Masak Sih Erick Thohir Begitu?
Oleh M. Nigara*
ASTAGFIRULLAH. Kalimat itu meluncur dari mulut saya begitu membaca komentar Erick Thohir yang kembali menyerang. Agak aneh dan terkesan sungguh-sungguh seperti ketika para eyang yang kehabisan akal menyerang Pak Amien Rais.
Sebelumnya, Eto, begitu sapaan Erick, pernah menyerang Capres dan Cawapres Paslon 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Indonesia akan gagal jika Prabowo yang jadi Presiden. Karena Prabowo orang yang selalu gagal.
Tepatnya seperti ini, ucapan Eto, yang di muat, (www.Tagar 20/12/18) saat di Makassar - Ketua Tim Kampanye Nasional paslon petahana, Erick Thohir mengatakan negara ini akan mundur kalau dipimpin Prabowo Subianto, karena setiap kali Prabowo maju atau memimpin sesuatu, pasti gagal.
Sungguh, saya terkejut dan agak tidak percaya, sampai-sampai kepala saya menggeleng-geleng berulang-ulang. Kok bisa ya dia mengucapkan hal itu?
Seperti niat menulis _Malu Rasanya_ edisi pertama beberapa waktu lalu, kali ini saya pun terus-menerus menunda hasrat untuk menanggapi komentar Eto yang tak masuk akal itu. Tapi, jelang tahun baru 2019, insyaa Allah jadi tahun pergantian presiden dia kembali menyerang.
Akhirnya saya tak kuat juga untuk menahannya. Bayangkan, bagi Eto, sosok Prabowo dan Sandi bukan 'orang lain'. Dia sangat dekat jika tidak bisa saya sebut terlalu dekat. Dan dia, tidak sepatutnya bicara seperti itu. Eto tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menilai khususnya Prabowo. Atas nama apa pun.
Selama ini, dia saya kenal sebagai anak muda yang lumayan hati-hati dalam berpendapat. Bahkan sebagai ketua Komite Olahraga Indonesia (KOI) nyaris tak pernah membuat pernyataan yang kontroversial. Tepatnya terlalu sunyi. Catatan lagi, dia tidak mudah meledak, dan bukan tergolong orang yang mudah terpancing.
Oh ya, saya juga cukup mengenal Eto, sama seperti dia mengenal saya. Bahkan, saya tahu mulai kapan dia masuk ke lingkungan olahraga nasional.
Kembali ke pokok persoalan. Eto juga sangat dekat dengan SSU, sapaan Sandiaga Salahudin Uno. Keduanya bukan sebatas dekat karena sempat memiliki saham dari beberapa perusahaan yang sama, tapi sudah bersahabat sejak SD.
"Kita tetap dan akan terus bersahabat sampai kapan pun," begitu ucapan Erick saat bertemu dengan SSU, di sebuah acara pesta pernikahan seorang tokoh, beberapa hari setelah petahana mengumumkan ketua timsesnya, Agustus 2018.
Keduanya saling berpelukan. Keduanya sungguh memperlihatkan eratnya persahabatan. Keduanya seolah ingin memperlihatkan pada seluruh rakyat Indonesia, kita boleh berbeda pilihan, tapi kita tetap harus menjaga persahabatan, persaudaraan, pertemanan, dan seterusnya.
*Panik?*
Tapi, pengetahuan saya tentang Eto, berubah total belakangan ini. Entah apa penyebabnya, tiba-tiba Erick seperti orang, maaf, kerasukan. Seperti tulisan mas Asyari Usman, wartawan senior juga: _Secara psikologis, Erick kelihatan ‘letih’. Dia kehabisan bahan. Tulisan “Rekam Jejak” itu menunjukkan bahwa *hanya sisi pribadi Prabowo* yang masih bisa diutak-atik oleh ET. Dia tak sanggup menghadapi fakta kehidupan rakyat yang dibuat susah oleh Jokowi gara-gara program pembangunan yang hanya terfokus pada infrastruktur._
Eto buka saja tak sanggup melihat kenyataan rakyat makin susah, ia juga tak sanggup melihat masifnya dukungan pada Prabowo lewat jalur sahabatnya SSU itu. Diakui atau tidak, setiap acara yang ia gelar, ia membutuhkan dana bermiliar-miliar. Sementara SSU malah dapat sumbangan, meski tidak bermiliar nominalnya, tapi makna sumbangan itu jelas dan konkret bahwa pendukung SSU utamanya _emak-emak_ adalah nyata.
Belum lagi pendukung petahana yang makin menyepi di setiap acara, lalu adegan keributan saat pembagian makanan, makin tidak mengenakan. Sementara setiap SSU manggung, emak-emak justru membagikan makanan gratis.
Sampai di sini, jelas ada tingkat emosi yang diaduk-aduk. Maka, pernyataannya bahwa SSU adalah sahabatnya, terpaksa disingkirkan. Saya lupa, Eto itu punya kelemahan satu: tidak mau kalah. Jadi, selain fakta di atas jelas dia kalah, dalam hal kedudukan di pilpres pun dia kalah. SSU adalah cawapres dan dia hanya ketua tim ses, yang secara kasat mata tidak juga memiliki kuasa. "Mana bisa dia memerintah jendral-jendral yang ada di timses. Mana bisa juga dia menyuruh orang-orang bu Mega," celoteh seorang teman.
*Lupa?*
Terkait Prabowo, saya ingin bertanya: Rick, apakah anda lupa saat Asian Games lalu? Siapakah yang membuat anda terlihat sukses? Cabor apa yang menyumbangkan medali emas terbanyak?
Jawaban dari tiga pertanyaan itu adalah Prabowo Subianto, ketua umum IPSI cabor pencak silat. Tanpa 14 medali emas pencak silat, maka kontingen kita tak akan mampu bercokol di peringkat ke-5. Bayangkan 14 dari 30 medali emas disumbangkan IPSI.
Ingatkah anda Rick? Kok begitu anda bisa bilang Prabowo selalu gagal?
Dan, ingatkah anda menelpon Prabowo untuk meminta bantuan agar cabor silat meraih lebih dari 4 emas yang ditargetkan pemerintah? Ingatkah Prabowo bilang apa?
Kalau saja Prabowo tidak memiliki jiwa nasionalis, tidak cinta NKRI, maka Prabowo tak akan mengintruksikan manajer silat, Eddy Prabowo untuk menambah jumlah medali. Prabowo tak mengindahkan masukan beberapa orangnya agar silat cukup sekedar memenuhi target saja.
"Saya tidak perduli apakah kesuksesan AG ini akan dipergunakan untuk kampanye seseorang. Buat saya Indonesia harus berjaya!"
Ingatkan semua itu? Saya setuju dengan sahabat saya Asyari Usman, Eto emosional. Maaf, saya melihatnya super emosional. Mengapa begitu? Jawabannya hanya satu, dia tahu ada yang tak beres di paslon yang didukungnya.
Lepas dari semua itu, saya tetap tak habis pikir, Masak Sih Erick Begitu?
*Wartawan senior
Mantan Wasekjen PWI
Comment (0)