•   Wednesday, 24 Apr, 2024
  • Contact

Jejak Hitam Rezim PDIP

 SEJAK masa reformasi tahun 1998, bangsa kita telah mengalami 4 kali pemilu dan dari pemilu tersebut telah melahirkan 2 partai penguasa yaitu PDIP (tahun 1999 dan 2014) dan Demokrat (tahun 2004 dan 2009.

__________________________________________

          OLEH: HABIB HUSEIN ALHABSYI

___________________________________________

.Dalam tulisan ini saya akan sedikit membahas karakter dan metode PDIP dalam memimpin bangsa kita guna memberikan gambaran dan pembelajaran bagi kita anak bangsa agar dikemudian hari lebih berhati-hati dalam menentukan pemimpinnya.

Dimasa pemerintahan PDIP tahun 1999 sampai 2004, PDIP baru benar-benar mengontrol penuh negara di tahun 2001 saat Megawati menggantikan Gus Dur yang diturunkan rakyat. Kita lihat jejak megawati dan PDIP nya saat memimpin bangsa tahun 2001 – 2004 dan tahun 2014 – sekarang. Saya akan menitikberatkan pada hal-hal khusus yang menurut saya merupakan karakteristik PDIP.

*Pertama, Hubungan Islam dengan Negara*

Pada masa pemerintahan Megawati (2001 – 2004), hubungan negara dengan umat Islam bisa dikatakan tidak mesra bahkan tegang. Pada masa itu pemerintah melakukan banyak penangkapan terhadap ulama, aktifis dan tokoh Islam dengan berbagai tuduhan, mulai dari terorisme, penghinaan kepada presiden dan penghasutan. Dan seperti biasa, polisi menjadi kaki tangan dan centeng pemerintah. Penangkapan terhadap tokoh Islam saat itu oleh kepolisian yang dipimpin oleh Dai Bachtiar mengundang reaksi keras dari masyarakat melalui aksi-aksi demonstrasi dan MUI sendiri menganggap penangkapan tersebut menyalahi aturan dan cenderung melanggar HAM. Dai Bachtiar bahkan harus menjelaskan kepada DPR dan MUI terkait penangkapan tersebut. Akibat penangkapan terhadap tokoh Islam pada saat itu, muncul meme terhadap kapolri Dai Bachtiar yaitu inilah rezim saat Da’i menangkap Da’i. Salah satu tokoh Islam yang ditangkap pada saat itu adalah Habib Rizieq Shihab dengan tuduhan penghasutan.

Jika dibandingkan dengan pemerintahan sekarang maka bisa kita lihat kesamaan dimana pemerintah begitu alergi dengan umat Islam. Berapa banyak ulama, tokoh dan aktifis Islam yang ditangkap dan dijadikan tersangka dengan kasus sim salabim, belum lagi ormas Islam HTI yang dengan sepihak dibubarkan pemerintah dengan tuduhan anti pancasila tanpa memberikan kesempatan bagi HTI untuk membela diri. Dan hal yang menarik, lagi-lagi Habib Rizieq masuk dalam radar sasaran tembak PDIP, apakah ini bisa disebut dengan “cinta lama bersemi kembali”? silahkan anda mengartikan sendiri. Dari sini sedikit banyak kita bisa mengambil kesimpulan bahwa PDIP memang menganggap Islam sebagai ancaman yang harus dipinggirkan.

*Kedua, Kebangkitan PKI*

1. Pada saat PDIP menjadi partai penguasa setelah memenangkan pemilu 1999, ide tuntutan pencabutan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 mulai digulirkan. Dan pada tahun 2003 Fraksi partai PDIP saat itu sepakat menuntut penghapusan isi tap MPRS tersebut yang terkait dengan pelarangan faham Marxisme dan Komunisme. Tuntutan ini gagal terlaksana setelah ormas Islam seperti Forum Umat Islam Indonesia (FUII), MUI dan ormas lainnya serta masyarakat menolak tuntutan tersebut.

2. Pada tahun 2002 di saat Megawati telah duduk sebagai presiden, seorang putri anggota PKI, Ribka Tjibtaning yang juga merupakan kader PDIP secara terbuka menyatakan kebanggaannya sebagai keturunan PKI dengan mengeluarkan buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” serta maraknya pembuatan film-film yang berisikan pembelaan terhadap PKI.

3. Pada masa pemerintahan Megawati, pemerintah dan DPR yang dikuasai PDIP mengajukan dan mengesahkan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang bertujuan untuk merehabilitasi PKI dan sekaligus menjadikan PKI sebagai korban tragedy 1965. Undang –undang ini kemudian dicabut pada tahun 2006.

Sekarang kita bandingkan dengan yang terjadi pada pemerintahan saat ini. Sejak Jokowi yang merupakan kader PDIP duduk menjadi kepala negara, ide permintaan maaf pemerintah kepada PKI sangat santer terdengar, namun karena masifnya penolakan tokoh nasional, ormas islam dan masyarakat luas maka niat tersebut diurungkan. Saya meyakini jika penolakan masa tidak terlalu besar, Jokowi pasti akan benar-benar meminta maaf kepada PKI. Kita juga melihat mulai beredarnya lambang-lambang PKI mulai dari kaos sampai iklan billboard yang terpampang di bandara Soekarno-hatta, Selain itu, rancangan Undang-undang KKR juga kembali dimasukkan dalam prolegnas 2015. Aktivitas dan pertemuan simpatisan PKI pun sering dilakukan, namun apa reaksi pemerintah saat elemen masyarakat khususnya tokoh Islam mulai mengambil tindakan dengan mengkampanyekan anti PKI? Bukannya memberikan dukungan, malahan para pejuang pembela pancasila itu ditangkap dan dijadikan sebagai tersangka oleh pemerintah. Ini sangat ironi dimana pemerintah yang hampir setiap saat berteriak dan mencitrakan dirinya sebagai pelindung pancasila malah menjadi predator bagi para pembela pancasila yang sebenarnya dan yang lebih menyakitkan, justru mereka yang membela pancasila dicap sebagai anti pancasila dan intoleran.

Dari data dan fakta diatas, sangat beralasan jika ada pihak yang mengasosiasikan PDIP dengan PKI atau setidaknya menganggap PDIP sebagai kendaraan PKI untuk bangkit kembali. Mungkin PDIP tidak benar-benar murni menjadi kendaraan PKI semata karena kita melihat di dalam PDIP juga terdapat faham nasionalis dan pengikutnya pun beragama, dengan demikian, wajar juga jika ada yang berpendapat bahwa PDIP sedang berusaha mengusung faham Nasakom(nasional agama dan komunis). Dari uraian ini, terlihat benang merah kenapa rezim PDIP sangat memusuhi Islam, sebab umat Islamlah yang merupakan batu sandungan bagi bangkitnya faham komunis sehingga wajar jika setiap berkuasa, PDIP selalu menjadikan ulama dan ormas Islam sebagai sasaran tembaknya.

Hal selanjutnya yang menjadi perhatian saya yaitu kerusakan yang ditimbulkan oleh rezim PDIP.

Sampai saat ini kita masih bisa melihat kerusakan ekonomi yang ditimbukan oleh pemerintahan Megawati, yaitu antara lain penjualan Indosat ke Singapura yang tentu saja merupakan kecerobohan luar biasa yang pernah dilakukan pemerintah Indonesia. Indosat selain merupakan bisnis negara yang menguntungkan juga merupakan asset strategis negara. Selanjutnya, di tahun 2002, megawati menjual gas alam cair ke China dengan harga yang sangat murah yaitu hanya 5?ri harga minyak dunia dan kontrak penjualan ini dilakukan dengan tenggang waktu 25 tahun. Tidak heran jika Indonesia yang merupakan salah satu penghasil gas alam terbesar dunia tapi harga gas alam dalam negeri tergolong mahal, ini semua karena prestasi Megawati. Prestasi selanjutnya yaitu penjualan asset-aset negara seperti kapal tanker pertamina, bank BCA, Bank International Indonesia dan Bank Danamon, belum lagi kasus perampokan BLBI yang telah merugikan negara sampai dengan saat ini telah lebih dari 2000 triliun rupiah. Ini semua terjadi karena sangking pancasilaisnya megawati.
Sekarang kita bandingkan dengan pemerintahan Jokowi. Dalam 2 tahun kepemimpinannya, jokowi telah menambah hutang negara sekitar 1062 Triliun dan yang mengherankan, menteri keuangnan Sri Mulyani tidak bisa menjelaskan kemana aliran dana tersebut. dan selama kepeminpinan Jokowi APBN kita selalu mengalami deficit dan pada akhirnya yang merasakan kesengsaraan paling berat lagi-lagi rakyat. Semua subsidi untuk kesejahteraan rakyat dicabut hanya untuk memuaskan ambisi membangun infrastruktur yang ujung-ujungnya untuk pencitraan jokowi pada pemilu 2019 mendatang. Sangking keblingernya, Jokowi bahkan berencana menggunakan dana umat untuk Haji untuk pembangunan infrastruktur, ini benar-benar telah kehilangan akal demi untuk tetap berkuasa. Pembangunan infrastruktur memang diperlukan asalkan didasari oleh kepentingan bangsa yaitu pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat, selain itu pembangunan juga harus melihat kondisi keuangan negara dimana dana yang ada tidak hanya untuk membangun infrastruktur saja tapi juga untuk membiayai hal-hal lain terkait dengan kebutuhan kesejahteraan rakyat yang mana kita tau kesejahteraan rakyat tidak hanya didapat dari infrastruktur semata. Ini juga menjadi ironi saat pemerintah mencabut subsidi masyarakat yang nantinya membuat masyarakat miskin menjadi lebih miskin dan yang belum miskin perlahan menjadi miskin dengan alasan meningkatkan kesejahteraan melalui pembangunan infrastruktur. Saat ini kita tidak benar-benar tau apakah pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah Jokowi terbebas dari korupsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proyek pembangunan infrastruktur sarat dengan kecurangan dan korupsi, maka tidak mengherankan jika setiap mendekati pemilu, pemerintah akan melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran sebab selain untuk menaikkan citra juga untuk mencari bekal modal pembiayaan kampanye. Nanti setelah rezim ini berganti baru akan terungkap semua kecurangan dalam proyek infrastrukturnya.

Belum ada Presiden mulai dari Soekarno sampai SBY yang berani melemparkan ide untuk memanfaatkan dana haji yang merupakan dana umat untuk kursiogi dan untuk pencitraan yang ujung-ujungnya kepentingan 2019. Di dalam pemerintahan PDIP Islam di nistakan oleh presidennya yang mengaku Islam, para ulama nya di kriminalisasi, agamanya di nistakan, dana umatnya mau di akali juga, apakah Tito mampu memeriksa Megawati dalam penistaan terhadap agama ? Sudah banyak laporan ke Polda dan Mabes Polri tentang penistaan agama yang di lakukan oleh Megawati, apa yang bisa di lakukan oleh polisi yang hanya menjadi centeng (preman nya penguasa) karna Bhinneka tunggal ika nya Mega kepercayaan dan keimanan Islam di nistakan karna Bhinneka tunggal Ika, karna nasionalisme nya yang tinggi aset-aset negara di jual termasuk aset yang sangat vital, karna Pancasilais nya mega yang super, ratusan Triliun uang rakyat raib. Di dalam pemerintahan ini juga hukum menjadi permainan para penguasa, jika saya di sirami air keras atau di pukul di jalan maka Centeng penguasa (Polri) akan mengatakan karna saksi korbannya buta maka penyelidikan harus di hentikan, maka melayang lah SP3. Di dalam pemerintahan Megawati juga karna ulet dan pintarnya juga pulau Sipadan dan Ligitan lenyap dari NKRI. Joko ! Dengar nasihat saya yang tuna netra ini ! Janganlah anda royal dalam menghayal, janganlah Anda royal dalam membuat analisa, janganlah Anda royal dalam berprediksi, janganlah Anda royal dalam memberi harga termasuk kepada dirimu sendiri, berhayal lah, beranalisis lah, berprediksi lah, dan memberi harga kepada diri sendiri harus sesuai kurs pasar -William Shakespeare. Nasihat ini juga dan pernyataan saya ini juga tolong anda sampaikan kepada induk semang yang memberi jabatan gubernur DKI dan Presiden kepada anda agar dia sadar. Jika kalian terus terusan seperti ini saya bersumpah demi Allah akan terjadi revolusi tak bertuan di Indonesia dan ini sangat berbahaya sekali untuk NKRI ! Sadarlah sebelum terlambat, dimana umat akan turun parlemen jalanan yang berlaku, rakyat akan memenuhi penjara-penjara, itulah hukum Archimedes berlaku. Sudah menjadi rahasia umum Joko, centeng Anda (Polri) jika ada yang melapor ayamnya hilang kambingnya pun ikut hilang, jika ada yang melapor kambingnya hilang sapi pun ikut hilang, perbaiki negara ini sebelum terlambat ! Revolusi tak bertuan, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Demikianlah sedikit uraian tentang sepak terjang rezim PDIP saat menjadi penguasa negeri. Ini bisa menjadi pembelajaran sekaligus referensi bagi setiap anak bangsa dalam menentukan pihak mana yang pantas mengelola negara. Memang tidak ada satu pun rezim yang sempurna dan kesempurnaan hanyalah milik pencipta alam ini, namun tidak ada salahnya kita untuk melihat lebih jernih profile setiap penguasa agar kita tidak terjerumus kedua kalinya dalam lobang yang sama.

 

* ) Penulis adalah Imam Ikhwanul Muslimin Indonesia .

Sumber: www.soeararakyat.com

Related News

Comment (0)

Comment as: