Enough Pak Jokowi

Oleh: M Rizal Fadillah

Sengaja judul ini ada bahasa inggrisnya, karena menghargai Pak Jokowi yang suka berbahasa Inggris. Tanpa diurai lebih lanjut, sebenarnya mudah dimengerti akan maknanya. Apalagi beliau orang milenial.

Pilpres 2019 semakin mendekat. Kandidat semakin merapat pada rakyat. Timses lebih giat. Para pemilih sudah mulai menetapkan niat untuk memilih kandidat. Tidak usah baca polling sebab polling kini hanya menjadi alat pengelabuan dan tidak akurat. Prabowo Sandi membuat peta jalan, sementara Jokowi-Ma'ruf Amin mengemas prestasi. Maklum beliau petahana. Janji hanya jadi bahan tertawaan.

Membaca prestasi itulah yang menjadi dasar kesimpulan bahwa "Enough pak Jokowi, enough..".

Kegaduhan adalah prestasi utama. Masalah bubarkan ormas, bbm naik terus, pintu bisnis asing dibuka lebar, perda agama diotak-atik, Ahok harga mati, komunis ditoleransi, kurs rupiah anjlok, ngaji langgam jawa, hingga tki Cina merajalela. Kemampuan mendinamisasi suasana luar biasa. Dibiarkan masalah menggelinding. "Bukan urusan saya.." Ujarnya santai. Lalu urusan bapak apa Pak..?

Selanjutnya infrastruktur. Ini andalan kehebatan. Sayang sumber pembiayaan pinjaman. Dana haji dipakai juga, zakat dan konon bpjs. Nah dosa lho. Sementara infrastruktur jalan tol dan pelabuhan dibangun untuk dijual lagi. Presiden berlatar belakang pedagang yang ini nyatanya musibah juga bagi bangsa. Pikirannya walau teriak kerja kerja kerja, tapi prakteknya jual jual jual. Negara berat untuk dijaga, cemas akan dijual juga.

Prestasi menonjol lain adalah bisa mengendalikan hukum dan penegakannya. Menciptakan hantu HTI diawali Perppu, karpet merah untuk VOC baru dengan kebijakan paket ekonomi, UU anti diskriminasi dan UU ITE menjadi alat pemukul yang efektif. Hukum ringan penista kalimah tauhid, kriminalisasi ulama dan jerat hukum untuk aktivis oposisi. Alat penegak hukum keropos dan kehilangan independensi. Rakyat melihat prestasi hukum Jokowi adalah menggeser "rule of law" menjadi "law by the ruler".

Menyentuh aspek keagamaan dan keumatan adalah rekor pemerintahan. Akidah dirongrong oleh proteksi faham sesat kegamaan. Kesadaran syari'at dibenturkan dengan ideologi. Ada "syari'ah phobia". Akhlak dan moralitas dikalahkan oleh semangat pragmatisme, sarwa uang, dengan prinsip "menghalalkan segala cara demi tujuan tercapai". Kemunafikan ditunjukkan dengan teriakan jangan politisasi agama dan pisahkan agama dengan politik sambil dirinya memperalat agama dan "membeli" tokoh tokoh agama.

Rakyat yang sehat akan menilai tak baik Jokowi dipercaya kedua kali. Tak ada perubahan bagus. Yang ada nuansa kekhawatiran bahwa negara lebih semrawut, kedaulatan terancam, masyarakat sulit bergerak, pajak digalakkan dan harga-harga tetap naik, pengusaha Cina mendominasi dan tenaga kerjanya bertebaran, tanah tanah pun dikuasai. Bangsa kuli akan menjadi terbukti.

Pilpres adalah momen demokrasi. Pesta rakyat. Tapi kita harus ingat bahwa tidak boleh membodohi rakyat dengan menjadikan ia sebagai komoditi jual beli. Pancasila mengingatkan bahwa "kerakyatan" itu harus "dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan". Moral, agama, dan kecerdasan tetap sebagai sandaran.

Nah demi masa depan yang lebih baik, membuka harapan, serta menghukum perilaku politik yang membohongi rakyat dengan pencitraan dan kesederhanaan buatan, maka kita tutup "the dark period" lalu dengan mengganti dan menetapkan Presiden baru pemimpin bangsa Indonesia.

Selamat istirahat di kampung halaman, pak. Mengenang perjalanan memimpin negara dan bersenandunglah..."Jaenudin ngachiroo. [syahid/voa-islam.com]

 

Related News

Comment (0)

Comment as: