•   Thursday, 28 Mar, 2024
  • Contact

Tit-for-Tat setelah Telat 30 Menit

Oleh: Dahlan Iskan

Hanya karena telat 30 menit. Harus bayar Rp 100 miliar. Betapa mahal perang dagang ini. Antara Amerika dan Tiongkok sekarang ini.

Yang telat itu kapal raksasa: The Peak Pegasus. Yang memuat kedelai. Satu kapal penuh. Seharga hampir Rp 500 miliar.

Kapal itu berlayar dari pelabuhan Seattle. Di negara bagian Washington. Tujuannya: pelabuhan Dalian. Di Tiongkok. Posisi dua pelabuhan itu berhadapan. Dipisahkan samudera Pasifik.

Ketika The Peak Pegasus tiba di Dalian jam menunjukkan pukul 00.30. Tanggal 6 Juli 2018.

Setengah jam sebelumnya Amerika mulai memberlakukan perang dagangnya: mengenakan tarif 25 persen pada baja dan alumunium dari Tiongkok. Dan beberapa komoditi lain.

Tiongkok membalas. Pada jam yang sama. Mulai mengenakan tarif baru bagi kedelai Amerika. Sebesar 25 persen.

The Peak Pegasus tidak boleh merapat ke pelabuhan Dalian. Kecuali sudah membayar bea masuk baru. Perdebatan terjadi. Tapi tidak ada jalan keluar.

Sejak awal Tiongkok memang sudah mengumumkan: akan selalu membalas serangan Amerika. Untuk nilai yang sama. Waktu yang sama. Hanya komoditinya yang berbeda.

Amerika memilih menghukum  baja Tiongkok. Yang bisa memukul telak ekonomi negeri panda.

Tiongkok memilih kedelai Amerika. Yang bisa menyulitkan posisi Trump di mata petani: basis pemilihnya.
Belum pernah ada perang dagang seseru ini. Tiongkok benar-benar menjalankan tit-for-tat. Mata dibalas dengan mata. Tangan dibalas dengan tangan.

Kini Trump terlihat sering pakai topi hijau. Dengan tulisan: make farmer great again. Menunjukkan solidaritasnya pada petani. Termasuk menganggarkan subsidi petani. Sebesar Usd 12 miliar.
The Peak Pegasus kelimpungan.

Di atas laut. Tiap malam awak kapalnya bisa melihat gemerlap cahaya kota Dalian (baca: Ta-li-en). Yang cantik itu. Kota 大连 adalah pusat bisnis konglomerat Wanda. Yang iklannya menguasai stadion-stadion Rusia. Saat piala dunia lalu.

Sampai setengah bulan kemudian belum ada jalan keluar. The Peak Pegasus masih mengapung di kejauhan.
Saya tidak bisa membayangkan: betapa mahal sewa kapal itu. Juga betapa sulitnya negosiasi.
Kalau bayar bea masuk, rugi. Tidak cocok dengan hitung dagang.

Kalau mau dibawa balik ke Seattle tambah rugi.
Cari pembeli lain di negara lain juga tidak mudah.

Ditahan lebih lama kedelainya rusak. Atau mutunya turun.
Sampai sebulan kemudian masih belum ada jalan keluar.
Trump lebih sering lagi pakai topi hijau.

Tiongkok teguh dengan prinsip tit-for-tat. Bea masuk baru itu akhirnya harus dibayar. Ini pilihan yang ruginya paling kecil. Dibanding pilihan lain tadi.

Gara-gara telat hanya 30 menit. Kerugiannya ratusan miliar.

Trump kini mengancam lagi: memperluas cakupan komoditi. Tiongkok membalas dengan tit-for-tat.

Amerika menambah permainan: memberi angin pada Taiwan. Amerika tahu soal Taiwan ini sensitif. Tiongkok bisa tiba-tiba emosi.

Dua hari lalu Amerika memberi panggung pada Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen. Boleh dua hari singgah di daratan Amerika. Dalam perjalanannya ke Paraguay dan Belize. Dua dari hanya 18 negara yang masih mengakui Taiwan sebagai negara.

Di Los Angeles Tsai Ing-wen mengunjungi perpustakaan Ronald Reagan. Dan berpidato. Menguraikan perjuangannya. Untuk membuat Taiwan negara merdeka.

Tiongkok protes. Dan terus berlatih militer. Menghadapi situasi tersulit.

The Peak Pegasus pagi ini masih terlihat sandar di dermaga pelabuhan Dalian. Entah sudah bongkar muatan atau belum.

Untung ada Google. Para wartawan terus mengarahkan kamera ke pelabuhan itu. Salah satu pelabuhan alam terbaik di dunia: kedalaman draftnya 30 meter.

Perkembangan perang ini kian serius. Belum ada pertanda-pertanda. Untuk maju ke meja perundingan.

Harga meja tampaknya terlalu mahal sekarang ini. Belum lagi termasuk bawahnya. (dahlan iskan)

Related News

Comment (0)

Comment as: