Merebut Roti Senayan
Ada anekdot kocak dalam buku Balada Paijo. Penulisnya alharhum pelawak
Dono Warkop. Dalam salah satu bagian isi Balada Paijo, Dono
menceritakan tokoh Paijo yang konyol. Ia, si Paijo, baru saja keluar dari
tempat pemungutan suara (TPS) usai mencoblos partai yang dipilihnya
dalam pemilu.
‘’Selamat ya Pak Paijo, Anda baru saja meramaikan pesta demokrasi,’’ kata
tetangga Paijo memberi ucapan selamat.
‘’Oh..terima kasih...terima kasih....,’’ jawab Paijo.
‘’Bagaimana Pak Paijo rasanya ikut pesta demokrasi?’’ sambung si tetangga
dengan nada bertanya.
‘’Pesta demokrasi apaan?’’, Paijo balik bertanya
‘’Lha tadi yang Pak Paijo lakukan dalam TPS itu,’’ lanjut tetangga tadi.
‘’Ah... saya tidak berpesta kok. Saya cuma membantu teman untuk
mendapatkan pekerjaan di DPR,’’ sergah Paijo.
***
Senayan tiap lima tahun sekali ibarat lumbung padi bagi tikus. Semua
berebut. Saling sikut untuk masuk ke timbunan padi. Setelah bisa masuk
yang dilakukan bukan cuma memangsa padi sebanyak-banyaknya. Kalau
perlu sekalian bikin sarang dan berbiak di sana.
Bagi orang yang bernafsu jadi wakil rakyat road to Senayan (jalan menuju
Senayan) ibarat pertempuran hidup mati. Agar aman sampai ke Senayan apa
pun dilakukannya. Tak ada yang gratis. Harus direbut. Jika perlu siapa pun
tak peduli, harus dikorbankan.
Pertarungan menjadi calon anggota legislatif (caleg), saat ini, justru dimulai
dari apa yang kata Filsuf Thomas Hobbes adalah homo homini lupus. Manusia adalah srigala bagi manusia yang lain. Jalan menuju Senayan
seolah menjelaskan watak agresi manusi yang sering melebihi hewan.
Pertempuran menuju Senayan dimulai dari internal partai. Di sana, para
caleg harus bertarung dengan sesama rekan yang sama-sama ingin jadi wakil
rakyat. Untuk sementara rasa kasih, setia kawan, dihabisi. Berbagai cara
dilakukan untuk saling menjegal.
Untuk berebut dukungan di internal partai saling sikat dibolehkan. Saling
sikut dihalalkan. Saling tonjok diwajarkan. Di sinilah wajah politik yang
sangar ditampakkan dengan sesungguhnya. Persis seperti yang lama dilontarkan Machiavelli. Kekuasaan politik harus direbut dengan
menghalalkan segala cara. Tak ada kawan. Semua orang yang dianggap
sebagai penghadang harus dilawan.
Setelah lolos di internal partai masing-masing pertarungan babak berikutnya
lebih seram lagi. Caleg masing-masing partai akan bertarung untuk
mendapatkan dukungan pemilih sebanyak-banyak melalui kertas suara yang
dicoblos dalam TPS.
Di sini praktis arena pemilu adalah pertempuran paling brutal. Agresi untuk
saling mendapatkan dukungan pemilih bisa dipertontonkan dengan nafsu
paling gila sekalipun. Adu fisik dan kekerasan siap ditunjukkan demi meraih
tiket ke Senayan.
Banyak bukti bisa dilihat telanjang. Dalam Pemilu 1999 sampai 2014 arena
kampanye sering memicu bentrok dan kekerasan antar massa pendukung
parpol. Bahkan ada yang meminta korban meninggal.
Mereka tewas sia-sia. Jadi tumbal arogansi partai yang merasa perkasa.
***
Tetapi apa sebenarnya yang dicari para caleg? Kalau hanya ingin jadi wakil
rakyat buat apa sampai harus berani pasang badan untuk adu fisik? Pemilu
dalam terminologi politik adalah proses seleksi orang yang dapat dipercaya
untuk diberi (dititipi) mandat menjalankan kedaulatan rakyat.
Kalau persoalannya seleksi politik, bukankah rakyat sebagai individu
seharusnya memiliki kewenangan penuh untuk memilih orang yang paling
dipercaya menjadi wakilnya di parlemen?
Di negara-negara yang sistem demokrasinya sudah mapan (maturity) pemilu
relatif bebas dari kekerasan dan adu fisik berebut dukungan. Lantaran para
caleg dapat menunjung tinggi nilai-nilai fairness dalam kompetisi politik.
Mereka sadar pemilu adalah proses seleksi politik menjadi wakil rakyat.
Karena itu, rakyat berdaulat penuh dan mandiri untuk memilih orang yang
paling dipercaya menjadi wakilnya di parlemen. Tak ada intimidasi. Tak ada
paksaan. Tak ada sogokan. Tak ada rokok cap partai. Tak ada gantungan
kunci cap partai.
Sebelum menjadi calon wakil rakyat di internal partai dilakukan seleksi
moral dan kepatutannya menjadi politisi. Ada yang lebih prinsip. Ditanya
asal usul pekerjaan dan penghasilan tetap sebelum jadi politisi. Tujuannya
agar tugasnya sebagai wakil rakyat tidak dianggap sebagai pekerjaan.
Anggota DPR bukan tempat mencari penghasilan. Dengan begitu, ketika telah jadi anggota DPR tidak rewel minta gaji tinggi.
Dengan penghasilan yang relatif mandiri diharapkan tak mudah menerima
sogokan ketika membahas RUU atau Perda. Korupsi dibatasi dari diri sendiri
sebelum diatur melalui keputusan politik.
Di sini, dalam banyak kejadian pertarungan di jalan raya menuju Senayan
serba gelap gulita dalam ukuran moral dan kepatutan. Tetapi yang paling
konyol ialah kesan kuat bahwa duduk di kursi wakil rakyat adalah pekerjaan
dengan gaji tinggi. Karena itu, masuk akal jika persaingan ke Senayan sarat
dengan adu mulut. Bahkan adu fisik.
Bahkan ada yang nekat. Membentuk barisan penakluk lawan yang siap adu
kekuatan.
Konyol bin kurang beradab.
Comment (0)