Terjepit, Qatar Tetap Melejit
Oleh: TOFAN MAHDI
Saya mengagumi Qatar, seperti halnya saya mengagumi Uni Emirates Arab. Dua negara Teluk yang tidak saja kaya raya, tetapi juga modern dan civilized (beradab). Di sektor penerbangan, tiga maskapai dari dua negara ini yaitu Qatar Airways (Doha), Emirates (Dubai), dan Etihad (Abu Dhabi), membuat dunia penerbangan Amerika Serikat meradang. Sampai-sampai menyerukan warga AS memboikot karena ekspansi rute mereka membuat sejumlah maskapai AS kelimpungan. Termasuk national flag carrier-nya Negeri Paman Trump: United Airlines.
Saya pernah menulis tentang aksi ajakan pemerintah Amerika memboikot tiga maskapai Teluk ini saat berkunjung ke Washington DC dan New York akhir 2017 lalu. Sampai-sampai ajakan boikot itu diiklankan pada sejumlah in-flight magazine maskapai-maskapai Amerika. Keren nian, dua negara Teluk membuat Amerika meradang. Mungkin kerennya ini sekelas dominasi produk minyak sawit Indonesia pada pasar minyak nabati dunia membuat Uni Eropa, pun Amerika, meradang. Hidup Indonesia. Hidup Qatar dan juga UEA.
Sayangnya, negara-negara di Teluk sekarang lagi tidak rukun. Memang sih dari sejarahnya kawasan ini memang tidak pernah rukun. Ada saja konflik di kawasan tersebut. Jika dirunut sejak usainya Perang Dunia II (1945), sejumlah konflik geopolitik besar di Teluk antara lain: perang Arab-Israel, perang Iraq-Iran, perang Teluk 1 & 2, konflik internal Palestina (Hamas v Fatah), konflik di Lebanon, Arab Spring (Mesir, Libya, dan perang di Suriah yang belum reda hingga sekarang), dan terakhir ketegangan politik yang berujung pada blokade kepada Qatar oleh sejumlah negara tetangga seperti Saudi Arabia, Bahrain, Mesir, dan UEA. Sejak Juni 2017, negara-negara Teluk ini memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar.
Saya bukan ahli politik internasional, banyak pakar hubungan internasional yang mampu menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi di Teluk ini. Saya hanya ingin menulis catatan ringan, bahwa blokade Qatar ini berpengaruh lho ke kita-kita yang suka traveling. Apalagi yang suka jalan-jalan agak jauhan dan mencari tiket dengan harga kompetitif. Ujung-ujungnya akan dapat dua maskapai pilihan: kalau gak Oman Air, ya dapat Qatar Airways. Dan Qatar selalu menjadi pilihan terbaik: maskapai bintang lima, makanan enak, dan transit Bandar International Hamad di Doha yang super duper nyaman.
Sayangnya, gegara blokade tadi, penerbangan dari Jakarta (CGK) ke Doha (DOH) yang normalnya 7,5-8 jam sekarang harus ditempuh hingga 9 jam. Bahkan kalau dihitung sejak boarding hingga turun dari pesawat, bisa memakan waktu 10 jam. Padahal di Doha seringkali hanya tujuan transit sebelum melanjutkan perjalanan either ke Afrika, Eropa, atau Amerika. Kalau ke New York misalnya, masih perlu 14 jam terbang dari Doha. Jika dihitung sejak berangkat dari Jakarta plus transit di Doha misalnya 5 jam, total waktu perjalanan ke New York adalah 29 jam. Hmm, bagi traveler seperti saya yang sudah tidak lagi muda dan lebih demen naik kelas ekonomi (cieee demen ????), perjalanan 29 jam pasti, "capeknya tuh di sini, di boyok (pinggang) ini." ????
Waktu tempuh ke Doha lebih lama itu lantaran pesawat Qatar Airways juga pesawat militer atau sipil lainnya milik Qatar tidak boleh terbang di atas wilayah udara UEA atau Bahrain. Jadi deh, menjelang masuk daratan Teluk, pesawat Qatar Airways harus berputar di atas perairan internasional. Baru kemudian belok masuk wilayah udara Oman sebelum masuk ke wilayah udara Qatar.
Selain lebih lama, sekarang juga tidak bisa lagi pergi umroh dengan Qatar Airways. Karena seluruh penerbangan Qatar Airways ke kota-kota di Saudi Arabia juga ditutup. Begitu pula sebaliknya, tidak ada lagi penerbangan Saudi Arabian ke Doha.
Hampir dua tahun sudah Qatar diblokade negara-negara tetangganya, yang sesungguhnya saudara mereka sendiri. Sama-sama Bangsa Arab dan sama-sama umatnya Nabi Besar Rasulullah Muhammad SAW. Tapi ya begitulah konflik politik di mana pun juga sama, tak peduli lagi saudara sebangsa atau seagama, yang penting ideologi dan kepentingannya sama.
Namun hebatnya Qatar, dua tahun diblokade bukannya collapse tetapi tetap jaya. Ekonomi Qatar baik-baik saja: Qatar Petroleum, QNB (Qatar National Bank), Qatar Airways, dan institusi bisnis lainnya terus berkembang. Dan, di bidang olahraga, Qatar kembali menorehkan preatasi. Maju ke Babak Final Sepakbola Piala Asia (AFC) dan bersiap menghadapi Jepang. Entah ini petunjuk langit atau bukan, pada babak semifinal Qatar melumat tuan rumah Uni Emirate Arab dengan skor telak 4-0. Bertanding di Abu Dhabi tanpa penonton, membuat kesebelasan Qatar bermain kesetenan. Insiden lempar sandal dan sorakan saat national anthem dinyanyikan, tak sedikit pun menciutkan nyali para pemain Qatar.
Melaju ke final sepakbola Piala Asia untuk kali pertama, sepertinya sebuah sinyal yang dikirim Qatar bahwa mereka siap menyambut Tahun 2022: saat mereka menjadi tuan rumah sekaligus menjadi peserta Piala Dunia. Dan Qatar akan menorehkan sejarah besar dan mengagumkan karena Qatar adalah negara Islam pertama yang menjadi tuan rumah Piala Dunia: pesta olahraga terbesar sejagad raya. Indonesia kapan ya? ????
Terakhir, kekaguman kepada Qatar ini, terkait pengalaman pribadi yang sangat personal. Saat balik dari Istanbul Turki akhir pekan lalu, saat transit di Doha, si kakak tidak enak badan mungkin karena kecapekan jalan-jalan 10 hari muter tiga kota di Turki. Begitu pesawat A350 yang kami tumpangi mendarat di Doha, saya langsung mencari Medical Clinic Hamad International Airport. Lokasinya di lantai bawah dekat pemeriksaan imigrasi. Petugas Informasi langsung menanyakan siapa yang sakit, bagaimana kondisinya, dan segera mengantarkan ke klinik. Di klinik, sudah siap perawat dan dokter yang menangani. Saya serahkan paspor dan boarding pass, menjelaskan kondisi kesehatan, berapa lama waktu transit, dan kemudian diminta masuk ke ruang perwatan. Setelah ditangani perawat, seorang dokter yang sangat ramah datang. Beberapa tindakan medis dilakukan (pemeriksaan tekanan darah, detak jantung, nebulizer, hingga pemberian obat oral). Baik para perawat maupun dokternya sangat ramah meskipun kita hanya pasien transit dan bukan warga negara Qatar.
Setelah satu jam berada di klinik dan dokter menyatakan pasien fit untuk terbang hingga 10 jam, kami diizinkan untuk ke gate. Sebelumnya kami juga diberikan hasil observasi dokter, alat nebulizer instan, dan obat seperlunya. Pelayanan tidak sampai di situ, untuk ke gate kami tidak dibiarkan sendirian. Tetapi diantarkan melalui jalur priority, naik golf car, hingga ke silent room (tempat istirahat) terdekat dengan gate.
"Stay here and we will come to you when your flight is ready for boarding," kata seorang petugas bandara yang tampak tulus melayani. Hingga saat boarding tiba, kami diantarkan hingga ke gate dan pesawat.
"How is he now?" tanya seorang petugas.
"Much better, thank you," jawab saya.
Dan Alhamdulillah perjalanan hampir 10 jam dari Doha ke CGK dengan pesawat Boeing 787-900 Dreamliner berjalan lancar. Meskipun cuaca kurang bersahabat saat itu, terutama di atas laut India.
Pernah sih mengalami hal seperti ini di salah satu bandara di tanah air. Waktu itu mau terbang, tiba-tiba nggreges (demam). Saya pun ke klinik bandara dan ditangani dengan baik dan diberi obat. Alhamdulillah. "Berapa Mbak?" tanya saya kepada petugas bandara. "Rp 600 ribu, Pak." Saya bayar dan saya pun melanjutkan perjalanan.
Oh ya, kembali ke peristiwa di bandara Doha tadi, sebelum meninggalkan klinik saya pun mendatangi bagian administrasi?
"How much for all this medication and treatment?" tanya saya kepada seorang petugas Medical Clinic Hamad International Airport.
"It's all free, Sir. Get well soon for your son and have a pleasant flight to your home country," katanya.
"Oh, okay. Thank you very much. Appreciate it."
Subhanallah. Hamad International Airport ini benar-benar memanusiakan manusia. Sangat menghormati tamunya, persis yang diajarkan Rasulullah SAW.
Barokallah buat Qatar. Sukses pada Final Piala Asia dan sukses buat Piala Dunia 2022. Semoga saya diberikan rejeki dan umur panjang sehingga bisa menonton Piala Dunia di sana. ([email protected])
Jakarta, 31 Januari 2019
Comment (0)