Sang Negarawan Sejati

BEBERAPA hari lalu, ketika sedang mengambil keyboard di ruang guru TK untuk pelajaran ekstrakurikuler menyanyi, seorang rekan kerja bertanya padaku,

_____________________________________________
OLEH: FITRAH ILHAMI
_____________________________________________

"Pak Fitrah pendukung Pak Prabowo, ya?"

Aku jawab, "Ndak juga, Bu. Aku cuma gak pro sama yang sekarang. Itu aja."

"Ya, sama aja itu namanya." Dia melempar sedotan. Tertawa. "Saya kemarin lihat video klip Pak Fitrah sama temen-temen nasyidnya. Nyanyi lagu dukung Prabowo Sandi."

Bibirku ber-oh lemah. Pasti yang dimaksud adalah video lagu 'Kutitipkan Suara Ini'.

"Dibayar berapa bikin lagu dan video sama timses Prabowo, Pak?"

"Gak dibayar," aku tersenyum. "Pakai duit sendiri. Semuanya."

Gantian bibir dia yang mengucap, "Oh..." selang beberapa jeda si rekan kerja bilang lagi,

"Ndak takut nanti kalau Prabowo jadi presiden, bakalan muncul penculikan misterius buat yang mengkritik dia kayak zaman Pak Harto dulu, Pak? Banyak yang takut loh. Pak Prabowo kan pelanggar HAM waktu 98."

Mendengar ucapan terakhir, kali ini aku benar-benar menanggapinya serius. Akhirnya aku jelaskan secara ringkas terkait pertanyaannya.

"Bu, kejadian 98 itu sudah lebih dari 20 tahun lalu. Andai Pak Prabowo memang melanggar HAM, alias terbukti bersalah di kerusuhan Mei itu, pasti dia dipenjara dari dulu. Pelanggaran Hak Asasi Manusia itu termasuk kejahatan berat, loh. Buktinya sampai sekarang Pak Prabowo gak pernah dipenjara.
.
Bahkan tahun 2009,  dia jadi wakilnya Bu Megawati di Pilpres. 2014 nyalon jadi Presiden. 2019 nyalon lagi. Artinya KPU menganggap tidak ada kasus yang menjerat Pak Prabowo. Jangankan pelanggar HAM, orang mantan koruptor aja gak boleh daftar jadi presiden, kok"

Si rekan kerja Manggut-manggut.

Teman, dulu aku juga berpikiran serupa dengan rekan kerja itu. Menganggap Pak Prabowo adalah jelmaan orde baru yang otoriter di masa kini. Mengkritik dikit, tangkap. Gambaran sosok Pak Prabowo yang notabene menantu penguasa rezim orde baru, benar-benar mengerikan di pikiranku. Itu sebabnya, 2009 dan 2014 aku tidak memilih dia.

Tapi itu dulu, sebelum aku mau mengikuti jalan politik dalam negeri dan gemar membaca.

Adalah buku berjudul, "Prabowo; Saya Tak Pernah Berkhianat!" yang telah meruntuhkan persepsi tentang galaknya Prabowo. Di buku bersampul merah itu, bahkan dijelaskan secara runut bagaimana kerusuhan Mei 1998.

Buku yang disarikan dari jurnal kredibel macam Asiaweek itu memberi ulasan bagaimana peran Prabowo, yang saat itu menjadi Pangkostrad, untuk meminimalkan konflik 98.

12 Mei 1998, Prabowo menerima telepon bahwa beberapa mahasiswa tertembak selama demonstrasi di Universitas Trisakti. Reaksi pertama Prabowo saat mendengar berita itu adalah berucap,

"Ya Tuhan, ini bodoh."

Kepada wartawan Prabowo berkata, "Terkadang, polisi dan tentara kita begitu tidak profesional. Anda dapat melihat beberapa kesatuan berlaku seperti itu."

Merasa situasi darurat, Pak Prabowo segera menyiagakan pasukan di markas garnisun. Beliau baru pulang ke rumah tengah malam.

13 Mei, esok harinya, ketika perusuh mulai merampok dan membakar Gedung gedung, Prabowo menghabiskan waktu seharian untuk memikirkan cara bagaimana menggerakkan pasukannya, agar konflik tidak menyebar.

Tanggal 14 Mei, kerusuhan makin memanas, atas saran teman dekatnya, Pak Prabowo menjumpai Gus Dur, seorang ulama NU yang kharismatik, di kediamannya. Saat itu sudah tengah malam. Tetapi Gus Dur masih mau menerima Prabowo dan mereka pun berdiskusi berat, tentang bagaimana mengakhiri situasi yang sudah kacau balau tersebut.

Di akhir pertemuan Prabowo berucap pada Gus Dur,  "Gus, insyaAllah besok
pagi kami bisa mengendalikan situasi."

Maka jangan heran  bila di kemudian hari Gus Dur bersaksi, "Orang yang paling ikhlas menjaga negara ini ya Prabowo."

Silakan cek jejak digital ucapan Gus Dur di Youtube.

18 Mei, Prabowo mengaku bertemu Wiranto di Cendana. Malam hari.  Pak Wiranto, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima ABRI, memberitahu bahwa pasukan Suharto ingin berperang.

Prabowo terkejut, "Bagaimana mungkin?"

Lalu ia segera menemui Pak Amien Rais yang pagi harinya telah menyampaikan seruan demonstrasi pada tanggal 20 Mei di Monas. Sekuat tenaga Prabowo membujuk Pak Amien Rais agar demonstrasi dibatalkan. Prabowo cemas, karena jika demonstrasi dalam jumlah massa banyak itu berlanjut, kemungkinan besar akan jatuh korban.

Akhirnya, permohonan itu diiyakan oleh Pak Amien Rais. Beliau mengalah.  Dan demonstrasi yang ditakuti tersebut tidak pernah terjadi.

Sampai sejauh itu perjuangan Pak Prabowo meminimalkan konflik. Bahkan demi itu ia harus mengorbankan hal terpenting dalam hidupnya; keluarga.

Ya, setelah pertemuan intens dengan Amien Rais, keluarga Cendana kontan memusuhi Prabowo karena dianggap ingin melengserkan kekuasaan mertuanya sendiri.

Pak Prabowo, menurut Jose Manuel Tesoro, penulis jurnal ini, akhirnya menjadi seorang yang serba salah. Di pandangan keluarga Cendana, ia dianggap terlibat dalam kelompok reformasi, di mata masyarakat umum ia adalah bagian dari rezim orde baru.

Itulah Pak Prabowo. Dia orang baik. Meski gambaran kejam sering dituduhkan padanya tapi ia terima dengan lapang dada.

Jika teman-teman perhatikan. Tak ada sorot bengis Pak Prabowo ketika ia mulai diserang tentang harta pribadinya pada debat kemarin. Sorot mata dan mimik wajah tak pernah berbohong. Beliau menanggapinya dengan senyum tulus. Andai hatinya penuh kebengisan, pastilah akan nampak pada ekspresinya meski sekelumit. Apalagi bila mengingat orang yang menjadi lawan debat ternyata seseorang yang ia bantu ketika masih menjabat walikota di Jawa Tengah hingga jadi gubernur ibu kota.

Beliau juga tidak merendahkan lawan debat dengan menunjukkan mimik muka meremehkan, atau mata terpicing ketika orang lain berbicara.

Beliau hanya tersenyum. Tulus. Tidak dibuat-buat.

Dan itu membuatku yakin, ia adalah negarawan sejati.

Ah, jadi teringat ucapan Pak Anies Baswedan yang sudah tersebar di jagad medsos beberapa waktu lalu. Saat itu Pak Prabowo ditanya, mengapa mau mencalonkan Anies jadi gubernur DKI, padahal tahun 2014 ia berada di pihak lawan saat pilpres?

Dan Pak Anies Baswedan mendengar sendiri apa yang dikatakan Prabowo setelah itu,

"Anies berada di pihak seberang saat itu, adalah murni salah saya. Kenapa dulu saya tidak mengajak Anies bicara. Sekarang setelah kita bicara, ternyata cocok gagasan kita."

"Teman-teman bisa bayangkan," Begitu ucap Pak Anies Baswedan kemudian, "Pak Prabowo sama sekali tidak menyalahkan saya,  mengapa saya tidak mendukung beliau di 2014. Beliau malah menyalahkan diri sendiri, kenapa dulu tidak pernah mengajak saya bicara. Luar biasa. Inilah mental negarawan sejati."

Negarawan sejati. Ya, itulah yang dibutuhkan Indonesia saat ini.

****

Surabaya, 20 Februari 2019
Fitrah Ilhami

Related News

Comment (0)

Comment as: