•   Saturday, 20 Apr, 2024
  • Contact

Bersyukurlah, Kita Bukan Kaum yang Terkunci Hatinya

DUA orang sahabat saya bertanya hal yang sama, meski keduanya sangat berjauhan tempatnya. Yang satu di Bekasi dan satunya di Wina, Austria. "Mengapa orang tetap mau memilih petahana di pilpres 2019?" tanya keduanya.
____________________________________________.
                  .        M NIGARA
____________________________________________


Lalu, pertanyaan kedua juga sama dari keduanya. "Mengapa mereka mau 'pasang badan' membela petahana?". Dan pertanyaan ketiga, bagaimana jika ada kecurangan? Tanda-tanda ke arah itu sangat jelas terlihat. Artinya, sang petahana akan melakukan segala cara atau bahasa kerennya _at all cost_ untuk mempertahankan kekuasaan.

Tentu saya tak mudah menjawab. Dan ketika saya katakan: "Bersyukurlah kita tidak masuk golongan mereka yang *hatinya terkunci*," kata saya yang disambut dengan segerombolan tanya lainnya. Intinya, bagaimana saya bisa mengatakan bahwa hati kami tidak terkunci. "Apa ciri-ciri orang yang hatinya terkunci?" tanya keduanya

*Pemujaan*
Saya bukan akhli agama, tapi dari pemikiran logika, saya bisa mengatakan jika kita melakukan pembelaan yang membabi buta pada seseorang atau sekelompok orang, maka patut diduga bahwa hati kita telah terkunci. Kita tak melihat sedikit pun kesalahan, kita tidak melihat secuil pun kelemahan, dan kita tak bisa menerima kritik orang pada orang yang kita bela, maka, sekali lagi, patut dapat diduga bahwa hati kita terkunci.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabnya juga tidak mudah, tapi secara logika, saya bisa mengatakan bahwa kesenangan kita pada orang atau kelompok orang sudah mencapai pada pengkultusan dan memasuki babak pemujaan.

Untuk itu, maka apapun yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang itu, di mata kita pasti benar. Apa pun keburukan yang dilakukan, selalu bisa dicarikan alasannya. Bahkan jika ada orang yang berusaha berkeras mengkritik lebih dalam, mereka menganggapnya sebagai serangan. Untuk itu, mereka tak ragu menyerang jauh lebih kasar. Malah mereka tak ragu melakukan pembumi hangusan untuk membungkam.

*Firaun*
Saya jadi teringat kisah Firaun.
Ya, kisah Firaun tenggelam di laut merah, menjadi fakta sejarah keagamaan yang terus melekat di setiap benak umat islam dan umat-umat lainnya. Bukan hanya tragedi serta dramanya yang menonjol, tapi latar belakang pembangkangan Firaun pada Sang Khalik itulah yang paling utama dan paling mengerikan. Dan, terlambatnya tobat Firaun yang bisa dijadikan pelajaran.

Kita juga telah diberi peringatan dengan jelas untuk tidak bersikap dan berbuat seperti Firaun dan para pemujanya. *Dan, pelajaran paling menarik dari kisah itu, bagaimana Allah memperlihatkan pada kita tentang bahayanya satu kaum yang terkunci hatinya*.

Ya, Firaun memang telah binasa, tapi fahamnya masih akan terus ada hingga akhir zaman. Itu sebabnya, kita terus dan terus akan melihat kaum yang terkunci hatinya. Kaum yang secara membabi-buta memberikan dukungan pada seseorang melebihi apa pun yang ada di dunia. Ya, dukungan yang telah berubah menjadi pemujaan pada seseorang.

Begitu dahsyatnya, sampai ada orang atau kelompok yang berani secara terang-terangan menanggalkan 'keimanan' untuk memberi kesenangan pada orang yang dipujanya. Seperti di era Firaun, 'keimanan' terlalu mudah mereka tukar dengan kesenangan sesaat. Mereka raih jabatan, uang, dan kekayaan lainnya. Padahal sebelumnya mereka ikut memerangi pencemaran Al-Maidah 51.
Mereka tak lagi mau melihat dan merasakan derita rakyat.

Mereka seolah akan hidup kekal. Mereka tak takut pada perhitungan hari akhir kelak.

*Di sini*
Kita akui atau tidak, situasi itu ada dan nyata di sekitar kita, ya di sini. Kita menyaksikan orang berlomba merapat dan memuja kekuasaan. Mereka berlomba untuk menjilat, berlomba tampil sebagai pembela terdepan.

Mereka telah mengubah posisi menjadi para pemuja. Mereka telah mengubah seseorang menjadi 'tuhan'. Akibatnya mereka tak mampu melihat sekecil apa pun kesalahan sang pujaan. Bahkan ada yang berani menyebut pujaannya ini satu-satunya makhluk terbaik di Indonesia bahkan mungkin di dunia.

Akibatnya, mereka abai pada fakta yang ada. Mereka tak perduli pada kepentingan rakyat banyak. Bagi mereka, jika penguasa tersenyum dan berbahagia, maka cukuplah sudah.

Semoga kita dua sahabat saya memahami jawaban-jawaban saya. Dan, semoga hati kita tetap tidak terkunci hingga akhir khayat kita... aamiin..

 

* Wartawan senior.

Related News

Comment (0)

Comment as: