomong. Boleh-boleh saja berjanji manis. Tapi jangan asbun. Tim kampanye boleh-boleh saja memoles citra jagoannya. Tapi jangan gunakan data yang tidak jelas asal-usulnya.
Anggap saja Jokowi lagi apes. Tapi kejadian seperti itu bisa menimpa siapa saja.
Ini pelajaran penting untuk siapa saja yang berniat menjadi pejabat publik: baru maupun petahana.
Jangan anggap remeh para milenials. Mereka bisa 'menguliti' Anda kapan saja tanpa ampun.
Saat ini jumlah milenials sekitar 40 juta jiwa. Tapi 10 tahun lagi, jumlahnya bisa 100 juta. Mereka adalah generasi yang terlatih berbicara dan membaca data. Mereka bukan generasi plonga-plongo yang senang dengan pidato berbusa-busa.(jto)
Comment (0)